TOKOH yang naik ke panggung politik lebih bermodal citra atau persepsi ketimbang substansi, akan runtuh pula oleh citra dan persepsi yang berbalik.
Inilah kisah tentang Jokowi, dari sebelumnya menjadi idol perubahan kini terjatuh menjadi finalis tokoh paling korup.
Sebagai orang yang mengkritik kebijakan publik Pemerintahan Jokowi sejak awal, saya menyaksikan beberapa gelombang pergeseran persepsi para pendukung Jokowi.
Gelombang pertama berkaitan dengan revisi UU KPK dan upaya pemberantasan korupsi.
Salah satu daya tarik terkuat Jokowi bagi pendukungnya adalah janji dia dalam memberantas korupsi, isu terpenting yang dirasakan banyak orang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, Jokowi dianggap ikut melemahkan lembaga KPK dan menjadikannya sekadar perkakas politik.
Pendukungnya kecewa berat. Tapi, belum semuanya meninggalkan Jokowi. Masih ada harapan mereka: setidaknya Jokowi itu pemimpin yang peduli rakyat.
Gelombang kedua berkaitan dengan Omnibus Law, yang menunjukkan bahwa populisme Jokowi itu cuma bungkus luar saja. Sejatinya dia pro oligarki. Omnibus Law adalah UU yang dirancang dan dipromosikan oleh kalangan pengusaha swasta besar (Kadin dan Apindo).
Demonstrasi anti-Omnibus Law adalah demo terbesar dan terluas pasca-Reformasi, yang hanya terhenti ketika Covid menggila. Jokowi bersama DPR memanfaatkan ketakberdayaan rakyat akibat pandemi untuk menggolkan legislasi itu.
Tapi, di situ pun, banyak Jokower masih menyimpan alasan untuk mendukungnya. Mereka masih punya harapan: Jokowi tidak nepotis dan tidak berambisi membangun dinasti politik.
Gelombang ketiga berkaitan dengan isu nepotisme. Jokowi tampil di awal sebagai orang sederhana di luar tradisi dinasti politik. Dia menunjukkan anak-anaknya tidak tertarik politik dan lebih suka jualan martabak serta pisang.
Tapi lalu orang melihat Gibran dan Bobby, menantunya, maju jadi walikota. Dan Kaesang jadi Ketua Umum PSI. Citra anti-nepotisme Jokowi rontok.
Gelombang keempat merupakan gelombang paling kuat karena melibatkan PDIP, partai pengusungnya. Yakni soal pelanggaran etika di Mahkamah Konstitusi untuk meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden. Itu puncak kemarahan para pendukung Jokowi yang tersisa.
Ini menggenapkan perubahan persepsi paling kuat di kalangan para Jokower: dari pemuja menjadi pembenci Jokowi.
Pada awal Pemerintahan Jokowi saya merasa sangat sulit untuk mengkritik kebijakan publik Jokowi karena pemujanya sangat militan, dan sering menyerang personal para pengkritiknya.
Kini, berkebalikan. Orang yang dulu memuja bahkan berbalik mengecam Jokowi lebih keras ketimbang saya sendiri.
Tabungan citra Jokowi terus menipis dan terkuras.
*Penulis adalah Wartawan Senior
© Copyright 2025, All Rights Reserved