Pedoman perilaku adalah dasar dari setiap tindak langkah bersikap, yang enjadi dasar sebuah etika. Jika pedomannya bagus, tentu akan membuat tindakan semakin bagus. Namun, sungguh ironis jika dibanding kan dengan Pedoman Perilaku Hakim yang diterbitkan Mahkamah Agung (MA). Pasalnya, pedoman yang ditandatangani Ketua MA Bagir Manan itu mengizinkan hakim menerima hadiah dari pihak berperkara.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) berpendapat pemberian hadiah apa pun bentuknya dapat mempengaruhi inparsialitas dan kejujuran hakim.
"Soal hadiah sebaiknya ditegaskan tidak boleh diterima dalam bentuk apa pun. Karena, korupsi acapkali bermula dari sebuah hadiah kecil," kata Ketua Harian Mappi Hasril Hertanto dalam jumpa pers bersama di Kantor YLBHI Jakarta, Jumat (23/6).
Dalam pertemuan itu, hadir pula Firmansyah Arifin (KRHN), Danang Widoyoko (ICW), dan Patra Zen (YLBHI).
Sementara itu, pedoman perilaku tersebut antara lain mengatakan,"Hadiah berupa satu kotak kue, atau buah, sepasang kain batik biasa, yang diberikan pihak yang berperkara, bahkan sebelum sebuah perkara diputus, tidaklah termasuk hadiah yang harus ditolak".
Aturan lain menyebutkan, peluang penerimaan hadiah untuk hakim, terbuka pula dari pemerintah daerah. "Toleransi dapat diterima dalam hubungan pemberian hadiah kepada hakim dari pemerintah daerah atau sesama koleganya. Khususnya, sehubungan dengan kesempatan tertentu seperti acara perpisahan hakim. Masih dapat ditolerir pemberian yang cukup bernilai dari pemerintah daerah atau sesama koleganya selama pemberian sewajarnya," sebut pedoman itu.
"Aturan ini multitafsir. Apa yang disebut dengan ’kain batik biasa’? Seorang advokat tidak mungkin memberikan kain batik kepada seorang hakim seharga Rp50 ribu-an yang dibeli di Tanahabang. Selayaknya, mereka pasti akan memberikan kain batik seharga jutaan rupiah. Kalau diberi tiap bulan, nilainya bisa jutaan. Lalu, soal hadiah dari pemda, berapa yang dinilai sebagai ’pemberian sewajarnya’? Jadi aturan ini membuka banyak celah untuk mempengaruhi seorang hakim," kata Hasril Hertanto.
Lebih lanjut, Hasril melanjutkan, pedoman perilaku itu pun bertentangan dengan Undang-undang Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut, lanjut Hasril, secara tegas mengatur bahwa pemberian gratifikasi di atas Rp10 juta harus dilaporkan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Sementara itu, Patra Zen menambahkan pedoman perilaku memang dibutuhkan untuk dijadikan dasar pengawasan terhadap perilaku hakim. Secara prinsip, kata Patra, aturan itu memang diperlukan. "Hanya soalnya, aturan yang diterbitkan ini sangat memalukan. Soal hadiah, pasti akan penuh dengan perdebatan. Oleh karena itu lebih baik pedoman itu menegaskan seorang hakim tidak boleh menerima hadiah. Apalagi, dari pihak yang berperkara," demikian Patra Zen.
© Copyright 2024, All Rights Reserved