Pada akhir Juli 2024, Kabupaten Halmahera Tengah mengalami banjir besar. Warga mengalami kerugian besar karena akses jalan terputus, rumah terendam air, 1.726 orang mengungsi, dan satu orang meninggal dunia.
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku Utara mencatat tujuh desa terdampak banjir. Yakni, Desa Lililef Waibulan, Desa Lukulamo, Desa Kulo Jaya, Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Sagea, dan Desa Kia.
Bagi warga Desa Sagea, bukan hanya banjir bandang yang menyakitkan mereka tapi perusahaan tambang yang masuk dan melakukan eksplorasi, yang menyebabkan banjir besar, telah menghilangkan alam tempat mereka hidup.
Rifya, seorang perempuan muda warga asli Sagea yang bertempat tinggal langsung di lingkaran tambang, merasakan sekali perubahan hidupnya setelah desanya dikuasai perusahaan tambang atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Bersama ratusan warga lain, mereka mendirikan posko perlawanan Save Sagea.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Rifya, Pejuang Save Sagea, Halmahera Tengah, saat dia bertandang ke Jakarta untuk menyampaikan kerisauan dan kemarahannya karena alam Sagea yang makin rusak.
Berikut petikan lengkap wawancaranya:
Sudah berapa lama warga Sagea menderita karena kerusakan alam akibat eksploitasi tambang?
Seingat saya, tanggal 14 Agustus 2023, itu pertama kalinya Sungai Sagea tercemar dan keruh. Jadi keruhnya itu tidak seperti biasa yang kami alami. Saat itu ibu-ibu Sagea juga sudah bertanya-tanya, kenapa dengan sungai kami? Karena tidak seperti biasanya. Biasanya, kalau keruh karena hujan, hanya tiga hari saja sungai keruh, lalu akan kembali seperti semula. Tapi sejak 14 Agustus 2023 itu, air tak kembali jernih, malah warnanya berubah jadi kuning kecoklatan.
Jadi, kami pemuda dan mahasiswa warga Sagea punya analisis, bahwa ini terjadi karena dampak tambang. Tapi kami tidak punya data-data riilnya yang bisa menguatkan. Jadi kami meminta bantuan dari teman-teman NGO.
Kemudian sungai ini jadi terekspose media dan akhirnya mereka bisa memberitakan situasi yang dirasakan masyarakat Sagea.
Sejak Agustus 2023 itu, Sungai Sagea sempat jernih lagi atau sama sekali tidak pernah jernih lagi?
Sebenarnya itu ada waktu-waktunya. Kalau curah hujannya tinggi, itu pasti banjir dari daerah aliran sungai (DAS). Dan banjirnya itu yang membawa lumpur.
Tapi memang sudah tidak ada jernih-jernihnya sama sekali sehingga tidak bisa digunakan lagi?
Iya. Tidak bisa digunakan lagi. Saya sempat menginap di daerah wisata di sana. Masyarakat di sana bilang, mereka tak berani lagi menggunakan air sungai. Mereka takut mengambil air di sungai. Apalagi buat perempuan. Dulu kami menggunakan air sungai untuk membersihkan diri, termasuk alat reproduksi kami. Jadi mama-mama dan perempuan muda di sana sudah tak berani lagi gunakan air sungai.
Lalu alternatifnya pengganti air bersih apa?
Kami sekarang mengandalkan air sumur dan air galon. Jadi dulu kami sama sekali tak pernah menggunakan air galon, sekarang jadi terbiasa menggunakan air galon. Harga satu galonnya Rp10.000.
Apa saja langkah yang dilakukan masyarakat Sagea untuk mengembalikan air jernih yang jadi hak masyarakat?
Sekarang ini kami sudah mendirikan posko. Awalnya mereka ini korban banjir bandang bulan Juli lalu di Loleo. Awalnya kami resah dengan banjir yang terjadi, lalu mahasiswa dan pemuda sepakat untuk melakukan perlawanan. Mereka mengonsolidasikan masyarakat untuk melawan. Kami pakai nama Save Sagea.
Seluruh masyarakat melawan, atau separuhnya? Berapa persen kira-kira masyarakat yang ikut melawan?
Memang ada pro dan kontra. Jadi ada sebagian masyarakat. Saat ini yang keras melawan adalah masyarakat yang kehilangan akses air bersih. Mereka yang memang dirugikan karena eksploitasi tambang ini. Jadi perlawanan ini terjadi atas inisiatif masyarakat. Tapi memang ada aktor-aktor yang ikut bermain dan membuat perlawanan kami sering ditentang.
Bagaimana sikap pemerintah daerah? Karena ini kan sebenarnya juga masuk bagian proyek strategis nasional ya?
Iya. Jadi pemerintah daerah ini tidak punya sikap tegas. Pada 28 Oktober tahun 2023 lalu Save Sagea kan melakukan aksi pertama kali. Saat itu ada seorang nenek yang sampai terkena gas air mata. Karena kebanyakan yang mendukung aksi ini adalah mama-mama Sagea. Saat aksi itu, mereka ada di barisan terdepan. Mama-mama ini dijanjikan air bersih, tapi menolak karena yang akan diberikan adalah air galon. Mereka enggak mau, karena yang mereka inginkan adalah sumur dan sungai yang bersih. Bahkan kalau ada pemerintah daerah yang datang, mereka usir. Karena mereka enggak mau air galon.
Bagaimana respon perusahaan tambang atas aksi-aksi yang dilakukan masyarakat?
Reaksinya seperti perusahaan-perusahaan pemilik modal, mereka mati-matian menjaga aset. Mereka mengerahkan sekuriti, TNI, kepolisian, sampai gas air mata itu.
Sebagai orang asli Sagea, sebenarnya perubahan apa yang paling Anda rasakan setelah masuknya perusahaan tambang di Sagea?
Perubahan sosial dan ekonomi yang paling terasa. Hampir 80% semua berubah. Selama ini kami adalah masyarakat petani dan nelayan yang sangat mengandalkan hasil alam untuk hidup kami. Hasil alam hutan dan laut kami jual dan sebagian hasilnya untuk hidup kami sendiri.
Dulu saya selalu membantu ayah saya jual ikan dan sebagiannya untuk kami makan. Tapi sekarang kami sudah tidak lagi menjual ikan. Tapi laut sekarang juga sudah tercemar. Kami tidak bisa lagi melaut jarak dekat, tapi untuk melaut jarak jauh, enggak mungkin karena kami tak punya alat dan perahu yang layak.
Kami warga Sagea tak bisa hidup tanpa alam. Kami dibesarkan oleh cengkeh dan pala, bukan perusahaan tambang.
Dulu bapak saya adalah nelayan, saya bisa kuliah karena hasil nelayan, saya ikut jual ikan. Tapi sekarang bapak saya tak bisa melaut lagi karena wilayah tangkapannya semakin jauh.
Sekarang sudah tidak bisa melaut lagi?
Enggak bisa. Perusahaan melarang warga melakukan aktivitas melaut di sekitar perusahaan. Jadi sekarang kami membeli ikan, tidak lagi menangkap ikan. Jadi ada warga dari luar Sagea yang masih bisa melaut, mereka datang ke sini menjual ikan. Sekarang hampir semua pedagang penjual sayur dan ikan, itu dari luar.
Jadi warga sekitar tambang sudah tidak bisa lagi memanfaatkan alamnya ya?
Iya. Kami sudah kehilangan alam kami. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved