[Dari redaksi:]{Proses kewarganegaraan Indonesia terhadap ratusan eks mahasiswa ikatan dinas di zaman Orde Lama, yang belajar ke sejumlah negara, tetapi tidak berani pulang kembali ke Indonesia pasca peristiwa G30S/PKI tahun 1965 lalu kini jadi perbincangan ramai}.
{Tulisan berikut ini, adalah tanggapan dari salah seorang eks mahasiswa Ikatan Dinas pada zaman Orla yang kini menetap di Paris, Perancis.}
[Bagian II/Akhir]
Ada lagi persoalan-persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Menurut Jawa Pos itu: “Berdasar informasi yang dikumpulkan koran ini, eks mahasiswa Indonesia tersebut sesampai di tanah air akan melewati pemulihan hak-hak kewarganegaraannya yang hilang selama 40 tahun lebih.”. Sebab, soalnya bukan hanya pemulihan hak-hak kewarganegaraan yang hilang selama 40 tahun lebih saja, melainkan juga masalah-masalah lainnya, antara lain : masalah perlindungan hukum, masalah jaminan untuk bisa hidup normal, masalah kesehatan dll dll.
Sebab, sebagian besar dari eks mahasiswa tersebut (dan juga orang-orang “klayaban” lainnya) umumnya sudah lanjut usia (rata-rata lebih dari 65 tahun, bahkan banyak yang sudah sekitar 75-80 tahun!), dan sebagian lagi malahan sudah pensiun, atau terima tunjangan sosial saja. Sebagian terbesar di antara mereka juga sudah terpaksa menjadi warganegara dari berbagai negara, akibat dicabut paspor mereka oleh KBRI atau akibat berbagai politik rejim militer Orde Baru. Umumnya, selama puluhan tahun mereka bisa hidup normal sebagai warganegara biasa di negara-negara baru mereka.
Mengingat berbagai keadaan mereka yang demikian itu sekarang, maka “iming-iming” berupa tawaran pemerintah untuk “permulihan hak-hak kewarganegaraan yang hilang selama 40 tahun lebih” itu, perlu ditanggapi dengan kritis. Sebab, kalimat yang bunyinya terdengar sebagai lagu merdu itu bisa hanya merupakan retorika yang isinya kosong melompong saja, disebabkan adanya berbagai kesulitan atau banyak hambatan.
Umpamanya, antara lain : “apa pemulihan hak-hak kewarganegaraan yang hilang selama 40 tahun” itu hanya dapat diperoleh dengan menanggalkan status kewarganegaraan mereka yang sekarang mereka peroleh di berbagai negeri? (Sebab Undang-undang RI melarang adanya kewarganegaraan ganda). Apakah kalau sudah menanggalkan kewarganegaraan asing dan kemudian menjadi warganegara RI kembali mereka betul-betul akan dijamin akan bisa mendapat perlakuan seperti perlakuan yang selama ini mereka peroleh dari berbagai negara asing itu? Apakah mereka -- kalau sudah menjadi warganegara RI kembali -- akan dapat menerima jaminan sosial dan jaminan kesehatan seperti yang mereka terima di luar negeri ?
Hal-hal yang sangat penting inilah yang masih belum pasti, bahkan patut diragukan atau dikuatirkan mengingat kecilnya kemampuan --dan juga kemauan yang sungguh-sungguh !!! – pemerintah Indonesia dalam menangani soal-soal yang beginian selama ini. Buktinya, berapa puluh juta orang yang jelas-jelas menderita karena hidup terus-menerus (dan selama puluhan tahun pula!) di bawah garis kemiskinan dan karena pengangguran yang merajalela secara ganas?
Tidak mempermasalahkan ideologi lagi ?
Mengenai kalimat bagus lainnya yang diucapkan Hamid Awaluddin :” Presiden tidak mempermasalahkan (ideologi) mereka. Kita memfasilitasi mereka yang rindu ingin pulang ke tanah air” perlu juga ditanggapi dengan kritis, meskipun barangkali tidaklah perlu bersikap negatif melulu. Sebab, rupanya pemerintahan SBY (atau sebagiannya) memang sudah melihat sendiri bahwa sejak jatuhnya Suharto makin jelas tidak masuk akalnya atau “gilanya” politik Orde Baru yang selama puluhan tahun sudah membatasi kebebasan orang untuk berideologi, dan melarang ideologi politik tertentu.
Memang, sejak pemerintahan Habibi, yang disusul oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid, Megawati dan sekarang SBY-Jusuf Kalla, sudah mulai ada kebebasan (terbatas!), sehingga buku-buku kiri atau yang berbau marxis atau komunis bisa beredar. Tetapi, patutlah selalu kita ingat, bahwa resminya TAP MPRS nomor 25/1966 bikinan pimpinan Angkatan Darat itu masih belum dicabut sampai sekarang. Perlu diingat juga bahwa akibat indoktrinasi anti-komunis yang dilakukan secara intensif sekali selama puluhan tahun oleh Orde Baru itu pengaruhnya masih terasa dimana-mana, termasuk di antara sebagian kalangan Islam. Perlu kiranya sama-sama kita amati bahwa sikap kepala batu anti-komunis ini masih diperlihatkan terus oleh sejumlah pimpinan TNI-AD.
Tentang kalimat “Kita memfasilitasi mereka yang rindu ingin pulang ke tanah air” kiranya tidaklah perlu pula ada penghargaan yang berlebih-lebihan, mengingat bahwa sudah banyak di antara “mereka yang terhalang pulang” ini yang dapat berkunjung ke Indonesia untuk menemui sanak saudara dan melepaskan kerinduan kepada negeri asal mereka, dengan menggunakan paspor atau dalam status kewarganegaraan asing mereka. Jadi, kecuali bagi sebagian kecil orang yang mempunyai sebab-sebab atau kondisi tertentu, mungkin sekali bagi sebagian besar orang-orang “klayaban” (sekali lagi minta ma’af penggunaan kata yang sebenarnya kurang tepat) masalah “pulang ke tanah air” sudah tidak mendesak sekali atau sangat perlu sekarang ini.
Masalah politis : kebenaran dan keadilan
Bagi sebagian besar di antara mereka itu yang terpenting adalah masalah politis, yang mempunyai dampak psikologis, yaitu masalah kebenaran dan keadilan. Yang sangat diperlukan adalah pengakuan secara resmi, dan terang-terangan atau terbuka, dari pemerintah (atau lembaga-lembaga penting negara, termasuk kemudian opini umum) bahwa mereka itu sama sekali bukanlah orang-orang yang bersalah. Dengan kalimat lain, yang amat penting bagi mereka adalah pengakuan dari pemerintah (dan sebagian dari opini umum) bahwa mereka secara salah besar sekali telah diperlakukan secara tidak adil, dan hak-hak mereka sebagai warganegara telah dirampas selama puluhan tahun, antara lain dengan pencabutan paspor. Ini akan merupakan bukti bahwa Orde Baru berikut pemerintahan yang berturut-turut menggantikannya telah melakukan koreksi atas kesalahan atau kejahatan politik yang telah dilakukan terhadap begitu banyak orang. Dan koreksi ini bisa dilakukan dalam bentuk dekrit atau keputusan presiden RI atau lembaga tinggi negara lainnya.
Perlu pula diingat oleh semua fihak, bahwa “Para mahasiswa era Orla” yang dicabut paspornya dan yang kemudian terpaksa menetap di berbagai negeri bukanlah hanya yang anggota PKI atau simpatisan PKI saja, melainkan juga orang-orang dari berbagai kalangan yang non-PKI. Memang, pada umumnya mereka adalah pendukung politik Prsiden Sukarno, dan karenanya menentang rejim Orde Barunya Suharto dkk. Sekarang, sejarah sudah membuktikan, dan dengan jelas pula, bahwa mendukung politik Bung Karno sama sekali bukanlah suatu hal yang jelek atau merupakan kejahatan, dan juga bahwa menentang Orde Baru adalah syah, benar dan adil, baik secara politik maupun moral !!! (tanda seru tiga kali).
Bisalah kiranya dikatakan secara tegas, bahwa pencabutan kewarganegaraan dengan sewenang-wenang dan tanpa proses pengadilan adalah pelanggaran HAM yang seius dan (sekali lagi) kejahatan politik yang besar sekali , karena telah berlangsung begitu lama dan dilakukan terhadap begitu banyak orang. Oleh karena itu, sebagai syarat permulaan atau pra-sarana untuk menyelesaikan berbagai soal lainnya kemudian, perlu adanya lebih dulu pernyataan resmi (walaupun bisa diartikan hanya simbolik saja) bahwa “mereka yang tidak bisa pulang” itu sudah di kembalikan sebagai warganegara RI sepenuhnya. Ini sangat penting, karena bisa dianggap sebagai bukti tanda kemauan baik (good will) dan koreksi politik atas kejahatan atau kesalahan dari berbagai pemerintahan selama ini.
Sesudah ada pernyataan resmi tingkat tinggi bahwa kewarganegaraan “mereka yang tidak bisa pulang” ini sudah dipulihkan secara total, maka terserah kepada masing-masing untuk mengambil keputusan apakah mau pulang kembali ke Indonesia untuk seterusnya, atau meneruskan bermukim di luar negeri, atau minta visa seumur hidup, atau keputusan lainnya. Sebab, tiap keputusan bisa menyangkut berbagai persoalan dan kesulitan yang berbeda-beda, baik kadarnya maupun jenisnya.
Jadi, menghadapi rencana pemerintah “untuk pemulangan para mahasiswa era Orla” perlulah kiranya kita akan menghadapinya dengan positif tetapi juga kritis. Kita perlu menggunakan kesempatan ini, sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya, untuk mendorong terus tercapainya rehabilitasi secara umum bagi seluruh korban peristiwa 65 untuk mendapatkan kembali hak-hak sipil mereka, dan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan RI bagi “mereka yang terhalang pulang”, yang secara sewenang-wenang telah dirampas oleh rejim militer Orde Barunya Suharto dkk.
© Copyright 2024, All Rights Reserved