Ambisi pemerintah menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia pada tahun 2045, walaupun tidak mudah, namun sangat masuk akal. Indonesia punya modal yang dibutuhkan sebagai negara agraris. Namun, butuh banyak terobosan dan kerja keras untuk mencapai target itu.
Pakar pertanian yang juga mantan Menteri Pertanian era Presiden Megawati Soekarnoputri, Bungaran Saragih mengatakan, targt tersebut perlu disosialisasikan kepada publik secara masif dan luas agar mendapatkan dukungan dan kerjasama serta sinergi dari seluruh pemangku kepentingan.
Menjadi lumbung pangan merupakan kelanjutan dan pengembangan dari konsep swasembada pangan yang selama ini dipahami para praktisi dan birokrat sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.
“Dalam hal ini, negara mampu mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri tanpa pasokan dari luar, dikembangkan dan dilanjutkan dengan target kemampuan menghasilkan surplus pangan dan lalu mengelolanya, termasuk mengekspor pangan secara global. Sehingga pemerintah harus bijak memanfaatkan sumber daya keuangan, sumber daya manusia, organisasi, dalam negeri untuk mencapai konsep pangan yang berdaulat menjadi lumbung pangan dunia,” katanya kepada politikindonesia.com disela seminar nasional kedaulatan pangan “Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045” di Jakarta, Rabu (28/03).
Seharusnya, lanjut Bungaran, semua itu jangan dimonopoli oleh pemerintah. Masyarakat juga harus mampu melihat Indonesia dalam pergaulan internasional. Sebab, pemerintah saat ini sudah sangat bagus, tidak berfikir dari musim ke musim tapi sudah dekade yaitu jangka panjang dan menengah. Makanya agar berhasil, konsep kemitraan harus lebih ditingkatkan. Untuk mencapai kedaulatan, jangan hanya pangan beras yang menjadi pengembangannya, masih banyak pangan lain seperti sawit, coklat, ternak dan ikan yang juga merupakan pangan.
“Apalagi, kita punya laut sangat luas, jadi kalau mau mencapai lumbung pangan, dari ikan harus juga ada. Sehingga obsesi untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045 bukan hanya sekadar angan-angan. Sebab jika tidak hati-hati dalam penerapan dan kebijakannya, maka dipastikan tidak akan tercapai,” ujarnya.
Menurutnya, keseriusan itu belum terlihat dari cara rumusan lumbung pangan dunia yang dimaksud. Pihaknya justru melihat, untuk mencapai lumbung pangan hanya peran pemerintah dan petani kecil dan tidak melibatkan para pengusaha dan koperasi pertanian. Maka dipastikan tidak akan mampu menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045. Miisalnya, hasil kerjasama antara pengusaha, petani dan pemerintah yang telah melahirkan tiga revolusi yang sukses yang pernah dilakukan Indonesia sejak 1945.
“Pertama, green revolution, sehingga mampu surplus dan swasembada beras. Kedua, gebrakan para pengusaha agribisnis tentang usaha ayam broiler dan layer sehingga mampu swassembada ayam dan telur dan ketiga keberhasilan perkebunan sawit. Tiga kali sukses yang pernah diraih Indonesia itu karena hasil kerjasama antara pengusaha, petani kecil dan pemerintah. Dulu pada akhir tahun 1970-an pemerintah pernah mengembangkan ayam, tetapi tidak melibatkan pengusaha, maka tidak pernah berhasil, tapi setelah ditangani oleh swasta baru berhasil,” terangnya.
Dijelaskan, untuk mencapai kedaualatan pangan, ketahanan pangan harus terlebih dahulu. Bahkan, saat ini ketahanan pangan Indonesia setiap tahun semakin baik dan tidak ada kelaparan di Indonesia. Kalaupun ada kelaparan seperti Suku Asmat, itu bukan kelaparan Indonesia tetapi kelaparan lokal atau kelaparan keluarga. Kelaparan memang ada dimana-mana. Namun demikian masih tetap banyak yang harus diperbaiki pemerintah
“Harus diakui, memang ada beberapa perubahan yang dilakukan pemerintah sudah ada keberhasilannya. Walau demikian, kita tetap mmbutuhkan informasi yang detail untuk merumuskan kembali apa itu lumbung pangan. Hal itu guna menuju kedaulatan pangan. Jangan sampai ganti pemerintah, berganti juga memikirannya. Tetapi konsep tersebut harus dipikirkan dulu, nanti kalau sudah dilaksanakan dan masih butuh perubahan, maka harus dirubah. Sebab, kedaulatan pangan adalah soal menyambung keputusan dan menyangkut ketersediaan, akses untuk pangan,” imbuhnya.
Dia memaparkan pemerintah tak perlu bersikap anti-impor untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Barter produk dengan negara lain juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Apalagi, pada era pasar bebas seperti saat ini, Indonesia tak bisa bergerak sendiri. Karena kedaulatan pangan menuntut pemerintah mampu mengambil keputusan terkait dengan penyediaan pangan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini termasuk membina hubungan baik dengan rekanan dan negara-negara tetangga.
“Sungguh picik jika berpikir bahwa impor akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu kunci untuk menekan impor adalah menerbitkan aturan substitusi. Contohnya, pemerintah dapat memperketat aturan tarif impor dalam jangka waktu lima-sepuluh tahun. Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan barter produk seperti yang telah dilakukan Turki dan Indonesia. Pemerintah Indonesia mengimpor jeruk kino dari Turki. Sebagai gantinya, Indonesia menjual minyak sawit. Kita pun diuntungkan,” tegasnya.
Sementara itu Kepala Bagian Perencanaan Wilayah, Biro Perencanaan, Setjen Kementerian Pertanian, Dewa Ngakan Cakrabawa menambahkan, salah satu program dan prioritas yang dilakukan Kementerian Pertanian untuk mencapai lumbung pangan dunia pada 2045 adalah melakukan peningkatan produksi dengan cetak sawah. Sesuai Nawa Cita, maka pihaknya menargetkan cetak sawah seluas 1 juta hektar. Untuk cetak sawah, pihaknya akan mengembangkannya di Merauke, Papua.
“Alasannya, karena di wilayah itu memiliki potensi lahan yang cukup luas. Dari target 1 juta hektar ini, sampai saat ini sekitar 250 ribu hektar sudah terealisasi. Namun, kami tidak bisa memastikan lahan seluas 1 juta hektar itu dapat tercapai hingga tahun 2019. Pasalnya, banyak kendala dalam program cetak sawah. Di antaranya, pembebasan lahan. Sebab ada lahan yang bisa dibebaskan tapi unsur haranya tidak memenuh kriteria. Sebaliknya ada yang memenuhi kriteria unsur haranya tetapi milik hutan lindung atau milik PT. Perhutani,” ungkapnya.
Dia mengatakan, pihaknya juga membidik lahan rawa kering dan tadah hujan untuk menjadi sasaran target dari pengembangan lahan guna mendukung lumbung pangan. Karena lahan tersebut diperkirakan mampumencapai 33 juta hektar. Jika saja dari angka tersebut, ada sekitar 10 juta hektar yang bisa difungsikan, maka dapat menutupi dan mensubstitusi fungsi alih lahan yang selama ini terjadi. Adapun lahan rawa yang telah sukses ada di Sumatra Selatan.
“Di lahan rawa itu yang biasa hanya satu kali panen dalam setahun, kini bisa tiga kali dengan hasi panen antara 3 sampai 4 ton per hektar. Hal tersebut bisa jadi contoh pemanfaatan lahan- lahan rawa. Oleh sebab itu, kami harus mendorong teknologinya karena pemanfaatan lahan tersebut membutuhkan teknologi tinggi,” ujarnya.
Diutarakannya, selain padi, target lumbung pangan dunia 2045 juga untuk jagung, kedelai, bawang merah, gula, daging sapi, cabai, dan bawang putih. Swasembada padi telah dicapai pada 2016 lalu dan 2045 yang akan datang ditargetkan produksinya mencapai 100,03 juta ton atau setara 61,06 juta ton beras. Dengan luas tanam 17,83 juta ha dan produktivitas 5,90 ton/ha. Dari jumlah itu, diharapkan dapat menguasai 20 persen pangsa pasar beras dunia. Sedangkan, untuk jagung ditargetkan mencapai swasembada 2017. Sehingga pada tahun 2045 ditargetkan produksi 63,16 juta ton dengan ekspor sebesar 1,20 juta ton atau menjadi eksportir ke-7 dunia.
“Begitu juga, kedelai ditargetkan swasembada tahun 2020 dan pada tahun 2045 ditargetkan produksi sebesar 7,7 juta ton dengan ekspor sebesar 2,9 juta ton. Bawang putih target swasembada 2033 dimajukan menjadi 2019. Gula konsumsi ditargetkan swasembada pada 2019 dan gula industri tahun 2025 dan tahun 2045 ditargetkan sudah menjadi eksportir utama gula di kawasan Asean. Begitu juga daging sapi ditargetkan swasembada tahun 2026 dan mampu memproduksi 1,12 juta ton daging sapi dan menjadi salah satu negara pengekspor,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved