Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menilai sudah 14 tahun Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diberlakukan, tapi implementasinya dirasa kurang efektif. Masih banyak dinamika yang berkembang dan membutuhkan penyesuaian. Selain itu, ada beberapa kelemahan dalam UU SJSN dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Ketua DJSN, Sigit Priohutomo, mengatakan, ada beberapa pasal UU SJSN dan UU BPJS dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sementara, dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), antusias masyarakat untuk mengakses layanan cenderung meningkat,” kata Sigit kepada politikindonesia.com disela-sela Workshop “14 Tahun Implementasi SJSN, Dinamika Implementasi Program Jaminan Bidang Ketenagakerjaan dan Urgensi Penguatan Melalui Revisi’”, di Jakarta, Selasa (31/07).
Dia menjelaskan, pada tahun 2016, total dana yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk pelayanan di Fasilitas Kesehatan (Faskes) Tingkat Pertama dan Faskes Tingkat Lanjutan mencapai Rp79 triliun. Dana tersebut meningkat menjadi Rp96,7 triliun pada tahun 2017. Selain itu, masih adanya segmentasi kepesertaan khususnya bagi ASN dan TNI/POLRI serta nelayan. Atau juga mengenai masalah perlindungan jaminan sosial bagi TKI yang bekerja ke luar negeri sebelum diberangkatkan dan setelah kembali ke Indonesia.
“Untuk memperkuat implementasi serta menjamin keberlangsungan penyelenggaraan SJSN, terdapat tingkat urgensi yang cukup tinggi untuk mengkaji ulang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kami pun sudah melakukan kajian hingga penyusunan draft Rancangan Naskah Akademik dan draft RUU revisi UU SJSN dan draft RUU revisi UU BPJS,” ungkapnya.
Di sisi lain, lanjutnya, implementasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan juga menyisakan sejumlah permasalahan. Di antaranya, target kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang ditetapkan dalam Peta Jalan pada 2017 tidak mencapai target sebanyak 53.325.698 jiwa. Namun, dalam realisasinya sampai dengan Juni 2018 baru mencapai 27.999.455 jiwa. Angka tersebut baru mencapai 47,5 persen dari target yang ditetapkan dalam Peta Jalan.
“Selain itu, program Jaminan Hari Tua (JHT) dalam implementasinya juga belum sesuai dengan filosofi awal yang diamanatkan dalam UU SJSN. Permasalahan lainnya, yaitu adanya perbedaan usia pensiun dalam konteks berhenti bekerja. Karena mencapai usia pensiun dengan usia pensiun dalam kontek mulai menerima manfaat pensiun,” paparnya.
Dia menjelaskan, untuk mencegah terjadinya disharmoni regulasi, UU SJSN dan UU BPJS harus memuat secara tegas ketentuan tentang lembaga yang berwenang melakukan sinkronisasi regulasi penyelenggaraan SJSN. Disharmonsi pada tataran UU terjadi antara pasal dalam UU SJSN, dan UU BPJS dan antara UU SJSN dengan UU lainnya.
“Harmonisasi antar pasal dalam UU SJSN yang perlu dilakukan, antara lain definisi operasional tentang jaminan sosial yang dimuat dalam pasal 1 angka 1 UU SJSN dan pasal 1 angka 2 UU BPJS yaitu Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak, dengan pengaturan dalam pasal yang mengatur tentang kewajiban membayar iuran,” imbuhnya.
Sementara itu, Anggota DJSN Achmad Ansori, menambakan, hasil kajian terhadap berbagai dinamika tersebut menunjukkan terdapat sejumlah kelemahan dalam UU SJSN dan UU BPJS. Beberapa ketentuan membutuhkan penyesuaian dengan dinamika yang berkembang. Untuk memperkuat implementasi serta menjamin keberlangsungan penyelenggaraan SJSN, terdapat tingkat urgensi yang cukup tinggi untuk mengkaji ulang UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
“Kami dibentuk dan diamanatkan oleh UU SJSN untuk menyelenggarakan SJSN. Kami juga diberikan fungsi perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN, telah melakukan kajian hingga penyusunan draft Rancangan Naskah Akademik dan draft RUU revisi UU SJSN dan draft RUU revisi UU BPJS,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved