Rasanya, BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional)sudah layak untuk ditutup saja. Sudah cukup banyak alasan untuk segera saja mengakhiri BPPN dan menggantinya dengan badan lain yang lebih transparan. Atau, merumahkan saja orang-orang yang selama ini ikut menikmati hasil jarahan konglomerat hitam.
Setelah cerita soal proses tender BCA yang mengundang banyak pertanyaan publik, karena memang banyak yang janggal. Cerita aneh lainnya dari BPPN adalah proses
penjualan Indomobil. Aset kebanggaan kelompok Salim yang kini sebagian sahamnya telah dikuasai pemerintah itu, begitu saja akan dijual BPPN.
Bahkan, untuk menjual perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia itu, BPPN merasa tidak perlu harus meminta persetujuan kreditur dan principal. Kreditur Indomobil saat ini adalah Marubeni dengan jumlah utang US$ 100 juta dan principalnya antara lain Suzuki, Mazda, Nissan, Volvo dan VW. Alasannya, demi keuntungan komersial. Begitu Ketua AMI (Assets Management Investment) BPPN Dasa Sutantio mengungkapkan alasannya.
Padahal, Penasehat Hukum dan Penasehat Keuangan tender penjualan saham Indomobil Yoshua Makes berpendapat, bahwa penjualan Indomobil oleh BPPN tanpa sepengetahuan principal dan kreditur akan ada konsekuensi hukum yang timbul. Karena akibat perubahan kepemilikan tersebut akan menjadi tanggung jawab Trimegah sebagai pemenang tender.
Memang, diharapkan BPPN bisa berperan besar dalam meraih keuntungan komersial. Tapi pertanyaannya adalah, keuntungan komersial buat siapa? Karena jika menjual aset sebesar itu yang merupakan aset rakyat negeri ini dengan cara seperti itu, lalu jika ada sebagian keuntungan komersial yang nyasar, bagaimana?
Apalagi, bos BPPN Putu Ary Suta, saat ini sudah semakin akrab dengan Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Laksamana Sukardi. Karena itu mungkin, keberanian Putu Ary Suta semakin tampak.Bahkan, bos BPPN itu sudah berani menawarkan konsep yang akan menjerumuskan Presiden Megawati dengan
mengusulkan perpanjangan masa Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) hingga sepuluh tahun. Ini menjerumuskan pemerintah Mega ke dalam pilihan yang
tidak pro rakyat. Selain akan melanggar TAP MPR tentunya.
Padahal, saat ini ada 10 konglomerat hitam yang sejak tahun 1998 yang tidak mau menandatangani penyelesaian kewajibannya. Kesepuluh konglomerat tersebut, 4 sudah dibawa ke Pengadilan, 2 masih di Pengadilan Tingkat I, dan 2 dalam tingkat banding, yang mana BPPN sebenarnya sudah memenangkan proses Pengadilan dan konglomerat tersebut diharuskan membayar Rp100 miliar tapi lalu mereka banding. Sementara itu, masih ada 33 yang menandatangani tapi belum bayar. Sementara 10 konglomerat yang dianggap tidak kooperatif itu diantaranya, Bank Deka, Bank Centris, Bank Pelita dan Bank Istimarat.
Memang ironis, bila membandingkan antara rakyat dan oknum pemerintah. Raaaakyat kini menikmati dampak kebijakan naiknya harga bahan bakar minyak,sebaliknya, konglomerat hitam yang telah menjarah duit rakyat malah dimanja dengan memberi mereka perpanjangan waktu hingga sepuluh tahun. Setelah itu, mereka bisa kabur atau menanamkan uang mereka ke seluruh penjuru dunia.
Sekarang malah muncul wacana baru, bahwa untuk menyelesaikan utang atau kewajiban para konglomerat di BPPN, pemerintah diusulkan untuk mengeluarkan Keppres (Keputusan Presiden) atau PP pengganti UU. Pasalnya, jalur hukum yang digunakan selama ini menghambat penyelesaian masalah tersebut.
Nah, setelah aset para konglomerat hitam itu diserahkan ke pemerintah sebagai ganti dari utang, eh BPPN justru mengobralnya dengan harga murah. Nggak jelas, apakah memang benar-benar murah atau ada sebagian dari hasil transaksi penjualan yang nyasar. Inilah yang harus dibuktikan. BPPN itu adalah milik pemerintah, itu artinya rakyat berhak mengetahui isi perut BPPN. Sebab jika tidak, bisa-bisa makin banyak orang yang ikut-ikutan menjarah di BPPN.
© Copyright 2024, All Rights Reserved