Sejarah eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan kekayaan bumi kita, khususnya minyak dan gas bumi (MIGAS) cukup panjang. Dari perjalanan yang amat panjang tersebut, kini kemandirian dalam pengelolaan MIGAS nasional tak bisa kita capai. Mengapa?
Pada rentang waktu yang begitu lama, Bangsa Indonesia hanya mendapatkan sebuah keajaiban, yakni kontraktor asing terus dan semakin menguasai industri MIGAS nasional.
Sebanyak 85 persen MIGAS Indonesia telah dikuasai asing, ungkap Faisal Yusra, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja MIGAS Indonesia, dalam sebuah seminar tentang MIGAS, di Jakarta, Kamis (31/01/2013).
Sedemikian parahnya pengelolaan industri MIGAS Indonesia. Padahal, Indonesia pernah dalam posisi menjadi salah satu negara pengekspor MIGAS penting dunia, bahkan pernah menduduki kursi tertinggi OPEC/Orgniasasi Negara-negara Pengekspor MIGAS selama beberapa periode. Apa yang salah dalam pengelolaan MIGAS kita? Sehingga kini, buah nestapa yang kita nikmati dan melampaui titik balik, menjadi importir netto MIGAS serta harus keluar dari OPEC.
Sudah triliunan barrel minyak dan ribuan TCF gas bumi yang dikuras dari perut bumi kita untuk diekspor ke mancanegara, namun tidak berhasil berkontribusi nyata untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang mumpuni dalam sektor MIGAS. Realita yang sulit diterima dan tidak seharusnya kita terima. Malah fluktuasi harga BBM menjadi malapetaka bagi Bangsa Indonesia.
Rakyat Indonesia paham bahwa pembangunan dan beberapa kemudahan yang berhasil diberikan negara hingga saat ini, salah satu sumber pembiayaan utamanya adalah dari minyak dan gas bumi. Kekayaan alam luar biasa yang dikaruniakan Tuhan kepada Bangsa Indonesia.
Namun Rakyat Indonesia juga melihat bukti-bukti kemanfaatan luar biasa yang diberikan MIGAS Indonesia, baik bagi negara pengimpor, pemasar produk MIGAS Indonesia dan operator/krontraktor asing, bahkan warga negara negara lain asal kontraktor/operator asing tersebut. Sementara sebagian besar Rakyat Indonesia masih terpuruk, bak penonton dungu tak berdaya.
Sejak era Pemerintahan Soekarno hingga pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, tata pengelolaan MIGAS kita, hampir tidak ada perubahan yang mendasar. Masih tetap berkutat pada format Kontrak Production Sharing (KPS) atau dalam istilah Inggrisnya, Production Sharing Contract (PSC) yang diawali pada era Ibnu Sutowo.
Walau secara teoritis saat ini Pemerintah sudah berupaya maksimal untuk mulai memberlakukan format KPS “baru”, namun karena hanya merupakan proses tambal sulam dari format KPS lama, maka diyakini akan kurang memberikan kemanfaatan lebih/posisi lebih baik bagi Pemerintah Indonesia. Sebab, format bagi keuntungan yang setengah hati dan disertai dengan resistensi keras –khususnya dari pihak Asing—yang selalu dicoba agar diubah sana-sini.
Untuk memahami permasalahan, Kontrak Production Sharing (KPS/PSC) yang lahir akhir tahun 60-an saat Ibnu Sutowo memimpin Pertamina, format kemitraan dengan investor (yang pada masa itu sepenuhnya asing karena kondisi negara Indonesia di masa awal pendiriannya dan masih miskin) dan ditiru hampir semua negara di dunia.
Memang betul bahwa pada saat penciptaan format KPS, kerjasama dengan investor, kontraktor dan operator asing itu adalah opsi yang terbaik. Pada tahun 60-an, 70-an, 80-an, Indonesia sebagai negara baru, masih lapar, masih miskin, masih kurang terdidik dan tidak berkemampuan, cadangan devisa masih sangat rendah, sementara kebutuhan Rakyat dan pembangunan masih sangat tinggi. Saat itu kita harus mencari uang dengan cepat, dan “tabungan” yang diberikan Tuhan dalam bentuk sumber daya alam, khususnya MIGAS, saat itu adalah satu-satunya “harta” yang paling bisa kita “gadaikan” untuk menghasilkan uang.
Selain itu, secara fakta, setelah merdeka, kita harus memulai semua sendiri. Beberapa “kilang” minyak yang ditinggalkan masa penjajahan Belanda tidak meninggalkan sumber daya manusia maupun penguasaan teknologi oleh putra-putri Indonesia.
Namun, hari ini, tentu situasi dan kondisi yang menjadi kendala di eranya Ibnu Sutowo, sudah amat sangat jauh berbeda, tapi kenapa kemandirian kita dalam mengelola industri MIGAS belum dapat dicapai?
Mengapa semua itu bisa terjadi? Disadari atau tidak, hampir seluruh kebijakan energi dunia, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari dugaan olah peran Multinational Oil Company (MOC) yang sudah merambah ladang-ladang Minyak dan Gas di mancanegara.
Perusahaan-perusahaan MIGAS raksasa (MOC) dengan segala cara, selalu berupaya untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya dari perut bumi kita. Salah satu upaya strategis untuk itu, dilakukan upaya untuk menghapus peraturan perundang-Undangan, dinegara mana mereka membuka ladang-ladang MIGAS, terutama aturan yang kurang menguntungkan mereka.
Di Indonesia, seperti yang sudah menjadi obrolan warung kopi di masyarakat perminyakan, ditengarai kesuksesan awal MOC yang tiada tara, adalah dicabutnya UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang murni berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Penjabarannya dalam Undang-Undang No. 44 Prp Tahun 1960 tersebut ditemukan pada Pasal 2 yang menegaskan bahwa: “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara”.
Rontoknya UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 sama artinya mencabut kewenangan Pertamina sebagai pemegang manajemen Kontak Production Sharing (KPS). Dan tentu saja, LEMIGAS turut serta menjadi lembaga yang kerdil, tak jelas peran dan fungsinya (lihat sejarahnya http://www.litbang.esdm.go.id/index.php/puslitbangtek-MIGAS-qleMIGASq/sejarah).
Kini dijelmakan menjadi UU Nomor 22 Tahun 2001 yang pada pokoknya merupakan kebijakan liberalisasi bisnis MIGAS. Akibatnya otoritas energi menjadi lemah, termasuk dalam penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri.
Seiring dengan diterapkannya UU Nomor 22 Tahun 2001, para pemegang KPS menunda eksplorasi dan berujung pada penurunan produksi nasional MIGAS. Padahal saat itu harga minyak mentah dalam posisi tinggi. Dan kita tidak bisa menikmatinya. Malah yang terjadi sebaliknya, subsidi BBM dalam APBN menjadi tinggi. Artinya, Rakyat Indonesia yang menanggung akibatnya.
UU MIGAS Nomor 22 Tahun 2001 baru saja berjalan, pada tahun 2004 Mahkamah Konstitusi menganulir empat pasal, salah satunya Pasal 12 ayat 3 yang langsung berhubungan dengan tata kelola kelembagaan hulu MIGAS.
Tidak hanya sampai disitu, Mahkamah Konstitusi lagi-lagi membatalkan pasal yang terkait dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu MIGAS (BP MIGAS). Seluruh pasal dinyatakan tidak berlaku karena keberadaan BP MIGAS dinilai inkonstitusional.
Dengan demikian, fondasi legal tata kelola MIGAS kita, menjadi kurang kokoh. Kondisi seperti ini bisa memunculkan berbagai ketidakpastian dalam aturan main pengelolaan industri hulu MIGAS. Walaupun sudah dilahirkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu MIGAS (SKK MIGAS).
Dalam kondisi hari ini, pergolakan pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah karena harga minyak yang tinggi, sepatutnya tidak hanya dilihat sebagai sebuah kondisi yang wajar. Harga BBM otomatis akan naik, dan kemudian BBM akan diseret agar menyentuh harga pasar. Selanjutnya, bila sudah berada pada posisi harga pasar, siapa yang mendulang keuntungan besar? Tentu para pemegang KPS yang memiliki pangsa pasar, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Sementara kita, ngotot beradu pendapat soal mencabut atau menambah subsidi BBM di APBN.
Setidaknya, ada tiga argumentasi yang sering digunakan dalam “perjuangan” mempertahankan hegemoni asing di Industri MIGAS Nasional: 1) keterbatasan investasi dan potensi kerugian yang mungkin diderita investor nasional karena Industri MIGAS beresiko tinggi, 2) keterbatasan teknologi, 3) keterbatasan SDM.
Sebut saja misalnya, dalam berbagai kesempatan, pengambil kebijakan selalu mengatakan bahwa bisnis MIGAS beresiko tinggi dan memerlukan teknologi yang mutakhir serta modal yang besar. Pernyataan yang demikian, tentu tidak salah. Hanya saja, perlu juga dilihat kenyataan yang ada, bahwa seluruh teknologi yang digunakan selama ini oleh operator asing pemegang kontrak telah mampu dikuasai oleh Pertamina.
Pada kenyataannya, baik perusahaan asing maupun perusahaan nasional di bidang MIGAS, sama-sama memiliki resiko yang tinggi. Kenapa perusahaan asing yang diizinkan, sementara perusahaan minyak nasional tidak? Padahal perusahaan asing juga memahami resiko yang sama dengan apa yang akan dialami perusahaan minyak nasional. Perusahaan asing tetap melakukan eksplorasi di wilayah kerja yang sudah ditentukan pemerintah, karena mereka mengetahui bahwa didalam bumi dimaksud terpendam keuntungan yang berlimpah. Itu fakta, bukan spekulasi.
Penguasaan ilmu dan teknologi oleh pengusaha Indonesia terbukti kompetitif dengan negara lain. Tenaga ahli Indonesia, banyak dipakai pada industri-industri strategis di luar negeri. Sementara dalam hal MIGAS seharusnya jauh lebih kompetitif bahkan seharusnya termasuk terbaik. Kenapa? Karena melalui kemitraan ratusan Kontrak Kerjasama MIGAS yang pernah dan masih berjalan dalam kurun lebih dari 50 tahun, Negara sudah menghabiskan trilliunan Rupiah untuk turut dalam penelitian, pengkajian, pengembangan dan uji coba keilmuan dan teknologi MIGAS yang dilaksanakan oleh Kontraktor KPS dengan biaya Cost Recovery.
Hal sama bagi Sumber Daya Manusia. SDM Indonesia sudah tidak kalah mampu dan profesional dibandingkan SDM impor, ini terbukti dengan permintaan yang sangat besar atas SDM kita untuk bekerja pada industri MIGAS di luar negeri. Terutama, seperti halnya teknologi, Negara juga sudah menghabiskan triliunan Rupiah untuk membiayai secara penuh melalui Cost Recovery, pelatihan, pengembangan dan sertifikasi SDM yang dipekerjakan oleh Kontraktor KPS.
Perlu juga mendapat perhatian khusus, dengan dugaan yang cukup kuat, bahwa sampai kurang dari lima tahun lalu, biaya pelatihan, pengembangan dan sertifikasi tenaga kerja asing di MIGAS nasional, sempat pula dibiayai oleh Cost Recovery. Sebuah kebodohan yang terlewat dari pengawasan publik: Negara membiayai SDM asing untuk maju, sementara Rakyat Indonesia sekitar 40% hanya tamat sekolah dasar.
Mengenai bahwa kita sudah mampu dari segi pembiayaan, kita kembali pada inventaris kekayaan Tanah Air kita. Aset berupa cadangan MIGAS masih sangat besar dan masih menjadi incaran. Berbagai pola financial engineering yang kini berlaku dalam perdagangan dunia, kesiapan dan pengalaman sistem perbankan nasional, memungkinkan bagi Indonesia dan pengusaha Indonesia untuk mengakes permodalan secara langsung, termasuk permodalan bagi MIGAS. Apalagi sektor MIGAS pada prinsipnya merupakan suatu usaha yang modal utamanya adalah aset berupa blok yang akan dieksploitasi. Toh investor asing juga menggunakan pola yang sama dalam mendapatkan modal: mereka menjajakan blok MIGAS Indonesia yang sudah didapatkannya sebagai “penarik” dan “penjamin” investor.
Pertanyaan penting adalah, benarkah bahwa tidak adanya investor asing menjadi kendala kemampuan MIGAS Indonesia untuk mencapai target? Apakah memang sedramatis itu, bahwa Indonesia butuh bermitra dengan investor asing bila ingin terus mengoptimalkan industri MIGAS-nya?
Saya cenderung menjawab pertanyaan pertama dengan pernyataan bahwa Industri MIGAS Indonesia justru terhambat perkembangannya akibat berkuasanya investasi, operator dan kontraktor asing. Kenapa?
Dalam kurun waktu sejak KPS pertama ditanda-tangani jamannya Ibnu Sutowo, gambaran sweet deal yang kita peroleh saat itu dari kerjasama dengan investor asing, sebenarnya dalam 25 tahun terakhir ini sudah berubah menjadi fatamorgana yang mengelabui kita.
Komunikasi yang terungkap di publik adalah bahwa berdasarkan formula KPS: investor menalangi 100% biaya pengoperasian sebuah blok MIGAS, kemudian keuntungan dari hasil penjualan produk Minyak, Gas Bumi ataupun kondensat yang dihasilkan, dibagi 85 % (bila Minyak) atau 70% (bila Gas Bumi) bagi negara dan sisanya 15% atau 30% bagi Kontraktor. Keuntungan dihitung setelah dikurangi segala pembiayaan yang terjadi, yang ditanggung Negara dengan menggantikan pengeluaran tersebut atau yang lebih dikenal dengan terminologi Cost Recovery.
Bila melihat komposisi KPS untuk Minyak 80 – 15 dan Gas 70 – 30, seharusnya kita introspeksi secara serius terhadap pernyataan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini: "Tahun ini produksi gas kita lebih besar yakni mencapai 1,46 juta barel setara minyak per hari (boed), kondesat 101.787 boed, minyak 724.538 boed jadi totalnya 2.290.813 boed, ya karenakan kita migas ada minyak dan gas, dulu juga sama migas juga 1,6 juta barel itu kan ada gas nya 266 juta kaki kubik per hari," ungkapnya bangga ketika berkunjung ke Kantor Trans Corp, seperti dikutip Selasa (23/4/2013).
“Jadi Indonesia itu sekarang OPIC, karena I-nya importir, produksinya turun sedangkan kebutuhannya terus meningkat jadi terpaksa harus impor," ucap Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini.
Bagian kontraktor KPS untuk gas lebih besar, wajar saja mereka menggenjot produksinya! Sementara untuk Minyak lebih kecil dan kita sudah tergiring pada posisi menjadi importir minyak. Pertanyaannya, hasil produksi kontraktor mana yang kita beli melalui skenario impor tersebut? Toh bersumber dari hasil produksi MOC juga. Kemudian, faktor skenario apa yang menjadi penyebab produksi Minyak kita begitu drastis turun?
Dari berbagai publikasi di ruang publik, yang dilakukan oleh investor MIGAS, kita dibuat percaya bahwa investor asing itu sangat berkorban dan amat berjasa bagi Indonesia. Kalimat-kalimat seperti “... investor asing akan berupaya menekan biaya serendah-rendahnya karena investor turut menanggung 15% (atau 30%) dari pengeluaran. Semakin rendah biaya, semakin rendah cost recovery.” Lalu, “Pemerintah (Indonesia) sangat teruntungkan karena 100% resiko investasi ada pada investor yang menalangi seluruh biaya di muka.” Benarkah?
Mari kita telisik. Pertama, yang lupa dijabarkan secara rinci dan rakyat Indonesia sebagian besar tidak mengetahuinya adalah, bahwa tidak semua biaya itu benar-benar terbagi secara tegas 85:15 (atau 70:30) dalam pelaksanaannya. Biaya-biaya semisal pengeluaran operasi lapangan, penggajian dan tunjangan, pengembangan karyawan, dan sebagainya itu 100% oleh ditanggung Negara, dan bukan oleh investor. Termasuk penggajian dan fasilitas bagi tenaga asing tertentu.
Ke-dua, ada istilahnya RFS (Request For Service dan Request for Study) yaitu mekanisme untuk mendapatkan konsultasi dari Kantor Pusat Kontraktor Asing bagi pelaksanaan kegiatan di Indonesia. Karena konsultasi ini dimasukkan sebagai bagian dari operasi, maka ini bisa dianggap sebagai satu lagi saluran pengaliran uang Negara kepada investor.
Ke-tiga, pelaksanaan International Assignment (IA) atau penugasan internasional tenaga kerja Indonesia di kantor pusat atau di cabang-cabang perusahaan. IA ini tujuannya untuk transfer pengetahuan, pengalaman dan teknologi kepada tenaga kerja Indonesia. Sebagai “imbangan” bahwa tenaga kerja Indonesia sudah dikirimkan ke luar negeri, maka perusahaan yang di Indonesia mendapatkan ijin dari SKKMIGAS (dahulu BPMIGAS) untuk “mengimpor” tenaga kerja asing yang juga IA di Indonesia. Tujuannya sama, mereka mendapatkan alih pengetahuan, pengalaman dan teknologi dari pekerja dan kenyataan lapangan di Indonesia. Berhubung perundang-undangan ketenagakerjaan kita secara tegas melindungi dengan mengatur bahwa pekerjaan/profesi/ketrampilan yang sudah dimiliki warga Negara Indonesia tidak boleh dilaksanakan pekerja asing, maka “barter” perijinan tenaga asing untuk bekerja di Indonesia dengan penugasan internasional tenaga Indonesia, tentu merupakan salah satu elemen kunci dan sangat krusial dalam upaya pemerintah untuk pemandirian industri MIGAS Indonesia.
Sehingga, bila pada kenyataannya ada karyawan Indonesia yang dikirim penugasan internasional itu sudah berusia di atas usia 48 tahun (bahkan ada yang menjelang memasuki usia pensiun). tentu perlu dipertanyakan apakah pengiriman mereka itu betul untuk alih teknologi atau sekedar memenuhi quota agar pekerja asing bisa masuk ke Indonesia?
Tampaknya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu melakukan pengawasan yang lebih melekat lagi, atau membentuk tim khusus untuk secara khusus mengawasi pelaksanaan International Assignments ini agar tidak menjadi satu lagi “jalur penggerusan” uang Negara melalui pos Cost Recovery. Khususnya bagi kontrak-kontrak yang saat ini sedang menjadi perhatian serius Rakyat Indonesia, semisal Blok Mahakam, di mana terindikasi adanya dugaan pengiriman lebih dari 100 orang insinyur-insinyur warga Negara Indonesia yang dikategorikan potensial ke mancanegara, dengan kontrak 64 bulan (5 tahun 4 bulan).
Mengingat penguasaan Blok Mahakam oleh TOTAL akan berakhir Desember 2017, dan setelah itu akan dikelola sepenuhnya oleh Pertamina atau kemitraan Pertamina-Total-Inpex, maka patut dipertanyakan, apakah pengiriman itu tidak merupakan suatu strategi jangka panjang TOTAL untuk memindahkan SDM berkualitas keluar dari Mahakam, untuk nantinya kembali ke Indonesia mengisi pos-pos pada Blok-blok TOTAL lainnya di luar perusahaan yang mengelola Mahakam. Pertanyaan lain dan ini berpotensi menjadi skandal besar, bila benar-benar terjadi: Pengembangan SDM tersebut menggunakan biaya cost recovery dari Mahakam, padahal yang akan mengambil kemanfaatan adalah perusahaan lain? Maka peran dan fugnsi SKKMIGAS dalam “modus” ini sungguh dipertanyakan. Jika hal ini benar terjadi, seperti yang diduga berbagai kalangan. Semoga tidak. Mengingat SKKMIGAS bertanggung-jawab memberikan ijin atas pengiriman tenaga-tenaga ini, selain harus turut mempersiapkan kemandirian MIGAS Indonesia.
Apalagi sejak jauh hari, PT Pertamina (Persero), mendesak pemerintah memberikan pengelolaan Blok Mahakam secara penuh, pascaberakhirnya kontrak Total E&P Indonesie dan Inpex di 2017.
“Kita mengharapkan pengelolahan Blok Mahakam yang dikontrak Total dan Inpex berakhir di 2017 tanpa perpanjangan kontrak kembali,” kata Vice President Communication Corporate Pertamina, Ali Mundakir di Jakarta, Kamis (21/2/2013).
Bahkan, Ali Mundakir memberi perspektif yang sangat bagus. Kata Ali, jika pemerintah memperpanjang kembali kontrak Total dan Inpex, kontraktor tersebut hanya membayar bonus tanda tangan yang besarnya sekitar US$5 juta hingga US$10 juta. Itupun bergantung mekanisme negosiasi antara pemerintah dan kontraktor.
“Ketika kontrak 100% dikuasai Pertamina, maka tiap kontraktor yang telah memenangkan tender harus mengikuti sesuai aturan Bank Indonesia (BI) dengan memberikan pembelian 50%, misalnya nilainya US$500 juta. Jadi perbedaannya sangat signifikan antara signature (bonus tandatangan) dengan pembelian yang mengikuti aturan BI,” jelas Ali.
Suara senada juga datang dari Wakil Presiden RI 2004-2009, Jusuf Kalla. "Kalau saya mau berpendapat, Pertamina itu sangat mampu dan bisa mengelola Blok Mahakam," ujar Kalla di Jakarta, Rabu (3/4/2013).
Dengan sudah panjangnya pengusaan Blok Mahakam oleh asing hingga 50 tahun, kata JK, sudah sepantasnya Indonesia mengelola lapangan ini agar dikuasai dan dikembangkan sendiri. "Karena itu seharusnya memang Pertamina harus bisa dan kelola sendiri Blok tersebut," tegas JK.
Ada pengalaman di mana konsultan asing tidak selalu lebih mengenal kenyataan setempat, sehingga materi konsultasinya cenderung tidak sepenuhnya efektif. Juga kita ketahui bahwa konsultan asing itu cenderung sangat mahal dan dibayar secara jam-jaman atau harian dalam mata uang asing, yang pajaknya pun dibayarkan ke negaranya, walau pekerjaan dan pembayaran dilakukan di dan oleh Indonesia. Anggaran RFS ini bisa jadi mencapai puluhan bahkan ratusan miliar digelontorkan oleh kontraktor-kontraktor asing besar.
Ke-empat adalah dampak dari "nama besar" investor asing yang menjadi mitra kita. Sebagai perusahaan yang membawa nama besarnya, maka kita terpaksa mengikuti standarisasi yang mereka tetapkan. Standar yang pada akhirnya cenderung sulit ditemukan dalam negeri sehingga harus impor, dan kalaupun ada cenderung sekedar perantara dari produk asing. Dan jangan lupa, bahwa standar itu tidak melulu terkait dengan teknik MIGAS, standar hidup para pekerja MIGAS pun ditetapkan sebagai bagian dari nama besar investor tadi. Maka tidak heran bila kita browsing pemberitaan-pemberitaan tentang industri MIGAS beberapa waktu lalu akan kita temukan misalnya berita bahwa DVD Pinocchio yang digunakan untuk hiburan anak-anak ekspatriat itu ditanggung sebagai Cost Recovery.
Ke-lima adalah berurat dan berakarnya jejaring gurita rantai suplai (supply chain) MIGAS dan kokohnya gandengan tangan investor-suplier-vendor-konsultan asing/multinasional dalam mengepung pasar MIGAS. Bak mothership raksasa dalam film Starwars yang berlayar menghancurkan apapun yang menghambat tujuannya.
Industri MIGAS Indonesia dikepung oleh supplier-vendor-konsultan asing yang tentunya selalu lebih berhasil memenuhi technical specifications dari setiap demand yang ada. Kalaupun akhirnya produk itu sudah ada di Indonesia, maka biasanya spesifikasi lantas ditingkatkan lagi, sehingga kembali tidak tembus proses tender untuk masuk ke dalam rantai suplai. Belum lagi secara berkala adanya hasil kajian yang menilai harus dilakukan peningkatan kualitas produk tertentu dengan dalih demi optimalisasi kinerja dan produksi. Padahal, pengeluaran-pengeluaran ini adalah jantung penyedot terbesar Cost Recovery yang keluar dari kantong kita.
Melihat butir-butir di atas, khususnya gurita bisnis jejaring rantai-suplai yang diduga kuat sarat dengan korupsi, maka tidaklah heran bila perdebatan mampu tidaknya Pertamina untuk mengelola industri MIGAS nasional, selalu digulirkan dan dijadikan wacana, sehingga membuat profil Pertamina menjadi buruk. Tema opini ini diduga merupakan bagian dari strategi kampanye MOC, yang didalamnya bekerja putra-putri bangsa yang terlena oleh secuil belaian fasilitas dan dolar hasil perut bumi sendiri. Padahal, apa yang mereka nikmati, hanya sebatas debu dari triliunan barrel minyak dan ribuan TCF gas bumi hasil perut bumi Ibu Pertiwi.
Padahal, kini Pertamina terus memperkuat diri. Salah satu kematangan Pertamina sebagai industri MIGAS Nasional, pada 2001 lalu mengambil langkah sangat strategis dengan membentuk anak-anak perusahaan yang fokus pada bidang-bidang tertentu. Selain itu, upaya pencegahan korupsi yang dilakukan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus didukung sepenuhnya.
Untuk mengatasi persoalan kedaulatan dan kemandirian industri MIGAS nasional, undang-undang MIGAS yang baru harus sejalan dengan UUD 1945. Di mana, pengelolaan MIGAS dari hulu ke hilir diserahkan seluruhnya ke perusahaan negara, dengan Pertamina sebagai operator.
Disisi lain, upaya memperlemah Pertamina, sebagai sebuah perusahaan, juga terlihat dari aturan main dalam penggunaan alokasi pendapatan. Menurut Ekonom MIGAS, Darmawan Prasodjo, tertinggalnya Pertamina dari perusahaan MIGAS negara lain seperti Petronas karena sistem tata kelola MIGAS yang keliru. “Sebagian besar pendapatan Pertamina diserap oleh APBN, padahal Pertamina sebagai sebuah lembaga bisnis memerlukan belanja modal untuk meningkatkan kemampuannya.,” ungkap Darmawan dalam sebuah seminar tentang MIGAS, Kamis (31/01/2013).
Ditempat yang sama, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR, Puan Maharani menegaskan, bahwa kondisi Pengelolaan MIGAS Indonesia, terutama sejak dibubarkannya BP MIGAS tengah mengalami darurat konstitusi.
Kata Puan, pihaknya akan mendorong DPR untuk segera mengesahkan UU MIGAS yang kini masih dalam revisi. “Sudah seharusnya kita membuat UU MIGAS "Merah Putih" yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. UU ini nantinya diharapkan bisa mengimplementasikan Pasal 33 UUUD 1945", ungkap Puan.
Kata tokoh muda PDIP ini, “Pemerintah harus mendahulukan BUMN dalam pengelolaan MIGAS. Dengan begitu, Monopoli yang dilakukan oleh Pertamina dalam pengelolaan MIGAS di negeri ini justru sejalan dengan undang-undang”.
Dari informasi yang ada, ada cermin besar dihadapan kita. Di China, BUMN dan perusahaan migas swasta nasional menguasai 95 persen kegiatan usaha hulu migas. Di Meksiko, Pemex merupakan satu-satunya operator pengusahaan migas. Di Kanada, hampir 80 persen BUMN migas mengontrol produksi migas nasional.
Yusuf Yazid, Pemerhati Ruang Publik
© Copyright 2024, All Rights Reserved