LOBSTER merupakan salah satu komoditas unggulan, baik untuk pasar domestik maupun internasional. Pemerintah saat ini membuka kembali keran ekspor benih bening lobster yang sebelumnya ditutup sejak tahun 2021.
Tulisan ini mengkaji polemik yang terjadi dalam penerapan kebijakan tersebut dan upaya untuk menghadapinya agar kelestarian lobster terus terjaga.
Hasil kajian menunjukkan bahwa penyelundupan dan perdagangan ilegal benih lobster tetap terjadi di tengah penerapan kebijakan pembukaan keran ekspor, sehingga mengancam kelestarian lobster di alam.
Upaya mengatasinya yaitu peningkatan akurasi pencatatan neraca benih lobster, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terkait penyelundupan lobster ke luar negeri, pelibatan dan penguatan kapasitas nelayan, serta turut memperhitungkan dampak perubahan iklim dalam peta jalan budidaya lobster di Indonesia.
Komisi IV DPR RI perlu memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pembukaan ekspor benih lobster agar tidak mengancam keberlanjutan lobster di alam dan tetap melindungi kesejahteraan nelayan. Selain itu juga diperlukan evaluasi berkala atas penerapan kebijakan ini.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kementerian KP) kembali memberlakukan ekspor benih bening lobster (BBL) pada Maret 2024. Ini adalah kebijakan pembukaan peluang ekspor BBL untuk sekian kalinya.
Kebijakan ini sejatinya diharapkan membantu peningkatan kesejahteraan nelayan melalui penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang tepat dan mampu mendatangkan peluang penerimaan negara hingga Rp900 miliar (Grahadyarini, 2024).
Ironi yang terjadi adalah, belum lama pascapembukaan keran ekspor BBL justru terjadi penangkapan atas penyelundupan BBL. Tim gabungan TNI AL, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan satuan Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berhasil menggagalkan upaya penyelundupan BBL di berbagai titik perairan Indonesia (Sukma, 2024). Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, meyakini bahwa pembukaan keran ekspor tidak lantas dapat membendung penyelundupan dan perdagangan ilegal benih lobster ke luar negeri (“Penyelundupan Benih Lobster Berulang”, 2024, hlm.10).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susi Herawati, bahwa kebijakan tersebut tidak akan mudah memberantas penyelundupan (Florentin, 2024).
Harganya yang tinggi di pasar internasional menjadikan lobster komoditas ekspor unggulan dengan berbagai negara tujuan, seperti negara-negara Asia, utamanya adalah Vietnam (Florentin, 2024). Tingginya minat para nelayan untuk menjual BBL ke pasar internasional secara masif mengancam keberlanjutan lobster di perairan Indonesia yang diakibatkan oleh over fishing yaitu penangkapan lobster yang berlebihan tanpa mempertimbangkan musim dan ukuran tangkapan, telah mengancam populasi lobster.
Pemerintah telah beberapa kali menerapkan pelarangan ekspor BBL untuk menjaga kelestarian lobster yang dimulai pada tahun 2016. Namun izin ekspor BBL tersebut dibuka pada tahun 2020. Ekspor BBL tersebut kembali dilarang pada tahun 2021-2023, namun kemudian dibuka lagi pada tahun 2024.
Polemik Ekspor BBL
Pembukaan ekspor kali ini dilaksanakan melalui melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Syclla, spp.), dan Rajungan (Portunus, spp.).
Dalam Permen KP No.7 Tahun 2024 dijelaskan bahwa budidaya lobster di mungkinkan dilaksanakan di luar negeri dengan berbagai mekanisme, di antaranya adalah pengajuan izin pengeluaran benih sesuai kuota kepada mitra luar negeri. Menteri Kelautan dan Perikanan memberikan alasan pembukaan keran ekspor BBL kali ini dikarenakan sulitnya menahan laju perdagangan ilegal dan penyelundupan benih lobster, utamanya ke Vietnam.
Selain itu, melalui Permen KP No.7 Tahun 2024 maka Indonesia membuka peluang investasi budidaya lobster, peningkatan penerimaan pendapatan negara, keuntungan alih teknologi, dan peningkatan kesejahteraan nelayan (Florentin, 2024).
Ironisnya, belum lama sejak pemberlakuan pembukaan ekspor diterapkan justru terjadi kasus penyelundupan benih lobster di beberapa titik perairan Indonesia. Tercatat sudah enam kali upaya penyelundupan BBL yang berhasil digagalkan oleh aparat (Grahadyarini, 2024a hlm.9).
Pada salah satu penangkapan bahkan benih yang berhasil diamankan mencapai lebih dari 490.000 BBL dengan nilai jual ditaksir lebih dari Rp74 miliar. Pola penyelundupan yang kerap terjadi di Indonesia umumnya dikarenakan perusahaan yang melakukan tindak penyelundupan tidak terdaftar, tidak memiliki izin ekspor, dan tidak patuh terhadap aturan perpajakan terkait (Grahadyarini & Theodora, 2024).
Kebijakan pembukaan keran ekspor juga telah menetapkan kuota ekspor senilai 90 persen dari total stok benih (Grahadyarini, 2024b). Hal ini patut menjadi perhatian karena tentu akan memengaruhi kelestarian lobster Indonesia. Melalui kebijakan tersebut akan timbul persaingan antara nelayan tradisional dengan nelayan skala besar dalam upaya memperoleh BBL.
Terlebih dengan diperbolehkannya pembudidaya asing juga menjadi tantangan tersendiri bagi pembudidaya dalam negeri, salah satunya karena technology gap. Kondisi tersebut akan semakin menyulitkan nelayan, khususnya nelayan dan pembudidaya tradisional, dalam membudidayakan lobster dan menangkap benih lobster untuk dijual kembali, baik untuk pasar domestik maupun internasional.
Faktor lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah perihal harga benih lobster. Diketahui bahwa pemerintah telah menetapkan HET sebesar Rp8.500 per ekor untuk ekspor. Namun pada kenyataannya banyak pedagang dari negara lain yang menawarkan harga lebih tinggi sehingga mendorong para nelayan untuk menjual secara ilegal benih lobster kepada pedagang-pedagang yang tidak memiliki izin ketimbang melalui skema alur ekspor yang resmi (Florentin, 2024).
Sebenarnya ekspor lobster lebih potensial dibandingkan ekspor benih lobster. Data Kementerian KP mengemukakan nilai ekspor lobster tahun 2018 sebesar USD29,9 juta; tahun 2019 USD33,1 juta; tahun 2020 USD76,1 juta; tahun 2021 USD28,6 juta; tahun 2022 USD25,7 juta; dan tahun 2023 USD23,3 juta (Kementerian KP, 2024).
Oleh karena itu penulis menyarankan agar pemerintah perlu hati-hati dalam memberlakukan kembali ekspor benih lobster hanya karena untuk menambah devisa bagi negara.
*Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Muda Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pembangunan di Pusat Analisis Keparlemenan, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI
© Copyright 2024, All Rights Reserved