Anak adalah buah hati keluarga dan aset bangsa masa depan. Sungguh ironis melihat kenyataan sebagian dari anak-anak itu harus membanting tulang ikut bekerja membantu keluarga. Masa dimana mereka seharusnya berkembang dengan bermain dan belajar justru dihabiskan untuk mencari uang.
Permasalahan pekerja anak ini bukan saja di Indonesia tetapi sudah menjadi masalah dunia. Di Indonesia, pada tahun 2004 dari 104 juta angkatan kerja, tiga juta diantaranya adalah pekerja anak yang bekerja di berbagai sektor. Jumlahnya paling banyak terdapat di Pulau Jawa karena jumlah penduduknya besar dibanding pulau lain.
Berbicara lebih jauh tentang pekerja anak ini, sebuah terobosan yang dilakukan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) patut diancungi jempol. Kabupaten yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur ini terbilang sukses melaksanakan program Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA). “Program ini telah diakui secara internasional dan Kukar satu-satunya kabupaten di Indonesia yang telah menerapkannya," kata Bupati Kukar, Prof. Dr. H. Syaukani HR, SE, MM.
Sejak Program ZBPA ini mulai berjalan tahun 2002, jumlah pekerja anak di Kukar turun secara signifikan. Penurunannya mencapai 88 persen tiap tahunnya. Karena itulah, pria kelahiran Tenggarong, 11 November 1948 ini yakin daerahnya akan bebas dari pekerja anak pada tahun 2008 nanti.
Keberhasilan Kukar menekan jumlah pekerja anak itu menarik perhatian dunia internasional. Bahkan pada persidangan ke - 95 Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization – ILO) yang berada dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa, Syaukani bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi diundang menghadiri Konferensi di Genewa, Swiss untuk berbicara tentang program ZBPA yang diterapkannya.
Sepulang dari Genewa, politikindonesia.com berkesempatan untuk berbincang dengannya di Wisma Kutai Kartanegara, Jalan Cimahi, Menteng, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya:
{[Belum lama ini Anda melakukan kunjungan ke sejumlah negara di Eropa. Sebetulnya kunjungan tersebut dalam rangka apa?]}
Saya diundang oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menghadiri persidangan yang ke-95 Konferensi ILO, PBB di Genewa Swiss untuk berbicara tentang program zona bebas pekerja anak yang diterapkan Kutai Kartanegara. Saya menganggap ini sebagai sebuah penghargaan dari dunia internasional. Program yang kami canangkan pada tahun 2002 lalu itu ternyata dinilai berhasil. Mereka (ILO-red) ingin Kukar dijadikan contoh.
{[Apa target yang ingin dicapai dalam zona bebas pekerja anak ini?]}
Kita ingin pada 2008 nanti di Kukar tidak lagi ada anak di bawah umur, dalam pengertian anak usia 15 tahun ke bawah, yang dipekerjakan. Pada tahun 2009 nanti, pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya bagi anak-anak juga akan berakhir. Finalnya pada 2012 kita targetkan sama sekali tidak ada anak-anak di bawah umur yang bekerja. Nah yang berani tegas menyatakan batas waktu demikian itu hanya Kutai Kartanegara.
{[Apa alasan Anda berani menjamin pada 2008 di Kukar akan bebas dari pekerja anak?]}
Karena kami punya program. Bukan program zona bebas pekerja anak saja tetapi program-program lain yang sejalan mendukung program ini. Dimana kami membebaskan SPP, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), baik itu untuk sekolah negeri ataupun swasta. Bukan hanya membebaskan SPP, tapi juga biaya pendaftaran. Termasuk uang semesteran, Uang Ujian Nasional serta biaya operasional sekolah. Pokoknya semua biaya pendidikan ini kami bebaskan. Itulah mengapa kami yakin bisa mewujudkan hal tersebut.
{[Itu untuk bidang pendidikan, dibidang lainnya apakah ada insentif serupa?]}
Ada. Kami membuat program bantuan Rp 500 juta per desa untuk modal usaha dan modal kerja. Bantuan ini disalurkan untuk masyarakat yang ekonomi lemah. Terutama bagi keluarga yang banyak anak. Ini prioritas utama untuk dibantu. Modal kerja tersebut tanpa bunga. Dengan cara seperti ini akhirnya, tidak akan ada lagi alasan bagi orangtua untuk memberhentikan anaknya dari sekolah.
Kukar juga sudah mengeluarkan Perda No 9 Tahun 2004, dimana barangsiapa memberhentikan anaknya di bawah 15 tahun ke bawah, kemudian mengeksploitasi anak, mempekerjakan anak untuk kepentingan ekonomi keluarga, akan berhadapan dengan sangsi hukum 6 bulan kurungan badan atau denda Rp 5 juta.
{[Bagaimana perkembangan program tersebut?]}
Alhamdulillah berjalan efektif. Sejak 2002 kami sudah menginventarisasi secara akurat data pekerja anak. Dimana pada saat itu terdapat 11.623 orang anak yang masih harus bekerja. Namun, pada 2003 jumlahnya turun menjadi sekitar 10 ribu anak. Berikutnya pada 2004 angka itu kembali turun menjadi sekitar 6.000 anak. Lalu pada 2005, tersisa sekitar 3.050 anak. Hingga 2006 ini, jumlahnya tinggal 1.600 anak.
Dengan demikian, setiap tahun dapat turun secara signifikan sebanyak 88 persen. Karena itu, kami yakin pada 2007 dan 2008, akan menjadi zero atau tidak ada lagi anak-anak yang bekerja dipekerjakan di bawah umur. Ketika hal ini kami paparkan di Konfrensi ILO, mereka merespon dengan cukup antusias. Sehingga pada 2007 direncanakan akan diadakan training of trainer, di Kukar, yang akan diikuti oleh 12 negara. Tapi negara mana saja yang ikut, saya tidak tahu, karena negara-negara peserta ditentukan oleh ILO.
{[Menurunkan jumlah pekerja anak dari sekitar 10 ribuan menjadi nol, tentu berat sekali, terlebih dengan kondisi ekonomi saat ini. Bagaimana menyiasatinya?]}
Begini. Kami tidak ingin memanjakan masyarakat (Kukar). Masyarakat itu harus dipacu ekonominya, jangan hanya mengharapkan bantuan. Kita ingin semuanya bergantung kepada upaya masyarakat. Kalau masyarakat mau sejahtera, sejahterakanlah dirinya sendiri dulu. Kami hanya memberikan peluang atau pancing. Yang harus memancing itu masyarakat. Kalau butuh modal ikan, ya pancing lagi. Jadi modal kerja itu untuk mereka.
{[Sesungguhnya bidang apa saja yang menjadi prioritas pemerintahan Anda?]}
Dari sekian banyak bidang, ada tiga yang diunggulkan. Pertama, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui peningkatan pendidikan dan dan kesehatan. Kedua, pembangunan ekonomi kerakyatan. Termasuk pengembangan bidang pertanian dan agrikultur dalam arti luas.
Sedangkan unggulan ketiga menyangkut pembangunan bidang infrastruktur penunjang pertumbuhan ekonomi. Di dalamnya termasuk sektor pariwisata, karena kami melihat potensi di daerah kami memang ada, baik cultural heritage, ecotourism, maupun potensi wisata lainnya.
{[Mengenai pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), bisa Anda jelaskan mengapa ini menjadi prioritas pertama?]}
Pembangunan SDM itu mutlak dan tak bisa ditawar-tawar. Terus terang, ini bukan lip service. Kami membuktikannya dengan mengalokasikan dana pembangunan SDM, 20 persen lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya dalam APBD 2006. Ini juga sesuai dengan amanat UUD 45. Berdasarkan pengalaman, kami menyadari kelemahan SDM menjadi salah satu kendala bagi upaya memajukan daerah.
Karena itu, target ke depan kami harus terus menciptakan generasi yang makin berkualitas. Untuk itu, kuncinya adalah pendidikan dan kesehatan. Di Kukar program wajib belajar bukan lagi sembilan tahun, melainkan kita tingkatkan menjadi 12 tahun. Itu artinya, minimum pendidikan masyarakat adalah tingkat SLTA. Kami tidak ingin ada anak-anak yang putus sekolah karena masalah biaya, karena kami jamin. Seperti yang saya katakan tadi, tidak akan ada lagi ada anak-anak yang diekpoitasi orangtuanya untuk bekerja, karena alasan biaya. Soalnya semua biaya pendidikan kita bebaskan. Bahkan, kami juga memberikan bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi.
{[Kabupaten Kutai Kartenegara begitu kaya dengan anggaran APBD sekitar Rp 3 triliun. Bagaimana Anda mengelola itu semua?]}
Kami punya cara dan strategi agar tidak terjadi kebocoran. Itu sudah menjadi fokus pemerintahan saat ini. Setelah program Gebang Dayaku I dan II berjalan, kami bertekad menciptakan pemerintahan yang bersih. Good Local Governance atau Good and Clean Local Governance. Jadi mana yang bengkok, kita luruskan, Yang bolong kita tambal. Tikus-tikus akan saya bersihkan.
{[Bisa dijelaskan seperti apa mekanismenya?]}
Sistemnya agak berbeda dengan yang lalu (pemerintahan sebelumnya). Jika pengawasan pada program sebelumnya, yang kami canangkan dalam gerbang Dayaku Tahap I, hanya ada satu buku panduan yang disebut Buku Putih. Maka pada program pembangunan Gerbang Dayaku Tahap II, kami menerbitkan empat buku sekaligus, sebagai alat penunjang pengawasan. Diantaranya, Buku Putih, Buku Kuning, Buku Merah, dan Buku Biru.
{[Bisa dijelaskan maksud dan kegunaannya?]}
Begini, buku putih itu memuat berbagai informasi tentang jumlah proyek yang sedang kami kerjakan. Di dalamnya terdapat uraian tentang lokasi, jenis proyek, nilai dan siapa penangungjawabnya. Buku ini sekaligus panduan bagi masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan check and recheck. Apakah proyek tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat atau tidak. Kalau tidak cocok, masyarakat bisa klaim dan bisa berubah melalui mekanisme yang sudah kami siapkan. Begitu pula dengan anggaran proyek pembangunan. Bisa dicek realisasinya di lapangan. Sesuai tidak dengan bestek dan jumlah anggaran yang dialokasikan.
Setiap anggota masyarakat bisa turut mengawasi, karena buku ini disebarkan di setiap desa. Buku tersebut bukan aparat yang pegang, tetapi masyarakat, dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Adapun Buku Kuning, berisi informasi berbagai jenis bantuan pemerintah dan nama penerima bantuan di setiap desa. Kita bisa cek juga sekolah mana saja yang dibebaskan SPP. Lalu berapa yang disubsidi. Kelihatan di sana. Termasuk sumbangan kepada orangtua tidak mampu, orang jompo, yatim piatu, orang cacat, janda tua, veteran. Semua itu tercantum disana.
{[Dua buku lainnya bagaimana?]}
Buku ketiga adalah Buku Merah yang kita terbitkan setiap tiga atau enam bulan yang dibuat tim independen. Tim itu terdiri dari mahasiswa, LSM, dan wartawan. Mereka turun ke bawah, untuk menilai semua pembangunan yang ada. Baik di tingkat desa maupun kecamatan. Lalu kita sediakan Red Box (kotak Merah), dimana masyarakat bisa memasukan pengaduan. Kalau tim ini turun, mereka yang buka kotak itu. Yang penting isinya bukan surat kaleng dan fitnah. Hasil temuan ini, kemudian ditulis dalam bentuk laporan di buku merah. Apapun bentuknya silakan tim itu yang tulis.
Hasilnya dibuka kepada masyarakat sehingga mereka tahu kalau ada penyimpangan. Termasuk arahan dan rencana. Misal, kalau dalam rencana membuat 1 km jalan, ternyata realisasinya hanya 700 meter. Atau kalau jalan mestinya lebar 4 meter, tapi dibangun hanya tiga meter, silakan laporkan. Ini semua ditulis dalam buku merah.
Sedangkan Buku Biru memuat tentang informasi pencapaian atau hal-hal yang telah dicapai dilapangan, yang direkam oleh tim evaluasi. Dengan empat buku ini, kami harapkan arah pembangunan di Kabupaten Kukar ke depan yang dilandasi program Gerbang Dayaku Tahap II ini akan bisa optimal.
Sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, apakah ke depan Sumber Daya Alam tetap menjadi andalan bagi pendapatan asli daerah?
Tentu tidak. Tidak boleh selamanya mengandalkan alam. Jangan sampai kita dalam mencari pendapatan daerah mengorbankan sumber daya alam. Kita harus bertanggungjawab juga terhadap kelangsungannya, karena alam itu adalah warisan bagi anak cucu kita. Kelestariannya itu telah menjadi komitmen kita.
Kita memang kaya SDA, tapi sempat tertinggal jauh. Terutama di bidang infrastruktur. Berpuluh-puluh tahun kita ditinggalkan karena dulu ada ketidakadilan dalam sistem pemerintahan. Dulu tak ada perimbangan keuangan pusat dan daerah, hanya subsidi lewat Banpres dan Inpres. Walau sebagai daerah penghasil, yang memberikan devisa terbesar, tapi yang kami terima kecil. Kenapa? Karena pada saat itu hanya dihitung berdasarkan jumlah kepala. Banpres dan Inpres hanya dihitung berdasarkan jumlah kepala. Jadi sampai kapanpun, kita ketinggalan infrastruktur kita.
Nah sekarang ini, perhitungannya berbeda, berdasarkan jumlah produksi. Hasil. Tetapi kawan-kawan yang di Jawa atau dimanapun, tetap meningkat, karena subsidi silang. Kita, misalnya 30 persen, dari gas. 12 persen untuk kita, 6 persen provinsi, sisanya dibagi rata kabupaten kota, bukan penghasil di provinsi itu. Tapi diluar provinsi itu, provinsi dan kabupaten kota lain se Indonesia, dari 70 persen punya pusat itu dikalikan 25 persen, dimasukan ke dalam formula DAU (Dana Alokasi Umum), yang nantinya dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Jadi, hasil kita juga dinikmati oleh wilayah lain.
{[Berapa target APBD Kukar pada 2006?]}
Sekitar Rp 3,7 triliun, tapi saya harus tetap mengejar (target). Saya harus mencari lagi dana talangan pinjam luar negeri atau kemana agar program kita terealisasi semua. Kekurangannya sampai 1 sampai 3 triliun. Karena itu kita mencari investor, termasuk ke luar negeri.
© Copyright 2024, All Rights Reserved