Kematian Tiara Debora Simanjorang, bayi berumur 4 bulan yang diduga terjadi akibat terlambat mendapat penanganan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) dari RS Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta Barat karena faktor biaya, mendapat sorotan luas banyak kalangan.
Lebih miris lagi, keluarga peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, itu tidak dilayani fasilitas PICU karena tidak membayar kekurangan uang muka, karena rumah sakit itu tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Kebjakan pihak rumah sakit tersebut, mendapat kecaman keras dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka.
“Tindakan rumah sakit tidak segera memasukkan dan merawat pasien di ruang PICU sesuai indikasi medis karena faktor biaya sehingga menyebabkan pasien meninggal dunia adalah kebijakan tidak manusiawi,” ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (12/09).
Anggota Komisi VI DPR itu menilai, ada indikasi pihak rumah sakit telah melakukan pelanggaran hukum, terkait penelantaran pasien yang berujung pada kematian tersebut. Kepada Elva Setyaningrum dari politikindonesia.com, perempuan kelahiran Garut, Jawa Barat, 8 Januari 1974 ini memberikan tanggapannya terhadap kasus yang kini mendapat perhatian luas publik tersebut.
Lulusan Universitas Indonesia ini juga mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai kasus kematian bayi Debora?
Tindakan rumah sakit yang tidak segera memasukkan dan merawat pasien di ruang PICU sesuai indikasi medis karena faktor biaya, merupakan kebijakan tidak manusiawi. Tindakan keterlambatan itulah yang diduga mengakibatkan pasien meninggal dunia.
Jika memang kejadian itu benar, kami anggap RS tersebut sudah melanggar hukum. Sebagaimana tertuang dalam pasal 23 ayat 2 UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang berbunyi: dalam keadaan darurat, pelayanan dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan BPJS.
Jika merujuk kasus kematian bayi Debora, membuktikan pelayanan kesehatan di RS masih buruk dan masih banyak rumah sakit nakal. Selain itu, kejadian ini menunjukkan belum ada sistem yang baik sehingga dapat memastikan perlindungan pasien.
Menurut Anda, kebijakan apa yang sudah dilanggar oleh RS itu?
Kebijakan RS yang menolak pasien karena kendala biaya diduga melanggar berbagai peraturan perundang-undangan. Di antaranya, UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 23 Ayat 2, UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 32 ayat 1 dan 2 dan Pasal 190 ayat 1 dan 2.
UU tersebut jelas mengatur bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
Aturan tersebut juga berlaku pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Karena dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka.
Dalam Pasal 190 ayat 2 bahkan mengatur, bahwa pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan atau tenaga kesehatan dapat dikenai kurungan maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar, apabila menolak pasien yang mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian.
Berarti bisa dikatakan ada kelalaian, menurut Anda?
Ya sudah pasti ada kelalaian yang terjadi. Di antaranya, dalam mencari RS rujukan yang bermitra dengan BPJS Kesehatan.. Seharusnya pencarian dilakukan sendiri oleh pihak RS.
Kesalahan lain yang dilakukan pihak RS adalah tidak bertanya kepada orangtua Debora, terkait cara pembiayaan anaknya. Akibatnya, pihak RS tidak mengetahui bahwa Debora adalah pasien BPJS.
Kenyataannya, orangtua Debora diminta untuk membayar 50 persen biaya memasukan anaknya ke ruang PICU padahal biaya tersebut bisa ditanggung BPJS.
Sebagai wakil rakyat, apa yang ingin Anda lakukan?
Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) dan Dinas Kesehatan DKI harus segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas kasus bayi Debora. Jika ada pelanggaran, maka RS tersebut harus diproses pidana. Selain itu, BPJS Kesehatan juga harus memperluas kerja sama dengan RS swasta.
Data per 1 September 2017, menyebutkan jumlah peserta BPJS Kesehatan 180.772.917 orang. Kami juga mendesak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar menertibkan RS nakal dan menerbitkan peraturan semua RS tanpa terkecuali, termasuk RS swasta wajib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan tidak boleh menolak pasien.
Berkaca dari kasus bayi Debora, apa harapan Anda?
Kami juga mendesak aparat penegak hukum memproses pidana pelanggaran yang dilakukan rumah sakit. Kita berharap agar kasus seperti ini tidak terulang lagi dimana pun. Sebab, pasien BPJS seperti halnya pasien-pasien lain harus mendapatkan perawatan kesehatan yang diperlukan, apalagi jika dalam kondisi kritis.
© Copyright 2024, All Rights Reserved