Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjawab para lawan politiknya yang selama ini selalu menjelekan kinerja pemerintahannya. Lawan politiknya tersebut diistilahkan SBY sebagai the invisible hand yang ingin mengatur pemerintahan.
Namun harus diakuinya juga, bahwa ada juga the invisible hand menghasilkan sesuatu yang positif. Hal itu seperti perang melawan korupsi, demokratisasi, dan membangun good corporate governance.
"The invisible hand ini muncul sebagai bagian dari proses perubahan zaman, baik secara nasional maupun global," ungkap SBY dalam pidato politik saat memperingati Hari Kelahiran ke-61 Pancasila di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (1/6).
Sedangkan usaha keras yang dilakukan pemerintah untuk menegakkan aturan main selalu dianggap salah. SBY mengambil contoh ketika pihak kepolisian menegakkan aturan hukum dianggap melanggar HAM. Bahkan saat pemerintahannya menata dan memantapkan otonomi daerah, dianggap oleh the invisible hand ini sebagai bentuk kembali ke pemerintahan sentralistik.
"Menegakkan aturan main, dianggap kembali ke rezim otoritarian. Kepolisian menegakkan aturan hukum agar masyarakat tidak main hakim sendiri termasuk unjuk rasa anarkis, dianggap represif dan melanggar HAM. Menata kembali desentralisasi untuk memantapkan otonomi daerah, dianggap kembali ke pemerintahan sentralistik," jelas Presiden dengan nada tegas.
Lebih lanjut dalam orasi politik tersebut, SBY menekankan bahwa tidak semua kebijakan orde baru jelek. Karena itu bila ada hal-hal yang baik maka harus terus dipertahankan. Pada masa awal reformasi, dengan semangat apatisme, disorientasi, konflik dan kebencian ditengah masyarakat Indonesia timbul fenomena ”de-ordebaru-isasi” atas nama reformasi dan semangat demokrasi.
"Padahal tidak semua nilai-nilai yang ada di masa lalu harus dibongkar. Banyak nilai-nilai yang baik dan seharusnya harus dilaksanakan," ungkap Presiden Yudhoyono.
Fenomena lainnya adalah pembongkaran sistem pemerintahan dan politik yang sentralistik dan otoritarian menjadi desentralisasi dan egalitarian. "Begitu besar gerak perubahan itu tidak disadari baik atau tidak, langsung atau tidak, kekuasaan pusat melemah, kekuasaan negara ikut melemah," tegas SBY.
Akibatnya, jelas SBY, adalah munculnya ketidakstabilan kondisi sosial politik. Padahal secara sosiologis di masa transisi yang sedang dijalani, ada kerawanan yang perlu diwaspadai seluruh bangsa Indonesia.
"Nilai dan tatanan lama ditinggalkan, tapi nilai dan tatanan baru belum diwujudkan. Kita bahkan belum membangun konsensus baru dalam reformasi tanpa meninggalkan konsensus dasar bangsa yang sudah ada," lanjut Presiden dengan.
Tokoh Politik Berkumpul Lagi
Ditempat yang berbeda, tepatnya di rumah Try Sutrisno, Jalan Purwakarta No. 6, Jakarta, berkumpul beberapa tokoh politik untuk memperingati Hari Lahir Pancasila. Mereka adalah Try Sutrisno selaku tuan rumah, Akbar Tandjung, Wiranto, Gus Dur, dan Megawati Soekarnoputri.
Akbar Tandjung kepada wartawan di sela-sela acara mengatakan mereka prihatin bahwa nilai-nilai Pancasila yang menyatukan aneka perbedaan dalam bangsa Indonesia mulai menipis. Ada kecenderungan menonjolnya primordialisme, suku, agama, dan golongan.
"Bangsa Indonesia ini bangsa yang religius dan berketuhanan. Dalam semangat berketuhanan itu kita memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing dan kita harus menghormati perbedaan-perbedaan kita dalam beragama dan bagaimana supaya kita bisa melaksanakan peribadatan agama kita itu tanpa hambatan," jelas Akbar kalem.
Dalam pertemuan ini juga akan dibahas soal kondisi pemerintahan saat ini yang dinilai belum banyak menghasilkan kemajuan yang berarti. Tokoh politik ini minus Amien Rais mulai sering berkumpul bersama dan mendiskusikan masalah-masalah aktual sejak 1 Juni tahun lalu. Pertemuan pertama digelar di kediaman Try Sutrisno, kemudian secara berkala pertemuan digelar secara bergilir.
© Copyright 2024, All Rights Reserved