Harga beras melambung tinggi dalam beberapa pekan terakhir hingga 20 sampai 25 persen. Bahkan di beberapa daerah kenaikan mencapai 30 persen. Diperkirakan, soal ini tidak saja memicu keresahan sosial tetapi juga secara perlahan mengakibatkan ketidakpercayaan publik pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Kalau demikian, siapa dalangnya?
Menghadapi hal ini, pemerintah memang segera berkoordinasi dan melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga beras. Beras Operasi Pasar Murni OPM) dari Badan Urusan Logistik (Bulog) dijual dengan Rp 2.900 per kilogram ternyata tidak mampu menahan harga pasar. Dua hari kemudian diturunkan menjadi menjadi Rp 2.500 per kilogram.
Soal kenaikan harga beras, sebagian kalangan melihatnya sebagai pengaruh psikologis atas rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL).
Di sisi lain, karena jalur distribusi yang terhambat akibat permainan spekulan beras. Tentu para spekulan tersebut adalah pedagang/penampung, importir beras dan oknum Bulog sendiri yang memegang peranan penting dalam jalur distribusi tersebut.
Pandangan kedua itu sebenarnya sudah menjadi opini umum di berbagai berbagai kalangan. Hal ini bisa dimaklumi karena Bulog tidak lagi memonopoli impor dan penyaluran beras sejak Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dan IMF. Bulog hanya mengantisipasi dan turun tangan agar harga beras mencapai titik yang stabil. Sebuah posisi yang dilematis bagi Bulog, tidak memonopoli dalam penyaluran sekaligus bukan satu-satunya pengimpor beras.
Rapuhnya distribusi beras bisa diandaikan demikian kalau kebutuhan perdagangan beras di Jakarta dalam sehari berkisar 5.000 ton dengan harga beras sekitar Rp 3.000 per kg, maka dengan uang sekitar Rp 15 milyar, spekulan bisa mengganggu pasokan. Pertanyaannya, dimana ditampung dan siapa yang melakukannya. Sebenarnya para pemain tersebut masih bermitra dengan Bulog.
"Yang punya gudang luas, legal dan menampung sebanyak itu khan hanya Bulog. Kalaupun pengusaha tentu berkolusi dengan aparat," ujar Andri Nawi, pedagang beras di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Namun hal ini dibantah Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo, karena saat ini Bulog sudah tidak lagi memonopoli lagi impor beras. Setiap pedagang bebas mengimpor dan dalam jumlah yang tidak terbatas. Bulog hanya mengontrol
sekaligus akan beroperasi jika harga tidak terkendali.
"Permainan" di tingkat distribusi melalui penimbunan tersebut bisa dijelaskan karena stok yang ada di Bulog sendiri sebenarnya masih mencukupi untuk 3 bulan ke depan. Hingga pekan pertama Januari 2002 stok beras yang di Bulog mencapai 1,122 juta ton.
Lalu apa yang bisa disimak lebih jauh dari kenaikan harga beras saat ini. Secara ekonomis akan menguntungkan importir karena harga beras impor lebih murah dibandingkan di dalam negeri.
Kenaikan harga hingga rata-rata diatas Rp 1.000 per kilogram untuk beras kelas menengah tentu sangat menguntungkan pedagang maupun importir. Apalagi harga beras impor berkisar sekitar US$ 170 per ton atau sekitar sekitar 1.700 per kilogram. Bayangkan saja, jika benar perkiraan HKTI bahwa pada tahun 2001 Indonesia mengimpor sekitar 2 juta ton beras.
Seorang importir beras, bahkan memprediksikan harga beras dalam negeri sulit untuk turun. Hal itu merupakan peluang bagi para importir untuk meraup keuntungan ketika terjadi paceklik beras. Kondisi ini diperparah lagi oleh ketidaksiapan pemerintah dalam memberikan data yang akurat tentang ketersediaan dan potensi beras di dalam negeri.
Beras merupakan komoditas strategis sekaligus menjadialat politik bagi pihak yang mempunyai kepentingan tertentu. Lihat saja, krisis sepekan lalu hanya menjadi alat untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan impor beras. Impor beras semakin sulit dikendalikan menyusul dipindahkannya jalur merah (pemeriksaan yang ketat dalam kuantitas dan kualitas) ke jalur hijau (pemeriksaan tidak ketat dan mudah keluar pelabuhan). Selain beras, gula dan terigu pun demikian. Toh, pada dasarnya stok beras dalam negeri masih sangat mencukupi.
Itu berarti, dengan kemudahan di jalur hijau Indonesia akan banjir beras impor, akibatnya, harga beras anjlok, dampaknya, harga GKG makin turun dan hal ini merugikan petani. Sebelum Oktober 2001, harga dasar gabah kering panen tidak bergerak diatas Rp 900 per kilogram.
Belum lagi, keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono untuk tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap impor atau penyerahan barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, garam, jagung, sagu, dan kedelai. Pembebasan PPN itu sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meredam kenaikan harga yang berakibat tingginya inflasi.
Lalu efektifkah OPM yang dilakukan Bulog? Fakta di lapangan membuktikan bahwa harga beras sulit digiring ke titik stabil. Baru sepekan berlalu harga mulai bergerak turun. Hal ini bisa terjadi karena, Bulog belum mampu mengontrol jalur distribusi hingga ke tingkat konsumen serta tidak seimbangnya beras OPM yang beredar. Bisa saja beras OPM tersebut ditahan lagi oleh pedagang besar. Kesulitan mengontrol impor komoditas pangan seperti beras ini diakui oleh Kabulog Widjanarko Puspoyo ketika menyampaikan evaluasi operasional Bulog 2001.
Ketidakseimbangan itu terjadi karena beras impor tidak terkendali sehingga sulit melacak jumlah beras yang beredar di pasaran. Tetapi muncul pertanyaan lebih lanjut, ketika beras impor dengan harga yang lebih murah membanjir seharusnya harga di pasaran juga turun. Tetapi ini tidak terjadi. Logika sederhana menjelaskan bahwa telah berton-ton beras ditimbun.
Dari sisi ekonomi ternyata spekulasi beras cukup menggiurkan keuntungan. Begitu pula dari sisi politisnya, beras atau pangan pada umumnya, sangat mudah untuk memancing kemarahan atau keresahan sosial.
Boleh jadi, lawan-lawan politik Megawati memang berada dibalik bergolaknya harga beras ini. Sebuah sumber menyebutkan, pengusaha-pengusaha yang berafiliasi ke Golkar menjadi aktornya,setelah Akbar Tanjung jadi tersangka.
Langkah antisipasi tidak saja dilakukan melalui OPM Bulog. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2001 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan pun sudah dikeluarkan. Kita tunggu saja.
© Copyright 2024, All Rights Reserved