PERTAMA, saya ingin mengutarakan keprihatinan terhadap adanya seruan untuk melakukan gerakan golput dan gerakan coblos semua, seperti ramai digemakan beberapa pihak belakangan ini.
Kendati besar dugaan bahwa dua seruan ini digelorakan di daerah tertentu yang secara teritorial berada di luar jangkauan kerja saya, akan tetapi saya tetap merasa perlu untuk memberikan semacam sudut pandang yang tidak terbatas dalam kapasitas sebagai penyelenggara pemilu. Melainkan sebagai tanggung jawab membagi kesadaran mendasar antar sesama warga negara.
Mulanya seruan untuk melakukan coblos semua pasangan calon dalam perhelatan Pilkada 2024 gencar disuarakan. Tapi kemudian seruan coblos semua paslon direvisi menjadi seruan untuk golput.
Menurut salah satu pihak, seruan coblos semua dianggap akal-akalan kelompok oligarki dan partai politik yang menginginkan kehadiran rakyat di tempat pemungutan suara (TPS) sehingga meninggalkan kesan bahwa angka partisipasi pemilih tetap tinggi, terlepas dengan status suaranya yang tidak sah.
Tetapi bila yang diikuti ialah seruan golput, maka dengan sendirinya TPS menjadi sepi, sehingga pilkada akan dinilai tidak representatif, tidak partisipatif, serta mempunyai derajat rendah baik secara kualitas maupun kuantitas.
Mengingkari Demokrasi
Seruan golput dan seruan coblos semua menurut saya setali tiga uang. Alias tidak ada bedanya. Keduanya tidak mendatangkan manfaat dan kepastian apapun dalam upaya pendewasaan sikap politik terlebih dalam lanskap kemajuan bernegara.
Sebaliknya, dua seruan itu bukan saja dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeligitimasi proses pilkada yang sudah direncanakan dengan baik sejak jauh-jauh hari, tetapi juga pengingkaran atas semangat demokrasi yang kita junjung dan kita perjuangkan sejak zaman reformasi.
Perjuangan menegakkan demokrasi sejak berpuluh tahun lamanya tentu terlalu mahal untuk dibayar di atas dalih terpenggalnya aspirasi seperti klaim segelintir pihak.
Lagi pula aspirasi rakyat sejatinya sudah termanifestasi melalui parpol dan mekanisme jalur independen yang sudah dibuka lebar-lebar.
Bahwa di dalam perjalanannya terdapat keputusan yang mungkin dianggap berseberangan dengan kehendak suatu kelompok tertentu itu soal lain. Dan harus dipandang sebagai keniscayaan dalam proses politik yang memungkinkan terciptanya suatu dinamika.
Yang pasti itu semua menunjukan bahwa proses pilkada tidak sedikit pun melenceng dari kaidah demokrasi. Artinya negara sudah memberikan berbagai jalan yang sesuai dengan konstitusi kepada seluruh rakyat untuk ambil bagian, termasuk dalam Pilkada 2024.
Belum lagi bila kita menengok bagaimana kerja inovatif dan kolaboratif yang diperlihatkan oleh penyelanggara pemilu disemua tingkatan untuk mempersiapkan keseluruhan tahapan berbulan-bulan lamanya secara transparan dan dengan pelibatan masyarakat secara luas.
Kita juga perlu melihat bagaimana para petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) di lapangan yang bekerja siang-malam. Mereka memasuki pelosok perkampungan, menerobos gang-gang sempit, melewati hutan, pegunungan, sungai-sungai dan medan terjal lainnya.
Semua itu dilakukan di bawah koordinasi dari penyelenggaran pemilu (KPU) demi tersedianya pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat luas dan memastikan agar hak-hak mereka terpenuhi.
Seluruh komponen dalam penyelenggaraan pilkada telah berusaha transparan dengan mempublikasikan seluruh mekanisme serta tahapan pemilu kepada khalayak.
Tentu suatu hal mencengankan bila terdapat pihak-pihak yang menyerukan ajakan yang justru menihilkan keseluruhan upaya yang telah dan sedang ditunaikan oleh seluruh komponen yang terlibat di dalamnya.
Menyambut dengan Bahagia
Sekali lagi, seruan boikot pemilu apa pun rupanya adalah tindakan yang tidak mencerminkan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak.
Saluran aspirasi yang tersedia lewat dua jalur (parpol dan independen) yang telah dijamin konstitusi harus dimanfaatkan dengan baik sebagai ikhtiar untuk menentukan pemimpin yang membawa perubahan serta kemajuan bagi daerah di seluruh Indonesia.
Kehadiran pemimpin baru perlu disambut dengan perasaan bahagia serta antusiasme tinggi. Dua perasaan itu akan menjadi resonansi positif terhadap lingkungan dan sekaligus membuka jalan bagi niat baik para pemimpin guna membangun daerahnya selama lima tahun ke depan.
Jadikanlah pilkada ini sebagai sarana untuk mensukseskan upaya dan niat baik yang dilakukan oleh seluruh pihak baik penyelenggara maupun kontestan dengan segala dinamika yang menyertainya.
Bila salah satu penulis di media ini beberapa waktu lalu menuliskan pilkada sebagai sarana untuk melahirkan para pemimpin daerah sebagai kepanjangan tangan kepentingan nasional, maka saya ingin menambahkan sedikit harapan semoga pilkada menjadi wasilah bagi lahirnya para pemimpin daerah yang menjadi kepanjangan tangan dari sifat rahman rahim Sang Pencipta.
Tulisan ini pendapat pribadi.
*Penulis adalah Komisioner KPU Kota Serang
© Copyright 2024, All Rights Reserved