KITA sudah mendengar istilah zaken kabinet yang diungkapkan oleh para politisi belakangan ini. Kabinet zaken (bahasa belanda: zakenkabinet) adalah suatu kabinet dalam pemerintahan yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan bukan representasi dari suatu partai politik tertentu.
Istilah zaken kabinet sangat relevan dalam sistem presidensial. Namun dalam sistem parlementer, istilah ini cenderung bermasalah, karena istilah kabinet zaken tidak dikenal dalam sistem parlementer.
Sebab, kabinet dalam sistem parlementer adalah anak kandung parlemen. Sementara parlemen diisi oleh partai politik, kepala pemerintahan (perdana menteri) haruslah orang dari partai pemenang pemilu. Susunan kabinetnya juga menggambarkan representasi partai politik di parlemen.
Sementara dalam sistem presidensial, presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dengan kekuasaan itu, presiden memiliki hak prerogatif membentuk kabinet.
Kalau dalam sistem parlemen kabinet dibentuk berdasarkan komposisi partai politik parlemen, maka dalam sistem presidensial, presiden dapat membentuk kabinet di luar parlemen atau di luar partai politik.
Kabinet yang dibentuk tidak berdasarkan perwakilan partai politik dengan mempertimbangkan keahlian, atau rekomendasi partai politik berdasarkan keahlian, itulah yang disebut kabinet zaken. Apakah kabinet itu ekstra parlemen atau intra parlemen, sepenuhnya hak prerogatif presiden.
Mungkinkah membentuk kabinet zaken dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
Dalam sistem presidensial, presiden memegang kekuasaan eksekutif (single chief executive). Sebagai kepala eksekutif, presiden diberi kewenangan penuh untuk membentuk kabinet.
Tapi dalam realitas politik Indonesia, dengan multipartai seperti sekarang ini, tidak mungkin membentuk kabinet tanpa kompromi dengan partai politik. Kabinet kompromi ini telah memberikan ruang bagi partai untuk ikut mengusung calon-calon menteri dari partainya dengan syarat berkoalisi dengan presiden.
Realitas ini memaksa presiden harus membentuk kabinet berdasarkan komposisi partai politik di Parlemen. Apabila presiden berhasil mengumpulkan sebagian besar partai politik dengan imbalan posisi menteri, maka kebijakan presiden tidak akan dihalangi oleh parlemen.
Sebaliknya, presiden yang memiliki komposisi koalisi partai politik di parlemen lebih kecil dari oposisi, maka presiden akan kesulitan menghadapi parlemen dalam menyukseskan agenda politiknya yang tercantum dalam visi-misinya.
Kabinet Prabowo untuk Siapa?
Membentuk kabinet, tanpa mengikutsertakan partai politik parlemen, menjadi masalah serius bagi presiden. Kecuali partai politik menolak untuk masuk kabinet.
Kompromi politik inilah yang "memaksa" presiden untuk mengakomodasi seluruh anggota partai politik agar masuk dalam pemerintahan.
Apakah itu salah? Secara konstitusional tidak ada pelanggaran untuk menunjuk menteri dari orang-orang partai. Namun secara profesional, penunjukan menteri harus memperhatikan keahlian dalam mengelola bidang pemerintahan yang ditugaskan.
Semenjak reformasi, pembentukan kabinet tidak terlepas dari kompromi politik antara presiden dan partai. Itu sudah menjadi kebiasaan politik, pemenang merangkul partai pengusung dan pendukungnya dalam kabinet.
Namun ada yang berbeda dari pembentukan kabinet Prabowo Subianto. Pembentukan kabinet ini, selain besar, juga mengajak semua partai politik untuk bergabung.
Tidak mengherankan, semua partai kecuali Partai Nasdem yang menyatakan tidak bergabung dalam kabinet Prabowo. Baik partai yang mengusung dan mendukungnya dalam Pilpres 2024, juga partai yang menjadi rival politiknya diberi kesempatan masuk kabinet.
Dapat dikatakan, kabinet Prabowo adalah “kabinet guyub”. Dimana semua partai politik diberi kesempatan untuk membantu presiden dalam menjalankan pemerintahannya. Sangat harmonis ditinjau dari sisi integrasi politik.
Apakah langkah Prabowo merangkul semua partai dengan membentuk kabinet yang banyak itu efektif dalam menjalankan pemerintahan yang dipimpinnya?
Melihat orang-orang yang ditunjuk menjadi menteri, sebagian besar adalah mereka yang berasal dari partai politik, maka istilah kabinet zaken tidak relevan digunakan. Kabinet zaken harus didominasi oleh para ahli-ahli di bidangnya, bukan berdasarkan komposisi partai politik di parlemen.
Namun menariknya, kabinet Prabowo ini sangat kental dengan wajah keberlanjutan. Kabinet ini, lebih didominasi oleh "bayang-bayang Jokowi". Tidak berlebihan kalau kita mengatakan, kabinet ini masih dikendalikan oleh penguasa lama.
Jokowi memang memiliki ambisi politik yang cukup besar untuk mengendalikan pemerintahan Prabowo. Lewat anaknya Gibran, Jokowi dapat memaksa Prabowo untuk mengakomodasi kepentingan politiknya di kabinet.
Ini sesuatu yang disayangkan. Sebab presiden tidak lagi sepenuhnya memiliki hak prerogatif untuk menentukan menteri yang akan membantunya, melainkan mengakomodasi kepentingan politik dari pendahulunya.
Kabinet ini bisa menjadi "kabinet yang dikendalikan". Melihat banyaknya simpatisan dan loyalis Jokowi di kabinet, apalagi sebagian besar menduduki jabatan menteri dan setengahnya lagi di Wakil Menteri, maka sangat mungkin bagi Presiden Prabowo sulit mengendalikan penuh kabinet di pemerintahannya.
Prabowo harus belajar dari pengalaman Jokowi sendiri. Jokowi pernah mengangkat beberapa orang menjadi menterinya. Namun karena para menteri itu lebih akrab dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, maka diganti hanya beberapa bulan menjabat.
Cara Jokowi ini adalah cara melumpuhkan kaki tangan Wakil Presiden di kabinet. Sehingga secara tidak langsung presiden membuat Wakil Presiden tidak memiliki loyalis apapun dan akhirnya lumpuh di pemerintahan.
Cara ini memang memungkinkan bagi presiden, karena secara konstitusional presiden memiliki hak prerogatif untuk mengganti siapa saja yang dianggapnya tidak loyal atau tidak kompeten.
Penyusunan Kabinet Prabowo
Kalau kita lihat penyusunan kabinet Prabowo yang dilakukan beberapa hari lalu, sangat bagus. Mereka ditampilkan di hadapan publik dengan dipanggil satu persatu.
Pemanggilan terhadap para calon menteri ini, memperlihatkan keterbukaan Prabowo dalam menyeleksi calon-calon menteri.
Ada pesan penting yang ingin disampaikan Prabowo, selain memberi sinyal kepada rakyat untuk memberi masukan, juga memberi sinyal kepada penegak hukum untuk melakukan profiling terhadap calon-calon pembantunya.
Tetapi yang terbaca secara politik, Prabowo ingin memberitahu kepada Jokowi, inilah orang-orang yang dia panggil untuk menjadi menteri.
Jadi seterbuka itu Prabowo di hadapan publik. Sesuatu yang membanggakan. Tetapi pemanggilan terbuka itu juga membuktikan loyalitas Prabowo pada Jokowi. Ini sesuatu yang sangat disayangkan.
Nama-nama calon menteri dan wakil menteri yang didominasi politisi dan relawan serta orang-orang "pro Jokowi" memberikan kesan, Jokowi masih mengendalikan Prabowo dan pemerintahannya ke depan.
Agenda Prabowo untuk membangun indonesia justru akan mengalami hambatan dengan misi keberlanjutan Jokowi. Sebab setahu saya, visi dan misi Prabowo sangat berbeda dengan agenda keberlanjutan Jokowi. Sehingga pembentukan kabinet ini harusnya untuk keperluan menyukseskan visi misi Prabowo, bukan menyukseskan agenda Jokowi.
Sepertinya, Prabowo didikte untuk menerima kenyataan dan politik balas budi itu. Namun yang disayangkan, itu akan menggagalkan agenda Prabowo yang idealis untuk membangun Indonesia kedepan.
Kalau kita analisi lebih jauh, orang-orang PDIP yang sedianya akan masuk kabinet, pun tidak jadi dikirim. Menjelang pelantikan masih ada dua kursi kabinet yang disediakan untuk PDIP. Namun kemungkinan, Jokowi menolak PDIP masuk kabinet.
Meskipun demikian, orang-orang Jokowi, loyalisnya masih bertahan dan memegang posisi strategis. Seperti Kapolri, TNI dan Jaksa Agung. Posisi-posisi penting ini membuat pemerintahan Prabowo dikendalikan penuh.
Apakah ini yang kita kehendaki? Tentu saja tidak! Cawe-cawe politik harus dihentikan, dan beri kesempatan kepada presiden terpilih untuk membentuk dan merumuskan sendiri kabinetnya.
Kalau kabinet itu atas wibawa Jokowi, maka kabinet itu adalah "kabinet haram jadah" sebab kabinet bukan otoritas presiden yang akan demisioner, melainkan otoritas presiden yang berkuasa.
Sejarah istilah "Kabinet Haram Jadah" ini pernah terjadi pada tahun 1957. Ketika Presiden Soekarno dengan memaksakan dirinya untuk membentuk Kabinet di luar parlemen yang disebut “Zaken Kabinet Darurat Ekstra Parlementer”, yaitu presiden Republik Indonesia menunjuk warga Negara Indonesia, Dr. Ir. Soekarno sebagai formatur. Sesuatu tindakan yang mengherankan ditinjau dari segi tata negara Indonesia.
Presiden tidak membentuk kabinet presidensial, karena ia mengangkat Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai perdana Menteri. Itulah sebabnya Masyumi melalui Mawardi Noor, anggota parlemen pada waktu itu menyatakan, bahwa kabinet itu adalah “Kabinet Haram jadah”.
Karena kabinet katanya adalah anak kandung parlemen, tapi kabinet ini kata Mawardi dibentuk di luar parlemen. Sampai akhir hanyatnya Masyumi tetap konsisten menyatakan bahwa kabinet zaken yang dibentuk di luar parlemen adalah kabinet haram jadah. Itulah sekilas tentang kabinet zaken dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Dalam sistem Parlementer Kabinet dibentuk oleh Formatur Kabinet, presiden tidak berhak ikut campur dalam pembentukan kabinet. Sementara dalam sistem presidensial, presiden yang berkuasa memegang kekuasaan penuh untuk membentuk kabinet, presiden demisioner tidak boleh ikut campur dalam pembentukan kabinet. Kalau itu terjadi maka sekali lagi dapat disebut “kabinet haram jadah”.
Terlepas dari semua itu, prerogatif Prabowo lah yang menentukan kabinet, apakah itu atas wibawa Jokowi atau tidak itu tergantung dari Prabowo dengan siapa beliau menyusun kabinet.
Tanpa mengurangi apresiasi, Prabowo telah membuktikan dirinya terbuka untuk menyeleksi calon menteri. Di samping itu, pembentukan kabinet ini seperti rekonsiliasi politik yang harmonis dan menjadi bagian penting untuk semua kelompok dan golongan bersama-sama membangun Indonesia ke depan.
*Penulis adalah Ketua Umum Partai Masyumi
© Copyright 2024, All Rights Reserved