Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Aturan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. PP ini mengatur, setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ibu.
Seperti dikutip dari laman Sekterataiat Kabinet, Kamis (07/08), PP tersebut telah ditanda tangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 Juli 2014 lalu.
Dalam PP tersebut, kesehatan reproduksi yang dimaksud adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.
Menurut PP ini, setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ibu untuk mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas, serta mengurangi angka kematian ibu.
“Pelayanan kesehatan ibu dilakukan sedini mungkin dimulai dari masa remaja sesuai dengan perkembangan mental dan fisik,” bunyi Pasal 8 Ayat (2) PP tersebut.
Pelayanan kesehatan ibu tersebut mencakup; a Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja; b. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Hamil, Persalinan, dan Sesudah Melahirkan; c. Pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan d. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi.
PP ini juga menegaskan, dalam rangka menjamin kesehatan ibu, pasangan yang sah mempunyai peran untuk meningkatkan kesehatan ibu secara optimal.
Peran pasangan itu meliputi: a. Mendukung ibu dalam merencanakan keluarga; b. Aktif dalam penggunaan kontrasepsi; c. Memperhatikan kesehatan ibu hamil; d. Memastikan persalinan yang aman oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan; e. Membantu setelah bayi lahir; f. Mengasuh dan mendidikn anak secara aktif; g. Tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga; dan h. Mencegah inveksi menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Aqquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
Menurut PP ini, setiap orang berhak memilih kontrasepsi untuk dirinya tanpa paksaan, dengan mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan, dan norma agama.
“Setiap pasangan yang sah harus mendukung pilihan kontrasepsi sebagaimana dimaksud, dan berpartisipasi dalam penggunaan metode kontrasepsi,” bunyi Pasal 23 Ayat (1,2) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 ini.
PP ini juga menegaskan, bahwa setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.
PP ini juga mengatur mengenai penanganan terhadap korban kekerasan seksual. Menurut PP ini, korban kekerasan seksual harus ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum, keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual.
PP ini juga mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, khususnya Pasal 75 Ayat (1) yang ditegaskan, bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis, dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
“Tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir,” bunyi Pasal 31 Ayat (2) PP No. 61/2014 ini.
Adapun kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab,” bunyi Pasal 35 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 itu.
Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi, menurut PP ini, korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan.
Adapun anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan dapat diasuh oleh keluarga. “Apabila keluarga menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 38 PP tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved