WTC di New York saja mendapat serangan terorisme, kira-kira apa pengaruhnya bagi perekonomian global?
Menurut saya ini adalah kejadian yang menimpa pusat keuangan dunia. Pusat bisnis, kebanggaan negara adikuasa. Saya kira dampaknya akan melemahkan Dollar. Tapi saya rasa ini hanya temporer saja. Jadi kalau rupiah menguat, itu bukan rupiahnya yang menguat. Tapi memang dollarnya melemah. Jadi bukan karena ekonomi Indonesia membaik. Sebenarnya ini malah buruk untuk Indonesia, karena ekspor kita kebanyakan ke Amerika. Dan ini pasti ada dampaknya bagi perkembangan ekonomi domestik Amerika, sehingga daya beli maupun mood beli konsumen Amerika akan menurun. Saya tidak tahu action Amerika apa, tapi saya kira bila Amerika melakukan tindakan, Dollar pasti menguat. Memang tidak ada dasar ekonominya., tapi sentimen pasar pasti bermain. Dan saya rasa ini sentimen pendek saja. Kalau rupiah harus menguat karena melemahnya dollar, karena peristiwa ini, pasti tidak akan lama.
Harusnya bagaimana?
Harusnya rupiah menguat secara fundamental. Bukan karena sentimen. Sentimen itukan hanya sesaat saja.
Kalau menurut anda, ketika fluktuasi rupiah menguat karena sentimen, apakah itu sehat?
Ya sehat-lah. Sebentar lagi akan prospek dia. Lihat saja. Contoh waktu Gus Dur pergi meninggalkan kursi kepresidenan, rupiah kan menguat. Tapi itu sesaat. Secara fundamental, yang harus menggerakkan rupiah adalah ekonomi, bukan berita, bukan politik. Harus ekonomi-nya yang men-drive supaya fundamennya kuat.
Tapi bagaimana dari sisi teori?
Kan orang berspekulasi. Kalau orang berspekulasi, mungkin akan cepat baik. Sekarang, kalau feeling saya, lebih baik, kalau buat saya, untuk pemain saham kita masuk ke perusahaan yang mengekspor minyak, atau oil and gas. Karena diperkirakan harga minyak akan naik. Lihat saja.
Kira-kira berapa lama pengaruhnya akan terasa pada perdagangan global?
Sangat tergantung pada action Amerika. Tapi biasanya Amerika akan membalas.
Seandainya Amerika melakukan tindakan balas dendam?
Sekarang kalau dibalas, mereka sangat punya alasan. Mereka mendapatkan simpati dari banyak negara. Meski yang nyumpahin juga banyak he..he.. Tapi mayoritas negara barat, negara yang kuat secara ekonomi menyatakan simpatinya. Bahkan Rusia dan Eropa. Repotnya kejadiannya kan pagi hari, saat itu pasti belum tercatat bagaimana pergerakan terakhir perdagangan kemarin harinya. Belum harus diperhitungkan, berapa banyak trader yang mati disana? Trader itu jarang lho.. kalau sampai meninggal, pasti susah lagi mencari trader baru yang handal.
Sepertinya efek dominonya sangat berat?
Jelas. Pemain-pemain kelas berat ada digedung itu semua. Walaupun Executive Office tidak disana. Disana kan operation-nya.
Bisa drop?
Itu dinamika pasar. Kalau drop mau dibikin apa? Tidak ada yang bisa tahan.
Meskipun kondisinya force majeur?
Tidak ada force majeur diperdagangan. Pasar yang akan menentukan harga. Harga tidak bisa dimanipulir hanya gara-gara ada bom.
Kita kembali ke negara sendiri. Kalau menurut anda, apakah restrukturisasi perbankan yang dilakukan pemerintah sudah cukup maksimal?
Saya punya kepercayaan, apabila perbankan ini tidak didukung dan ini mungkin klise, tapi perbaikan perbankan membutuhkan sistem hukum yang benar. Dimanapun didunia ini, kalau ingin perbankannya benar, perbaiki sistem hukumnya. Kalau sistem hukumnya tidak baik, investor asing tidak akan mau masuk. Tanpa perbaikan sistem hukum, mungkin untuk sementara restrukturisasi perbankan bisa diharapkan. Tapi berikutnya, saya agak meragukan. Menurut ketentuan BI kalau bank sudah direstrukturisasi, lalu bayar bunga tiga bulan, baru dibilang sudah Performing lagi. Padahal, apa iya faktanya begitu?.Perusahaan-perusahan itu membaik enggak? Perusahaan-perusahaan yang sudah diretrukturisasi oleh BPPN itu kan punya Debt Equity Ratio-nya masih tinggi. Kan sering dikabarkan NPL perusahaan nasional sudah turun, sudah membaik. Apa iya?
Saya selalu bilang, kenapa sih terjadi krisis?
Sampai sekarang saya belum melihat ada yang bilang kejatuhan ekonomi Indonesia karena faktor apa saja? Bukan hanya karena ada BLBI. Ini hanya sebagian cost yang harus dibayar. Apa yang menyebabkan cost tadi sedemikian besar? Ya, itu tadi cost of the economic selama tigapuluh tahun. Atau selama negeri ini berdiri.
Saya ingat waktu saya pertama kembali ke Indonesia. Bank Pemerintah modalnya cukup hanya 250 juta. Jadi, tidak ada cukup buffer dari bank pemerintah untuk meng-absord kerugian yang ada sejak bank-bank itu berdiri. Kerugian ini dipelihara saja terus. Nah, semua ini kebetulan meletus pada 1997. Sebagian murni cost, sebagian karena korupsi, sebagian karena mark up, sebagian lagi, ya karena hukumnya kurang tegas dan karena privatisasi perbankan. Saya melihatnya seperti itu.
Jadi restrukturisasi ini gagal?
Bukan gagal. Rentan. Yang paling penting, sistem hukumnya harus diperjelas dan dipertegas.
Apa perbaikan sistem hukum merupakan satu-satunya cara, perbankan kan tidak hanya terkait dengan sistem hukum?
Saya kira yang lain otomatis akan datang. Itu dengan kombinasi asing percaya pada sistem hukumnya.
Tapi sepertinya NPL akan turun terus?
Saya ragu.
Mengapa?
Tergantung NPL definisinya apa? Real problem atau problem yang dikemas kembali sehingga nenek-nenek bisa menjadi bidadari.
Artinya itu tidak real?
Saya khawatirkan begitu. Karena definisi NPL seperti yang dibicarakan khalayak dimana-mana, ya kembali pada definisi yang tadi. Tiga bulan lancar, hutang selesai, maka nenek-nenek menjadi bidadari. Dikemas kembali.
Tapi itukan ketentuan BI?
Ya memang. Sama realita daripada kredit macet tidak bisa dipungkiri. Ada perbedaan. Ada orang yang benar-benar cantik, tapi ada orang jelek yang dioperasi menjadi cantik. Kamuflase. Kan ada bedanya. Lihat saja nanti kalau dia punya anak, pasti anaknya akan mirip dengan aslinya kan? Kalau mau seperti itu terus ya terserah….
Artinya bila restrukturisasi perbankan selama ini tidak ada juntrungannya, tidak optimal, jadi kapan kira-kira perbankan kita akan sehat?
Saya kira disini kita sudah harus mematuhi requirement internasional, tentang CAR 8% itu. Berapa sih bank kita yang kiprahnya sudah internasional? BCA mungkin… ya ini CAR dia as requirement 8% itu terserah dia…
Artinya yang belum itu tidak usah?
Ya kan kita kiprahnya baru domestik aja.
Itu berarti kita tidak global?
Harus kita akui bahwa kita belum siap. 2003 kan sebentar lagi. Itu tahun depan lho…
Jadi kita memaksakan diri untuk AFTA?
Ya..bisa jadi.
Artha Graha sendiri bagaimana?
Kalau kita sih tidak masalah. Sekarang sudah 8 koma sekian persen. Per Juni kemarin 8,4%.
Kabarnya soal CAR ini juga tidak NPL, sama-sama kamuflase?
NPL dengan CAR itu kembar siam, tidak bisa dipisah-pisahkan.
Kembali ke soal sistem hukum. Masalah penegakan hukum kan tidak hanya terkait dengan penegak hukumnya, tapi juga dengan pelaku perbankan. Bukankah kesadaran untuk mematuhi hukum juga seharusnya mereka miliki?
Sebenarnya itu semua tergantung komitmen. Kalau diluar negeri, nasabah kita berhutang, bermasalah dengan kita, lantas ke pengadilan. Pengadilan setuju, ada harta yang disita, dua minggu setelah itu bisa langsung dieksekusi. Bisa dijual lagi dan jadi uang. Tapi disini, bisa jadi lain. Nasabah yang bermasalah, malah kita yang dituduh mencemarkan nama baik. Ya..semua itu memang terkait dengan kesadaran moral.
Lalu menurut anda bagaimana kesadaran moral disini?
Apakah itu tidak tergambar nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kita dijalanan aja, tidak ada kesadaran moral. Ada ibu-ibu hamil, bawa anak, nyebrang, nggak ada yang mau mengalah. Malah diklaksonin keras-keras. Engga ada yang mau berhenti. Apa itu bukan refleksi dari kesadaran moral? Ada orang keserempet mobil dan jatuh, bukan ditolongin, malah banyak yang milih pergi, dari pada jadi saksi…. Iya kan? Kenapa itu semua terjadi? Karena itu tadi….
Tapi kan memang akan sulit diterapkan?
Kan janggal juga ya.. Ketika saya sudah menunggu penyitaan selama bertahun-tahun, ketika sudah waktunya, eh malah saya yang disita.
Kalau dikaitkan dengan dunia perbankan, keadilan itu apa dalam dunia perbankan. Tadi anda bilang force majeur tidak bisa dihitung dalam dunia bisnis?
Kalau menurut saya, itu artinya sesuai kesepakatan. Misalnya kalau saya membuat perjanjian hutang piutang. Kalau saya sudah berani menandatangani kontrak perjanjian pinjaman, kalau sesuatu terjadi pada saya. Misalnya saya meninggal dunia, harta saya kan jadi jaminan. Tapi kalau itu disita, bagaimana anak dan istri saya? Jalan tengahnya, saya kan punya asuransi. Nah, inikan bisa kompromi hal-hal seperti ini. Jadi dalam keadilan, kompromi tidak bisa disingkirkan. Bagaimana kesepakatan antara dua pihak. Masalahnya kan banyak debitur kita yang kaya tapi berlagak kere.
Bagaimana seandainya kita tidak perlu mengikuti ketentuan BES tentang CAR yang harus 8%?
Kejatuhan ekonomi kita memang sangat parah. Dan recovery-nya sangat lama. Sejak 97 sampai sekarang, belum sembuh meskipun rupiah sudah menguat. Tapi, ekonomi kita belum membaik. Saya bicara realita, pengusaha mana yang mau untuk k invest di perbankan? Engga ada duitnya, Ngurusin kredit macet dipengadilan aja bertahun-tahun. Kalau saya, misalnya saya punya 20 perak. Ternyata jumlah itu tidak cukup untuk ganti ongkos, dan nanggung biaya menunggu selama lima tahun supaya barang itu jadi duit. Ongkos kesana kesini berapa? Tiap tahun kan ada cost money-nya ini.
Terkait dengan CAR tadi, kira-kira bagaimana landscape perbankan kita nantinya?
Terus terang saya agak bingung waktu ada pembicaraan soal landscape perbankan Indonesia. Menurut Saya, yang didepan mata aja dulu yang dikerjakan. Landscape mah belakangan. Itukan hal yang alami.
Bukankah itu sifatnya sistem?
Tidak. Kalau menurut saya, yang harus diurusi itu bukan landscape. Tolong tulis itu. Landscape tidak perlu dipikirkan. Fondasi kita dulu pikirkan. Kok mikir yang diatas fondasi, nanti ini akan begini, ini akan menjadi ini. Fondasinya saja belum beres. Bereskan dulu. Diatasnya mau ada apa, kalau fondasinya sudah bagus dan kuat, diatas kan tinggal nurut saja. Sekarang kalau kita bicara landscape, mengapa bank pemerintah bisa membiayai yang bukan semestinya. BTN, itukan untuk membiayai perumahan. Kenapa bisa jadi untuk membiayai konglomerat ini, konglomerat itu? Bank pemerintah kita kan sebenarnya sudah ada ketentuan. BBD untuk agriculture, BTN untuk perumahan, Bapindo untuk investasi jangka panjang, BDN perdagangan, kan gitu?
Apa bukan karena kebanyakan bank makanya kondisi perbankan jadi seperti sekarang ini?
Tidak. Saya lihat sih hukumnya. Sekarang saya analogikan, Kenapa lalu lintas Jakarta kacau balau? Karena pengendaranya tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Kalau misalnya dua kali melakukan pelanggaran, lalu harus bayar denda dan uangnya masuk kas negara, atau tiga kali pelanggaran SIM-nya dicabut dengan tegas. Maka tidak akan ada orang yang berani bawa kendaraan sembarangan….. Inikan mirip semuanya. Sekarang begini, anda lihat perkembangan bank asing di Indonesia? Mereka datang hanya untuk menarik dana masyarakat. Lalu uangnya mereka belikan SBI, nggak masalah mereka bayar bunga 8% pertahun, karena pada akhir tahun mereka tinggal mengambil uang mereka dan mengembalikannya ke kantor pusat di negara masing-masing. Gimana coba? Jelek-jelek begini, kita kan masih ada kontribusi buat negara. Mestinya kan ada jaminan buat kita. Kalau ada kredit yang macet misalnya, bantu dengan penegakan hukum yang tegas. Bukan malah kita yang seolah-olah menjadi tertuduh balik.
Tapi penegakan hukum kan juga tidak semudah membalikkan telapak tangan?
Memang. Itu sebabnya harus ada keinginan kuat dari political will pemerintah. Mungkin negara lain butuh waktu ratusan atau pulihan tahun untuk menegakkan hukum, tapi kalau kita bisa lebih cepat kenapa tidak? Itukan bukan sesuatu yang buruk, dan sudah pasti akan membawa kebaikan bersama.Saya rasa IMF sudah mengajak kearah ini.
Terkait dengan IMF, mereka ingin 51% saham BCA dijual. Tapi banyak anggota DPR dan pakar ekonomi yang tidak setuju, karena khawatir akan jatuh kepihak asing?
Negara ini sudah tidak ada batasnya. Saya selalu bilang pada karyawan saya, jangan lupa 2003 sudah didepan mata. Kita mau ikut gerbong atau tidak? Gerbong akan berangkat tepat pada waktunya. Anda terlambat, silahkan tunggu kereta berikutnya lagi. Ketinggalan jaman, dan hukum alam yang akan bicara. Besok ada orang asing mau bikin usaha disini, nggak ada lagi ijin ini itu, ini AFTA. Kalau saya jadi manajer perusahaan, saya akan pilih mau yang mana? Mau yang Indonesia sendiri tapi nggak bisa bahasa Inggris, wawasannya sempit atau orang Malaysia yang wawasannya luas, dan bisa bahasa Inggris? Saya pilih orang Malaysia.
Ada semacam keyakinan dari anda, IMF akan mampu menggiring pemerintah. Apa tidak khawatir jika ternyata nanti kita malah ketergantungan?
Sudah kan? Kita memang sudah tergantung pada mereka. Mau bilang apa? Nasib kita memang begitu. Kita harus realistis.
Bank Artha Graha sendiri, ada rencana go public?
Waduh susah juga. Tapi kita masih melihat-lihat. Begitu momentum-nya tepat, kita akan lakukan. Lagi krisis begini, siapa yang mau? Apalagi perbankan sendiri dengan sektor industri kurang diminati.
Tapi dengan krisis ini, Bank Artha Graha diuntungkan oleh BPPN?
Oh iya. Ini saja pangsa pasar kita hampir Rp7 Trilyun. Itu dua tahun terakhir. Ya kita cukup menikmati lah. Tahun 99 kita merger sekitar Rp 3 Trilyun. Dari tahun 2000-2001 kita Rp 4,4 Trilyun. Sekarang lebih Rp 6,5 Trilyun. Cepat naiknya. Itu signifikan memang, dimana Artha Graha kebagian kuenya. Karena pemain sedikit dan ada yang hilang, kita kebagian dari yang hilang itu.
Masih bergerak diretail?
Masih dan memang dari dulu kita bukan bank yang terlalu besar di koorporasi.
Kalau diminta untuk bertahan disektor retail terus bagaimana? Kadang banker sendiri tidak tahan untuk tidak menggabung seperti kasus bank pemerintah kemarin-kemarin?
Saya rasa kalau contoh soal terlalu banyak. Ngeri…
Kalau kita bicara landscape tadi, berarti kan harus ada kejelasan pangsa pasar?
Terbukti bahwa mereka, mungkin pangsa pasar yang lebih aman ya.. yang gejolaknya… tetap ada.. tetapi lebih ada batas-batas yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan sektor riil pangsa pasarnya memang lebih ketat.
Tapi kalau tidak dilikuidasi atau dimerger, tidak ada yang mau menambah modal baru?
Tidak apa-apa. Biarin saja. Jangan terburu-buru.
Biar mati sendiri?
Jangan juga. Dipilihin yang bagus, lalu dijual. Sisanya baru masukkan ke BPPN untuk bisa dieksekusi kalau barang mereka ada yang bisa dijual. Begitu…. Yang ketahuan nakal, penjarakan.
Tapi tindakan Mar’ie dianggap tindakan pemerintah yang berani dan sangat tegas saat itu?
Betul. Tapi yang tegas kan tidak selalu baik. Saya hanya bisa ngomong hari ini, karena telah melihat hasilnya. Dulu kan belum. Kalau sekarang kita sudah lihat hasilnya, kita lihat lagi bagaimana prosesnya, kita analisa, baru ketahuan kalau tindakan yang dulu itu mungkin salah. Saya juga bisa salah bisa benar. Tapi itukan menurut pandangan saya. Contoh pengalaman saya. Waktu itu kan kita, walaupun jaman krisis mempunyai kebutuhan untuk beli mesin ATM dan komputer. Saya datang ke balai lelang. Kita tes itu barang. Komputer kok jalannya begitu. Ternyata, luarnya IBM dalamnya jangkrik. Mesin ATM juga begitu. Kosong. ATM cuma boksnya saja, dalamnya tidak ada apa-apa. Ini contoh bener. Sama mungkin dengan yang dilakukan oleh debitur itu mungkin. Itu akibat terlalu lama. Yang untungkan debiturnya. BPPN dibentuk 1998, sampai tahun 2000 pabrik belum diapa-apain. Mereka senang. Pabrik jalan terus, tidak ada kewajiban menyetor ke BPPN, tidak ada kewajiban bayar bunga, kan asik. Bener kan? Produksi terus, tidak bayar ke BPPN.
Ini mungkin yang dimaksud debitur masih mengontrol cash flow dan management?
Iya. Dan banyak jumlahnya. Sekarang kan fokus ke BPPN adalah debitur kakap. Sementara yang kecil-kecil nunggu saja. Ada yang beritikad baik datang ke BPPN, dilempar kesana-sini. Nomer belum gilirannya. Padahal selama menunggu giliran, dia diuntungkan karena pabrik boleh jalan terus. Tidak ada setoran ke BPPN. Sementara mesin-mesin sudah bertambah tua tiga tahun. Itu yang baik, ada yang mesinnya malah sudah dijual. Debiturnya sudah lari keluar negeri, entah kemana.
Ini debiturnya yang terlalu pintar atau BPPN yang kerjanya terlalu lambat?
Memang BPPN masalahnya besar. BUMN yang paling besar kan?
Kalau memang seperti itu kesalahannya ada dimana, salah pilih konsultan atau memang harga tidak layak tinggi?
Dari dulu juga harganya memang segitu.
Mengapa pakai nilai buku, bukan nilai pasar?
Begini, company valuation memerlukan asumsi. Kalau… kalau…kalau…. Kalau rupiahnya jadi sekian, kalau rupiahnya menguat, kalau Indonesia stabil. Variabelnya terlalu banyak dan semua variabel ini bermain. Jadi perhitungannya memang rumit.
(*)Presiden Direktur Bank Artha Graha
© Copyright 2024, All Rights Reserved