Gema Takbir berkumandang membahana ada dimana-mana sebagai pertanda perayaan Idul Fitri 1439 H tahun ini, karena umat Muslim telah berhasil melewati ujian untuk menahan hawa nafsu selama sebulan penuh melaksanakan Ibadah Puasa di bulan Ramadhan. Tiba-tiba, kita dikejutkan sebuah tragedi di kawasan Danau Toba Sumatera Utara. Kapal motor penumpang bernama (KM) Sinar Bangun diketahui tenggelam saat beroperasi di perairan Danau Toba.
Peristiwa tenggelamnya KM Sinar Bangun terjadi, tepatnya 18 Juni 2018. Dalam perjalanannya dari Pelabuhan Simanindo, Samosir menuju Pelabuhan Tiga Ras, Simalungun, Sumatera Utara. Kejadian tersebut tentu saja membuat penuh kesedihan dan duka yang begitu dalam bagi keluarga korban bahkan Rakyat Bangsa Indonesia, karena peristiwa tersebut terjadi masih suasana Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1439 H.
Kecelakaan ini diduga kuat bahwa kapal tersebut kelebihan muatan dengan mengangkut ratusan penumpang dan puluhan kendaraan bermotor roda dua yang mengakibatkan over kapasitas, sehingga kapal tersebut tenggelam. Meskipun tidak ada keterangan resmi soal berapa jumlah penumpang secara pasti karena manifest penumpang yang tidak jelas.
Kejadian tersebut membuat pemerintah harus bertindak cepat dengan membentuk tim SAR Gabungan diantaranya terdiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Badan SAR Nasional (Basarnas) dan Kementerian Perhubungan RI. Posko utamanya terletak di Pelabuhan Tiga Ras, Simalungun, dengan tujuan tidak lain untuk mencari dan mengevakuasi serta mendata korban tenggelamnya KM Sinar Bangun.
Beberapa pejabat negara diantaranya Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, S.I.P. beserta jajarannya, harus turun ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk mengecek langsung kondisi di lapangan, dan mengunjungi korban di RSUD Tuan Rondahaim, Komplek Perkantoran SKPD Pemkab Simalungun, Sumatera Utara. Pada kesempatan itu, Panglima TNI juga menyampaikan duka cita mendalam kepada para korban musibah tenggelamnya KM Sinar Bangun.
Kepedulian Panglima TNI mengunjungi korban, merupakan salah satu bentuk empati dan simpati Pimpinan TNI terhadap korban tenggelamnya KM Sinar Bangun dalam musibah yang menimpanya.
Atas instruksi Panglima TNI, pencarian korban menurunkan Pasukan Taifib dan diperkuat dengan Pasukan Katak sebanyak 25 orang yang memiliki keahlian di bawah permukaan air dengan menggunakan alat Hidrografi dan Osenografi (Hidros) guna menemukan bangkai kapal dan korban. “Hal ini bertujuan untuk memudahkan tim SAR dalam melakukan kegiatan pertolongan,” ucapnya.
“Namun upaya itu kita batasi sesuai dengan kemampuan manusia yang mampu menyelam hanya 50 meter, sedangkan kedalaman lebih 50 meter menggunakan alat Hidros TNI Angkatan Laut untuk menemukan posisi kedalaman kapal tersebut,” kata Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
Lebih lanjut Panglima TNI menyampaikan bahwa pencarian korban juga dapat dilakukan dengan metode menjaring yaitu menggunakan jangkar untuk mengambil korban apabila korban memang kelihatan dari alat yang nanti dioperasionalkan di bawah.
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto juga menjelaskan tentang peristiwa tenggelamnya KM Sinar Bangun berlangsung begitu cepat seperti diceritakan korban selamat yang bernama Fitriani Sumbahyang. “Pada saat itu korban memang duduk paling belakang di lantai dua, kemudian kejadian itu begitu cepat tiba-tiba kapal oleng ke kanan dan begitu cepat langsung kapal itu tenggelam. Korban sempat keluar dan selamat dengan menggunakan helm yang ada pada sepeda motor,” jelasnya.
Haruslah kita akui, tragedi tersebut merupakan kecerobohan Nahkoda dan Anak Buah Kapal (ABK) yang tidak memikirkan keselamatan jiwa penumpangnya. Sebelum berangkat mereka mengetahui kapal tersebut kelebihan muatan yang akan mengakibatkan over draft. Namun itu tidak diindahkan, karena lebih mementingkan untuk mendapatkan untung uang yang besar dibandingkan dengan keselamatan jiwa penumpangnya.
Kelebihan muatan dan kapasitas angkut, tentunya ini tidak bisa terlepas dari aparat terkait yang memiliki tugas tanggung jawab pengawasan dan kontrol. Ini membuktikan bahwa tidak adanya keseriusan aparat terkait untuk mengawasi secara selektif didalam pengoperasionalan/hak ijin jalan kapal, terlebih dari hasil di lapangan membuktikan bahwa selain kelebihan muatan penumpang KM Sinar Bangun juga tidak memiliki manifest penumpang. Sehingga petugas di lapangan kesulitan untuk mendata dan mencocokan berapa sebenarnya penumpang yang ikut menjadi korban tenggelamnya KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba.
Tentunya dengan kejadian tenggelamnya KM Sinar Bangun ini, harus menjadi momentum untuk kembali berbenah dari kesemrautan administrasi perlayaran. Kegiatan tersebut harus menjadi bahan evaluasi dan masukan, demi kemajuan pelayaran kita. Kedepan kita berharap agar kesiapan operasional angkutan kapal harus sesuai dengan standar yang ditetapkan. Peralatan seperti skoci dan pelampung harus tersedia serta peralatan lain yang sesuai dengan ketentuan pelayaran nasional dan internasional. Tidak boleh lagi terjadi kapal asal berangkat dengan hanya memburu setoran. Tapi kenyamanan dan keselamatan penumpang harus lebih di utamakan untuk menghargai hak asasi manusia yang tidak boleh diabaikan oleh siapapun juga.
* Lettu Arm Amel Saputra, Kaurrenpin Subbid Opini Bidpenum Puspen TNI
© Copyright 2024, All Rights Reserved