Indonesia menangis? Tidak. Indonesia tidak pernah menangis. Indonesia cukup makmur guna menghidupi warganya. Tapi kenapa kini warga negara yang memiliki Indonesia itu tak bisa disejahterakan oleh para pemegang mandat rakyat? Inilah sebuah pertanyaan yang hingga kini belum bisa dijawab oleh para pemegang mandat itu.
Kenapa pemerintah(pemegang mandat rakyat)tak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan yang menggelayuti benak sebagian besar warga negara? Nah, ini sangat terkait dengan struktur kekuasaan yang dikomandoi oleh Megawati. Hingga saat ini, struktur kekuasaan yang ada belum banyak berubah, bila tak ingin kita sebut sama saja dengan pemerintahan sebelumnya.
Simak saja lembaga legislatif yang hampir tak ada bedanya dengan ketika bangsa ini masih dijajah oleh Belanda. Wakil rakyat hanya disibukkan oleh konflik-konflik kepentingan partai dan golongan. Hampir tidak ada waktu untuk memikirkan nasib warga negara yang memberikan kursi buat mereka.
Yang paling menyakitkan bagi rakyat, dalam konteks situasi terkini, ketika APBN mengalami defisit, wakil rakyat tak ambil peduli dengan langkah yang ditempuh eksekutif untuk menambalnya dengan cara menaikkan harga BBM, menaikkan tarif listrik, menaikkan tarif telpon. Dan yang lebih parah lagi adalah membiarkan aset-aset negara (rakyat) dilelang oleh BPPN seenaknya saja. Padahal rakyat harus menambal sebanyak Rp 6 triliun pada setiap tahun anggaran. Diletakkan dimana hati nurani para wakil rakyat ini?
Sementara kinerja lembaga eksekutif masih melanjutkan watak yang bersifat represif dan korup, tanpa memperhatikan rasa keadilan bagi rakyatnya. Begitu juga lembaga yudikatif yang tetap saja pada format penekanan dan pengendalian terhadap persoalan hukum tertentu saja. Mereka tampaknya tak memiliki keinginan untuk menegakkan tradisi the rule of law. Hukum bisa “diperjualbelikan”.
Nah, dengan struktur kekuasaan yang demikian, para pemegang mandat rakyat ini telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung warga negara. Dampak dari semua itu, dengan manajemen negara yang korup tentu yang tersisa bagi rakyat adalah sebuah kenistaan. Aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan partainya. Akibatnya terjadi benturan identitas yang sangat subjektif.
Buntutnya, rakyat merasa secara kontinyu dicekoki dengan teriakan-teriakan manipulatif. Tindakan anarkisme yang berkembang belakangan ini, seakan membuktikan rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah yang ada karena tidak mampu menjamin rasa aman dan rasa damai dihati sesama warga.
Pemerintahan saat ini tampaknya tidak memiliki keberanian untuk bersikap tegas membela rakyat. Keberanian kepemimpinan yang ada untuk membrangus penyebab krisis sosial, ekonomi, hukum, dan moral tampaknya tidak ada. Sehingga krisis demi krisis menjadi menjadi langgeng. Sebab praktik kekuasaan lebih mengedepankan konsep mengamankan kepentingan ekonomi dan politik kelompok dan pribadi secara sendiri-sendiri.
Akhirnya, jargon reformasi yang coba dilekatkan pada era saat ini, lebih merupakan hiasan-hiasan di dalam wacana saja, jika kita ingin mengatakannya sebagai sebuah upaya melindungi tindakan yang serupa pada era sebelumnya. Secara sembunyi-sembunyi. Partai-partai yang berkuasa kerap terlibat dalam mediasi tawar-menawar di belakang layar, guna menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran hukum.
Tetapi, tentu sebagai warga negara kita tidak ingin kehilangan hal yang paling mahal harganya: Harga Diri Warga (Bangsa). Untuk itu perlu diupayakan sekuat tenaga guna merombak pranata kekuasaan yang jauh menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan masyarakat. Bila tidak, saatnya rakyat mencabut mandat yang sudah diberikan untuk para mengelola negara. Sehingga kata reformasi tidak menjadi sebuah kata untuk membenarkan sebuah tindakan yang keliru.
© Copyright 2024, All Rights Reserved