Rasio tabungan di Indonesia masih rendah, bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara Asean. Dibandingkan dengan produk domestik bruto, baru 34,8 persen penduduk Indonesia yang sudah menyimpan uangnya di bank. Ratio ini jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara yang angkanya sudah mendekati 50 persen. Singapura 49 persen dan Filipina 46 persen.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan, bukan hanya Savings to GDP Ratio Indonesia yang masih rendah. Perkembangan rata-rata rasio tabungan rumah tangga terhadap total pendapatan di Indonesia juga masih rendah, yakni 8,5 persen.
Rasio tabungan rumah tangga penghasilan paling rendah hanya 5,2 persen dan rumah tangga penghasilan tertinggi mendacai 12,6 persen," katanya kepada politikindonesia.com pada Peringatan Hari Menabung Sedunia, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Senin (31/10).
Muliaman menambahkan, rendahnya budaya menabung pada masyarakat juga ditunjukkan dengan menurunnya rasio keinginan untuk menabung atau Marginal Propensity to Save, meskipun PDB per kapita meningkat.
Hal ini dipengaruhi tingkat akses ke lembaga keuangan formal. Bahkan menurut data Bank Dunia tahun 2014, angkanya hanya 36,1 persen.
"Angka itu, lagi-lagi lebih rendah dibandingkan Thailand, Malaysia dan Singapura. Hal itu terjadi karena akses keuangan menjadi kendala utama sehingga masih banyak masyarakat Indonesia yang menyimpan uangnya di rumah bahkan di bawah bantal."
Ia menambahkan, rendahnya rasio tabungan Indonesia membuat kebutuhan pembiayaan di Indonesia masih bergantung dengan bantuan utang luar negeri (ULN). Saat ini rasio tabungan nasional tidak cukup untuk dana pembangunan.
Berbeda dengan Jepang dimana rasio tabungan terhadap GDP-nya sudah mencapai 70 persen, sehingga perekonomian di negeri tersebut bisa tumbuh pesat.
"Dengan tingginya rasio tabungan terhadap GDP, maka pertumbuhan kredit di Indonesia bisa ikut naik. Dengan demikian kemudahan akses keuangan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau tabungan naik, maka memperoleh kredit untuk berusaha semakin mudah. Ini juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan inklusi keuangan," tuturnya.
Muliaman menambahkan, agar perekonomian masyarakat Indonesia tidak terus bergantung pada ULN, budaya menabung harus mulai ditanamkan kepada anak-anak sejak dini guna meningkatkan kesejahteraaan pada masa mendatang. Kesejahteraan masyarakat itu akan tercipta apabila mempunyai akses keuangan, kalau dari kecil sudah diajakan menabung, ke depan di hari tuanya akan lebih baik.
Ia menuturkan, untuk menggerakkan budaya menabung sejak dini itu, OJK telah menginisiasi program tabungan khusus simpanan pelajar (SimPel) yang harus diterapkan oleh perbankan, baik umum ataupun syariah. "Untuk persyaratan tabungan SimPel tersebut, pelajar hanya mengisi sedikit persyaratan dengan memanfaatkan kartu pelajar," ucapnya.
Dia menambahkan, rekening SimPel akan menguntungkan pelajar karena bisa menabung minimal Rp5.000 dan mendapatkan buku tabungan dan kartu ATM yang bebas biaya administrasi setiap bulan. Sementara dalam memonitor pengelolaan tabungan tersebut, pelajar hanya diperbolehkan menarik maksimal 4 kali dalam sebulan.
"Dengan setoran awal Rp5.000 membuat pelajar terbiasa menabung dan membiasakan diri untuk hidup hemat. Sehingga pelajar mau menyimpan uangnya di bank. Karena pelajar memiliki potensi yang besar untuk menyimpan uangnya di bank, selain penduduk dewasa. Dengan demikian, rasio tabungan terhadap GDP bisa meningkat," tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved