Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) dan China Algae Industry Association (CAIA) melakukan penandatanganan kerjasama untuk meningkatkan perdagangan dan pengembangan rumput laut di Indonesia. Kesepakatan kerjasama ini ditandatangani langsung Ketua Umum ARLI Safari Azis dan Sekjen CAIA Jingxiang Guan di Jakarta, Kamis (28/04)
Ketua Umum ARLI Safari Azis mengatakan selain pengembangan bisnis rumput laut, kedua belah pihak juga menyepakati untuk mendirikan Seaweed Research and Development Center. Lembaga itu akan membantu pembudidaya rumput laut mendapatkan informasi tentang masalah-masalah yang dihadapi dalam meningkatkan produktivitas.
"Dalam kerjasama ini, intinya kami akan mendorong peningkatan perdagangan. Karen kami mendukung gerakan ekspor tiga kali lipat rumput laut. Kita juga akan mengembangkan industri pengolahan rumput laut dengan mendirikan China-Indonesia Seaweed Industrial Parks," katanya kepada politikindonesia.com usai penandatanganan kerjasama tersebut di Jakarta, Kamis (28/04).
Menurutnya, kesepakatan ini dilakukan karena hingga saat ini China merupakan tujuan ekspor terbesar rumput laut Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor rumput laut Indonesia ke China, pada tahun pada 2014, jumlah mencapai 150.855 ton dengan nilai US$163.013.000. Sedangkan pada tahun 2015, mencapai 151.770 ton dengan nilai US$112.670.000.
"China merupakan tujuan ekspor terbesar rumput laut nasional. Market Share-nya mencapai 72 persen di tahun 2014 dan 70 persen di tahun 2015. Mereka mengolahnya menjadi keragen. Karena China merupaman memiliki industri penghasil karagenan yang kuat. Sehingga, jika berinvestasi di dalam negeri, banyak manfaat yang akan dirasakan," ungkapnya.
Dijelaskan, karagenan merupakan rumput laut berbentuk bubuk, yang kerap menjadi campuran dalam panganan sehari-hari seperti sosis nuget ayam, roti dam campuran bumbu. Potensi pengembangannya sangat besar di Indonesia. Sehingga pihaknya mendorong terus untuk industri pengolahannya masuk ke Indonesia.
"China merupakan salah satu dari tiga negara di Asia yang memborong rumput laut produksi dalam negeri dengan nilai kontrak hingga USD58 juta atau senilai Rp782,71 miliar, disusul Malaysia dan Singapura. Transaksi pembelian rumput laut kering ini dibeli oleh tiga importir asal China," paparnya.
Pihaknya berharap dengan kerjasama itu industri makanan tradisional, terutama pada makanan yang dijajakan secara kaki lima di Indonesia tidak lagi menggunakan bahan pengenyal berbahaya, seperti boraks. Sebab, rumput laut sebenarnya dapat digunakan sebagai alternatif pengganti bahan baku pengenyal lainnya sehingga menjadi lebih sehat.
"Dengan adanya kerja sama dengan China ini, maka kami mampu membangun jaringan kekuatan bersama dalam menghadapi persaingan global dalam hal bahan pencampuran atau bahan kimia lainnya. Jadi baso-baso tidak lagi memakai boraks tapi pakai rumput laut untuk pengenyal. Sehingga mampu membangun kekuatan di ASEAN agar bahan-bahan pencampur berbasis rumput laut itu tetap jalan," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved