Ketiadaan peraturan yang berkait dengan pemerintahan daerah, semestinya menjadi salah satu pertimbangan pokok dalam penyusunan peraturan Presiden (Perpres) moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut. Rancangan Perpres yang disiapkan itu harus lebih rinci agar tidak muncul penafsiran yang membingungkan serta mengabaikan otonomi daerah.
Pendapat itu dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, Senin (05/07). “Perpres tersebut tidak menghargai otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Moratorium pembukaan lahan gambut jelas-jelas bersinggungan dengan kewenangan daerah sehingga perpres harus memerhatikan dan mengakomodasi kedua hal tersebut,” ujar Elfian yang memimpin organisasi nonpemerintah yang aktif membuat kajian ekonomi lingkungan berbasis kehutanan.
Elfian menilai draf perpres tersebut masih ada kekurangan, seperti tidak dimasukkannya beberapa peraturan pemerintah (PP) yang berkait langsung dengan kebijakan moratorium pembukaan lahan gambut. Dicontohkannya, PP Nomor 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, PP Nomor 15/2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang, dan PP Nomor 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, PP Nomor 6/2007 junto PP Nomor 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, PP Nomor 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan PP Nomor 45/2004 junto PP 60/2009 tentang Perlindungan Hutan.
Draf perpres tersebut, lanjut Elfian, juga harus memasukkan PP Nomor 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar serta PP Nomor 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman.
“Draf perpres tersebut masih sebatas penuangan ide. Dasar-dasar hukum yang seharusnya diacu malah tidak dimasukkan sebagai pijakan hukum. Perpres tersebut berpotensi memicu konflik antara pusat dan daerah serta antarkementerian berkait.”
Norwegia menjanjikan bantuan USD1 miliar untuk membantu upaya Indonesia menurunkan emisi gas karbon akibat penggundulan hutan dan degradasi lahan. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran kalangan pelaku usaha, terutama yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan meminta pemerintah merinci regulasi yang mengatur moratorium. Hal ini untuk menjaga agar kebijakan itu tak bertentangan dengan peraturan lama yang dapat memicu persoalan baru.
Gapki, menurut Fadhil, akan memberikan masukan dalam penyusunan peraturan pemerintah dan regulasi pendukung pelaksanaan moratorium. (HAM)
Tahapan pelaksanaan perjanjian penurunan penggundulan dan degradasi hutan Indonesia-Norwegia itu terbagi atas tiga tahap. Tahap I berlangsung Juni hingga Desember 2010. Dalam tahap ini, Indonesia harus membentuk badan khusus, seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam. Badan tersebut akan menjalankan program penurunan penggundulan hutan sekaligus menyeleksi lokasi proyek percontohan.
Pada Tahap II yang berlangsung Januari 2011-Desember 2013 difokuskan pada penguatan kapasitas, penyusunan, dan implementasi kebijakan sekaligus membangun sistem pengawasan, pelaporan, dan verifikasi tier 2. Pada tahap ini, pemerintah menghentikan konversi hutan alam dan gambut di lokasi proyek.
Sedangkan Tahap III di 2013, Norwegia akan membayar tunai penurunan emisi pada tahun 2013. Jika program ini berhasil Indonesia akan seperti Brasil, yang telah bekerja sama dengan Norwegia sejak tahun 2007 dan baru menerima USD200 juta.
© Copyright 2024, All Rights Reserved