Pengembangan produk pertanian hasil dari bioteknologi (rekayasa genetik) masih menghadapi sejumlah tantangan hingga saat ini. Produk pertanian dari hasil bioteknologi masih menghadapi isu negatif seperti kerusakan lingkungan, sosial ekonomi, kesehatan dan anggapan tidak halal.
Padahal bioteknologi mampu menambah produksi pangan dan kesejahteraan petani. Selain itu juga dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya tanah dan kerusakan lingkungan hidup. Hal itu dilakukan melalui peningkatan produktivitas pertanian secara intensif.
Anggota Komisi Keamanan Hayati untuk Produk Rekayasa Genetika (KKH PRG) Bambang Purwantara mengatakan sebenarnya bioteknologi memiliki potensi untuk meningkatkan produksi pangan, kesejahteraan petani dan mengurangi tekanan terhadap lahan dan lingkungan hidup. Hal itu dilakukan melalui peningkatan produktivitas pertanian secara intensif dari setiap hektar lahan pertanian yang ada di Indonesia. Namun, ada banyak faktor mengapa bioteknologi pertanian di Indonesia tidak berkembang. Salah satunya, pada regulasi serta implementasi.
"Padahal, apabila kebijakan ini telah lama dikembangkan, pendapatan petani Indonesia akan meningkat seiring dengan meningkatnya produksi pangan. Sehingga banyak petani yang memilih untuk tetap bertahan menjadi petani dan tidak berpindah ke profesi lain. Tapi hal itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, di mana pendapatan petani terus merosot tajam dan tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk produksi," katanya kepada politikindonesia.com dalam diskusi mengenai perkembangan bioteknologi dalam pertanian di Indonesia, di Jakarta, Senin (11/09).
Menurutnya, persoalan krusial yang melanda pertanian di Indonesia saat ini meliputi penurunan jumlah petani dan percepatan laju alih fungsi lahan. Karena itu, perlu upaya lain pada sektor pertanian yang lebih efektif dan efisien. Bila tidak, pemerintah tak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi penduduk dengan pasokan pangan nasional.
"Selama 20 tahun terakhir, bioteknologi mampu mengurangi dampak lingkungan secara siginifikan. Selain itu mendorong pertumbuhan ekonomi di 26 negara. Sehingga mampu membantu mengurangi kemiskinan di negara berkembang sebanyak 16,5 juta petani kecil. Adapun di Indonesia, sekitar 65 persen penduduk miskinnya ada di desa dan dari jumlah itu, sekitar 60 persen adalah petani. Ini yang harus diakhiri dengan pertanian inovatif," tandasnya.
Bambang mengungkapkan, bagi petani yang telah diberikan akses dan pilihan menanam tanaman bioteknologi, selama 20 tahun para petani itu secara konsisten sudah mengadopsi teknologi ini dan memberikan kontribusi bagi suplai makanan yang lebih berkelanjutan. Selain itu juga lingkungan yang lebih baik, di mana mereka tinggal. Sebab, bioteknologi tanaman telah mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
"Faktanya, secara signifikan telah mengurangi emisi gas rumah kaca pertanian. Dari tahun 1996 sampai 2015, bioteknologi tanaman mengurangi penggunaan pestisida sebesar 619 juta kilogram atau setara dengan pengurangan global sebesar 8.1 pesen. Selain itu, penggunaan pupuk secara efisien serta irit penggunaan air. Sebenarnya, masih banyak keuntungan lainnya dengan penerapan bioteknologi pada tanaman," imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, pakar Pertanian dari Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin, mengakui, pemerintah memang masih setengah hati mengembangkan bioteknologi bidang pertanian. Padahal, pemanfaatan teknologi pertanian tersebut dapat menggenjot produksi pangan nasional. Sehingga kebergantungan terhadap impor bisa ditekan. Apalagi nilai impor beras selama pemerintahan Joko Widodo sangat besar.
"Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sejak 2014 hingga September ini, nilai impor beras mencapai 2,84 juta ton senilai 16,2 trilliun rupiah. Melihat besaran nilai impor tersebut, tidak mungkin hanya beras premium seperti yang diklaim Kementerian Pertanian (Kementan) selama ini. Kuat dugaan impor juga dilakukan untuk beras jenis lainnya, termasuk medium dan sebagainya.
Untuk itu, pemerintah perlu sungguh-sungguh mengembangkan bioteknologi pertanian," ucap Bustanul.
Selama ini, lanjutnya, bioteknologi dalam pertanian memang belum dimulai sama sekali. Padahal ini merupakan jurus ampuh mengatasi meningkatnya laju konversi lahan per tahun. Sebab, bioteknologi pertanian tidak membutuhkan lahan yang terlalu luas tetapi menekankan pada kualitas tanaman. Apalagi bioteknologi merupakan upaya meningkatkan kualitas tanaman melalui aplikasi teknologi, seperti memodifikasi fungsi biologis suatu organisme dengan menambahkan gen dari organisme lain.
"Di beberapa negara telah banyak yang mengembangkan bioteknologi dalam pertanian. Di antaranya Filiphina, Vietnam, Brasil, Argentina serta banyak negara lainnya. Sayangnya di Indonesia hingga saat ini belum berjalan. Alasannya, petani dan sebagian orang masih menganggap penggunaan bioteknologi ini sangat tidak aman bagi lingkungan dan pangan. Mereka seperti tidak mau mengambil resiko kegagalan jika produk rekayasa genetik pada tanaman ini diterapkan di Indonesia," paparnya.
Menanggapai hal ini, Ignatia Maria Honggowati, Asisten Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menambahkan, sebenarnya pemerintah melalui produk hukumnya telah memberikan lampu hijau untuk hasil produk rekayasa genetik tanaman diterapkan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika yang mengatur antara lain, jenis dan persyaratan PRG, pemasukan PRG dari luar negeri, pengkajian, pelepasan dan perdaran serta pemanfaatan PRG.
"Selagi memenuhi persyaratan tersebut, khususnya soal kemanan bagi pangan dan lingkungan, hal tersebut diwenangkan. Untuk itu, kami dari pemerintah telah membuat roadmap soal ini dan masih dikaji. Diharapkan pada 2018 telah selesai dan dapat dimplementasikan di masyarakat sebelum isu-isu negatif terus dihembuskan," kata Maria.
Dijelaskan, nantinya roadmap itu memberikan acuan kepada instansi terkait dan pemangku kepentingan untuk mengembangkan produksi dan penggunaan benih produk rekayasa genetik produksi dalam neger. Ruang lingkup peta jalan meliputi manfaat dan keuntungan ekonomi, faktor-faktor strategis pengembangan benih produk rekayasa genetik. Selain itu, analisis lingkungan strategis pengembangan benih produk rekayasa genetik, strategi pengembangan benih produk rekayasa genetik dan rencana aksi.
"Selama ini, instansi terkait masih berjalan sendiri. Sehingga pengembangan produk rekayasa genetik seolah jalan di tempat. Padahal, beberapa negara sudah lebih dulu mengadopsi produk rekayasa genetika. Adopsi bioteknologi menjadi solusi ditengah peningkatan konsumsi. Karena lahan pertanian terbatas dan cenderung menyusut. Selain mengurangi biaya produksi juga kandungan nutrisinya lebih tinggi," pungkas Maria.
© Copyright 2024, All Rights Reserved