Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui program hilirisasi mineral khususnya batu bara mengalami hambatan.
Penyebabnya adalah karena keterbatasan teknologi yang digunakan untuk mengeksekusi program hilirisasi tersebut.
"Peningkatan nilai tambah ini masih berat. Begitu bicara ke nilai tambah, maka seluruh proses nilai tambah yang ada di Indonesia, ada kelemahan besar, kita tidak punya teknologi, kita membayar terlalu mahal," kata Staf Khusus Kementerian ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif, dalam keterangan resminya dikutip, Minggu (17/3/2024).
Menurut Irwandy, perusahaan batu bara dalam negeri seperti PT Kaltim Prima Coal dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang ingin melakukan hilirisasi untuk menambah nilai tambah batu bara dalam negeri terhambat akibat teknologi.
Irwandy menjelaskan, teknologi yang digunakan untuk hilirisasi itu dimiliki oleh sebuah perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Air Products.
Namun, belakangan, perusahaan tersebut mundur dari proyek hilirisasi dengan PT Kaltim Prima Coal dan PTBA.
"Air Products mundur kerja sama PTBA dengan KPC produksi metanol juga mundur. KPC switch jadi ammonia, PTBA cari mitra baru," jelas dia.
Irwandy mengatakan, hal itu menjadi bukti bahwa salah satu sebab utama sulitnya program hilirisasi batu bara karena adanya keterbatasan teknologi.
Dia juga menyoroti komoditas tambang lainnya yang juga menghadapi tantangan yang sama karena sulitnya teknologi untuk melakukan investasi.
"Untuk merealisasikan program hilirisasi kebanggan Presiden Joko Widodo itu diperlukan adanya investasi yang besar untuk memiliki teknologi yang tersedia dari perusahaan luar negeri," pungkas Irwandy. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved