AKIBAT perkembangan pembangunan yang begitu pesat seiring dijadikannya Depok sebagai proyek perumahan oleh Perum Perumnas dan beberapa perusahaan swasta pada kisaran 1976, menyebabkan status administratif Depok perlu ditinjau ulang.
Apalagi kemudian pemerintah juga membangun Kampus Universitas Indonesia di Depok sebagai pengembangan Kampus Salemba yang dirasakan tidak kondusif lagi bagi perkembangan perguruan tinggi ternama dan terbesar di Indonesia. Ini membuat Depok semakin bergeliat dengan pembangunannya. Pembangunan Kampus UI dan kawasan-kawasan perumahan di Depok ini mau tidak mau semakin mengubah Depok menjadi kota baru.
Kehadiran Perumnas dan Universitas Indonesia membuat Kota Depok kemudian ditetapkan sebagai kota pemukiman dan pusat pendidikan tinggi di wilayah Bodetabek. Sebagai kota yang berbatasan langsung dengan ibukota negara, Depok menghadapi berbagai masalah perkotaan, kependudukan, mobilitas, dan pembangunan ekonomi.
Pemerintah pusat kemudian memutuskan suatu pola dekonsentrasi planologi tentang pengembangan wilayah Jabodetabek yang tertuang dalam Inpres No.13/1976. Dengan keluarnya inpres tersebut, wilayah Depok kemudian dimasukkan sebagai pusat pertumbuhan baru dan daerah penyangga bagi kota Jakarta.
Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Depok sangat penting bagi penyangga pertumbuhan Kota Jakarta, terutama sebagai daerah pemukiman dalam rangka menanggulangi masalah kependudukan di Jakarta.
Merespons perkembangan tersebut, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan status Depok dari kecamatan menjadi Kota Administratif Depok. Tujuan pembentukan Kota Administratif Depok adalah untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan secara berhasil guna dan berdaya guna yang merupakan sarana bagi pembinaan wilayah, serta merupakan unsur pendorong yang kuat bagi usaha peningkatan laju pembangunan.
Pembentukan Kota Administratif Depok didahului dengan terbitnya Surat Menteri Dalam Negeri RI No.135/3127/PUOD, tanggal 2 Agustus 1980 tentang Peningkatan Status Kecamatan Depok yang ditujukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bogor agar dilakukan langkah-langkah untuk membentuk Kotif Depok.
Setelah menerima surat tersebut, Bupati Bogor saat itu, Ayip Ruchby, mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II No.PB.011/139/kpts/Huk/1999 Tentang Pembentukan Tim Persiapan Pembentukan Kotif Depok pada tanggal 23 Agustus 1980. Tim ini terdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana lapangan yang anggotanya berjumlah 43 orang.
Setelah tim selesai bekerja dan menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan akhirnya Kota Administratif Depok resmi terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 43/1981 yang peresmiannya pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri, H Amir Machmud.
Menurut peraturan tersebut, Kotif Depok terdiri dari 3 Kecamatan dan 17 Desa, yaitu:
1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 Desa, yaitu Depok, Depok Jaya, Pancoran Mas, Mampang, Rangkapan Jaya, Rangkapan Jaya Baru.
2. Kecamatan Beji, terdiri dari 5 Desa, yaitu: Beji, Kemiri Muka, Pondok Cina, Tanah Baru, Kukusan.
3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 6 Desa, yaitu: Mekarjaya, Sukma Jaya, Sukamaju, Cisalak, Kalibaru, Kalimulya.
Selama kurun waktu 17 tahun Kota Administratif Depok berkembang pesat, baik di bidang Pemerintahan, Pembangunan, dan Kemasyarakatan.
Khususnya bidang pemerintahan, semua desa berganti menjadi kelurahan dan adanya pemekaran kelurahan, sehingga pada akhirnya Depok terdiri dari 3 dan 23 kelurahan, yaitu:
1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 Kelurahan, yaitu Depok, Depok Jaya, Pancoran Mas, Rangkapan Jaya, Rangkapan Jaya Baru.
2. Kecamatan Beji terdiri dari 6 Kelurahan, yaitu Beji, Beji Timur, Pondok Cina, Kemirimuka, Kukusan, Tanah Baru.
3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 Kelurahan, yaitu Sukmajaya, Suka Maju, Mekarjaya, Abadi Jaya, Baktijaya, Cisalak, Kalibaru, Kalimulya, Kali Jaya, Cilodong, Jatimulya, Tirta Jaya.
Sebagai kota administratif, pemerintah Depok dipimpin oleh seorang Walikota. Sejak terbentuk tahun 1981 hingga tahun 1999 Kota Administratif Depok telah dipimpin oleh 7 orang walikota, yaitu:
1. Drs. Moch. Rukasah Suradimaja (1982-1984)
2. Drs. H.M.I. Tamdjid (1984-1988)
3. Drs. H. Abdul Wachyan (1988-1991)
4. Drs. H. Moch. Masduki (1991-1992)
5. Drs. H. Sofyan Safari Hamim (1992-1996)
6. Drs. H. Yuyun Wirasaputra (plh walikota) (1996-1997)
7. Drs. H. Badrul Kamal (1997-1999).
Peningkatan Status menjadi Kota
Proses peningkatan status dimulai dengan terbitnya Surat Gubernur Kepala Daerah TK I Jawa Barat No.650/555-pem/1993 tertanggal 12 Februari 1993 tentang Persiapan Peningkatan Status Kota Administrasi Cilegon, Bekasi, Depok, dan Tasikmalaya menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II.
Untuk mewujudkan surat keputusan gubernur tersebut, pada tanggal 2 Agustus 1993, Bupati Bogor mengeluarkan Surat Keputusan No.065/190/kpts/huk/1993 tentang Pembentukan kelompok Kerja Peningkatan Status Kotif menjadi Kotamadya.
Berdasarkan SK Bupati tersebut, maka terbentuklah susunan tim pelaksana peningkatan status Kotif Depok. Penanggung jawab dipegang oleh Bupati Bogor, Wakil Penanggung jawab oleh Wakil Bupati Bogor, Ketua Pelaksana oleh Asisten Sekwilda 1 Bogor, Wakil Ketua I oleh Ketua Bappeda Bogor, Wakil Ketua II oleh Walikota Depok, Sekretaris I oleh Kabid Statistik dan Pelapor Bappeda, Sekretaris II oleh Sekretaris Kota Administratif Depok.
Tim ini membawahi tiga kelompok kerja, yaitu Kelompok Kerja Penataan Wilayah, Kependudukan, dan Pertanahan, Kelompok Kerja Penataan Ruang dan Fisik, dan Kelompok Kerja Aset (Keuangan, Kepegawaian, dan Material).
Untuk mendukung proses pembentukan Kotamadya Depok, Pemerintah Bogor kemudian memohon DPRD Kabupaten Bogor melalui surat Bupati tanggal 6 Maret 1994 No.650/48-Tapem, perihal mohon persetujuan peningkatan status Kota Administratif Depok menjadi DT II Depok.
DPRD kemudian mengadakan rapat pada 16 Mei 1994. Rapat tersebut mencapai kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam Surat keputusan DPRD TK II Bogor Nomor.135/SK.DPRD/03/1994 tanggal 16 Mei 1994 tentang persetujuan pembentukan Kotamadya DT II Depok.
Setelah mendapat persetujuan dari DPRD Kabupaten DT II Bogor, Bupati Bogor kemudian mengajukan usulan pembentukan Kotamadya Depok kepada Gubernur Jawa Barat melalui surat No.125.1/230-A-Tapem, tanggal 22 Juni 1994 tentang usulan pembentukan Kotamadya Depok.
Berdasarkan pertimbangan dan proses yang sudah dilalui, Gubernur Jawa Barat mengajukan usulan pembentukan Kotamadya Depok kepada Mendagri melalui surat No.125.17 795/Otda/1995 tanggal 7 Juni 1995 perihal usulan pembentukan Kotamadya Depok.
Usulan ini kemudian mendapat tanggapan dari Menteri Dalam Negeri tanggal 14 Januari 1997 melalui radiogram yang ditandatangani oleh Sekretaris Dirjen PUOD yang isinya memberitahukan akan diadakannya observasi lapangan oleh tim sekretariat PUOD dalam rangka rencana pembentukan Kotamadya DT II Depok yang akan dilaksanakan pada 17 Januari 1997.
Dari hasil observasi lapangan tersebut tim PUOD tidak keberatan dengan peningkatan status Kotif menjadi Kotamadya. Atas dasar observasi ini, pada tanggal 10 Maret 1998 Mendagri menerbitkan surat No.135.32/961/PUOD perihal tanggapan atas RUU tentang Pembentukan Kotamadya DT II Depok dan Kotamadya DT Cilegon yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara.
Akhirnya perubahan tersebut ditetapkan pada tanggal 20 April melalui UU 15/1999, tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon.
Dalam UU tersebut pada bagian pertimbangan disebutkan bahwa Kota Administratif Depok dalam perkembangannya telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang sesuai dengan peran dan fungsinya sehingga perlu diikuti dengan perkembangan sarana dan prasarana pengelolaan wilayah tersebut.
Perkembangan tersebut memberikan gambaran mengenai dukungan dan potensi wilayahnya dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Akhirnya berdasarkan pertimbangan tersebut maka Kota Administratif Depok dibentuk menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II.
Dalam perundangan tersebut dicantumkan bahwa luas wilayah Depok adalah 20.029 hektar yang meliputi wilayah Kota Administratif Depok dan sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor.
Kotamadya Depok kemudian diresmikan pada 27 April 1999 dan bersamaan dengan itu pula Drs. H. Badrul Kamal dilantik sebagai Pejabat Sementara Walikotamadya Depok.
Peningkatan status Kota Depok menjadi daerah otonom telah menjadi faktor penentu yang sangat dominan dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan dinamika sosial politik Kota Depok. Dibalik perubahan status Depok menjadi Kotamadya ada peran Drs. H. Badrul Kamal yang dianggap sebagai tokoh sentral perubahan itu.
Dalam wawancara dengan tabloid Suara Kita, Badrul Kamal yang merupakan Walikotatif Depok Tahun 1997-1999 mengatakan bahwa ide perubahan status itu berdasarkan masukan-masukan dari tokoh-tokoh masyarakat dan pihak-pihak lain yang menginginkan perubahan status Depok menjadi Kotamadya.
Usulan itu kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan penelitian yang melibatkan masukan-masukan dari masyarakat sampai ke kelurahan-kelurahan. Berbekal kedekatannya dengan Bupati Bogor karena Badrul Kamal sebelumnya pernah menjabat sebagai Asisten Administrasi Pembangunan Kabupaten Bogor ia aktif melakukan lobi-lobi terkait perubahan Depok menjadi Kotamadya.
Usulan ini disetujui Bupati Bogor untuk selanjutnya dibahas di DPRD, lanjut ke DPRD Provinsi, dan DPR RI hingga lahirnya Undang-Undang pembentukan Kotamadya Depok Itu.
Menurut Badrul Kamal, dengan hanya tiga kecamatan maka perkembangan Depok tidak akan signifikan. Oleh karena itu Badrul Kamal mengusulkan kepada Bupati Bogor agar 3 kecamatan yang ada pada saat itu dimekarkan menjadi 6 kecamatan. Pemekaran 3 kecamatan ini menurut Badrul Kamal satu paket dengan usulan perubahan status Depok menjadi Kotamadya.
Akhirnya seiring dengan diundangkannya perubahan status Depok menjadi Kotamadya, maka terjadi juga pemekaran kecamatan dari yang semula tiga menjadi enam kecamatan yang meliputi Kecamatan Beji, Cimanggis, Sawangan, Sukmajaya, Pancoran Mas, dan Limo, dengan 63 kelurahan.
Pemekaran wilayah Kota Depok terus berlanjut. Berdasarkan Peraturan Kota Depok 8/2007, tentang Pembentukan Kecamatan di Kota Depok, dilakukan pemekaran wilayah kecamatan dari 6 kecamatan menjadi 11 kecamatan.
Kecamatan baru hasil pemekaran itu yaitu Bojongsari dari pemekaran Sawangan, Cipayung dari pemekaran Pancoran Mas, Cilodong dari pemekaran Sukmajaya, Tapos dari pemekaran Cimanggis, serta Cinere dari pemekaran Limo.
Satu-satunya kecamatan yang belum pernah mengalami pemekaran adalah Beji. Sejak saat itu maka pemerintahan di Kota Depok terdiri dari 11 Kecamatan dan 63 Kelurahan.
*Penulis adalah Warga Depok, Tinggal di Perumahan Kalibaru Permai, Cilodong
© Copyright 2024, All Rights Reserved