Menjelang tutup tahun 2001, Taufik Kiemas, Suami Presiden Megawati, untuk yang kesekian kali menuai kritikan, bila tak ingin dikatakan sebagai bentuk hujatan. Betapa tidak. Suami Megawati ini dikabarkan menjadi “penentu” akhir berbagai kebijakan presiden. Wajar, sebab Taufik berada dalam posisi sebagai pengusaha, politisi PDIP dan anggota DPR RI yang juga menjadi suami seorang presiden.
Dalam posisi yang seperti ini, TK (begitu panggilan akrabnya) menjadi sasaran kritik yang tentu saja ujungnya mengarah kepada pemerintahan Sang Istri, Megawati. Harus diakui, dugaan KKN dan perilaku hidup glamour (hidup mewah) memang sangat dekat dengan kesehariannya.
Simak saja krtitik keras yang dilontarkan Dr.Sjahrir kepada TK.”TK sepantasnya mengundurkan diri dengan segera dari DPR.” Mengapa Sjahrir berang? Sebagai anggota DPR dari Fraksi PDIP, TK terkenal malas dan bahkan hampir tak pernah menghadiri rapat-rapat komisi di DPR yang menjadi tanggung jawab seorang wakil rakyat.
Bagaimana dengan dugaan KKN? TK dikabarkan ‘melindungi’ sejumlah konglomerat bermasalah: Bos kelompok Texmaco Marimutu Sinivasan dan Sjamsul Nursalim. Di samping itu TK pun sering disebut-sebut menjadi ‘broker’ politik, menentukan siapa yang menduduki jabatan tertentu di birokrasi pemerintahan dan BUMN.
Kritik dan tudingan kelompok yang tidak menyukai TK selama ini, menjelang masuk di Tahun Kerbau 2002, seakan menemukan muaranya. Itu terlihat dari sepak terjang dan posisi TK yang menjadi menjadi utusan khusus Presiden Megawati dan menjadi Ketua Delegasi Indonesia ke Republik Rakyat Cina pada 18-20 Desember 2001. Dalam kunjungan itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi, Menteri Negara Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, dan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Laksamana Sukardi, serta pejabat terkait dan sejumlah pengusaha yang ikut dalam rombongan itu hanya menjadi anggota delegasi. Mereka diterima Perdana Menteri Zhu Rongji.
Kunjungan itu, dikabarkan menghasilkan beberapa memorandum kerja sama, antara lain perjanjian bilateral tentang penangkapan ikan di Indonesia oleh kapal-kapal RRC, kerja sama pembangunan dan investasi pembangkit listrik berkekuatan 200 mega watt antara PT PLN dan China National Machinery and Equipment Import and export Corporation, serta kerja sama pembangunan dan investasi beberapa pembangkit listrik tenaga batubara di Jawa dan Bali antara PLN dan Shanghai Electric Corporation Group.
Soal penujukan TK menjadi utusan khusus itu, mendapat kritik keras dari Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong. Presiden Megawati, kata Ambong, seharusnya tidak menunjuk suaminya sebagai utusan khusus, sebab secara konstitusi UUD 1945 menyebutkan bahwa pembantu presiden adalah para menteri di kabinet.
Jadi, dari sisi ini ada kerancuan yang terjadi. Dalam kapasitas apa TK berposisi politik seperti ini? TK itu anggota legislatif.
Semestinya ada pemisahan antara masalah kenegaraan dan pribadi. "Ini bukan hanya masalah etika, tapi kewenangan tugas kenegaraan," ungkap pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Satya Arinanto. Dia mengingatkan, saat pertama menjabat, Mega pernah berkomitmen untuk tak melibatkan suaminya dalam masalah kenegaraan. Kini justru terjadi sebaliknya. Se-otoriternya Soeharto selama menjadi presiden, belum pernah Ibu Tien memimpin delegasi pemerintahan.
Menurut Satya, sampai saat ini memang belum ada peraturan khusus yang mengatur pemisahan kewenangan antara presiden dan suami atau istrinya. Apalagi, baru kali ini Indonesia memiliki presiden wanita. Persoalan serupa sebelumnya pernah dipertanyakan berkaitan dengan peran ibu negara. "Ini
penting dipikirkan agar di masa depan tidak menjadi masalah," ujarnya.
Belum reda kritik soal posisinya ketua delegasi Indonesia ke China, TK seakan tak peduli. Di akhir tahun lalu (2001), dia memboyong keluarganya ke Bali. Sebuah pesta digelar untuk acara akhir tahun dan ulang tahun TK. Jika saja ini situasi normal, tentu tak ada masalah. Namun di tengah krisis, berpesta ke Bali menunjukkan bahwa keluarga RI satu tak peduli dengan krisis yang melanda rakyat negeri ini.
Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menilai Keluarga RI satu ini tidak peduli pada krisis. Menurut Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Imam Addaraqutni, Megawati tidak memberi contoh hidup sederhana. "Sebaiknya acara seperti itu di Istana Negara saja dan terbuka bagi rakyat," katanya.
Sementara dalam pandangan anggota DPR dari PAN, Djoko Soesilo memperkirakan, liburan Megawati itu menelan biaya tak kurang dari Rp 200 juta. Menurut dia, bisa saja itu dana pribadi Megawati. Namun, katanya, tetap saja menggunakan fasilitas negara. "Tidak layak dilakukan presiden negara yang sedang menuai krisis," ujar anggota Komisi I DPR itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved