KOLOM Analisis Politik di Harian Kompas 15/02/2024 memuat tulisan Ulil Abshar Abdalla dalam judul “Memahami Kemenangan Prabowo”, memuat beberapa pemikiran intelektual publik terkemuka ini yang menurut pendapat saya sangat berbahaya.
Pertama, dari pemilihan judul, mengingat baru satu hari hajatan pemilu serentak berlangsung, dan semua hasil perhitungan pemilu masih berada dalam kerja ribuan mungkin jutaan orang yang masih belum genap istirahatnya, jelas sambutan atas “kemenangan” satu kontestan menunjukkan ada di mana pilihan hati Bung Ulil.
Kedua, Ulil memulai dengan premis -berdasarkan hitung cepat hampir semua lembaga survei, sudah dipastikan Indonesia akan memiliki presiden dan wakil presiden baru.
Premis inilah dasar keimanan intelektual publik pada umumnya di Indonesia yang ingin segera mungkin, kalau tidak mau disebut kurang sabar, melihat salah satu tahapan demokrasi di Indonesia.
Ketiga, Ulil seperti halnya intelektual publik di Indonesia pada umumnya menerima apa adanya tema pertarungan antara “keberlanjutan lawan perubahan” yang ditawarkan dalam kontestasi Pemilu 2024 ini.
Padahal ada banyak hal yang harus dicerahkan kepada publik bahwa tema pertarungan yang sudah sangat umum ini mempunyai banyak lubang jika ingin melihat potret kontestasi demokrasi di Indonesia dengan lebih kritis.
Keempat, Ulil mengakui bahwa pandangan dirinya “politically incorrect” dengan membandingkan dirinya dengan intelektual lain yang mewakili kalangan terpelajar kelas menengah lainnya yang sudah lama sangat kritis terhadap berbagai “assiyasiyah” Jokowi sangat luar biasa menabrak berbagai “pakem” sejak lima tahun ke belakang.
Ulil malah memberi saran, lebih baik terima saja, toh semua itu kehendak mayoritas masyarakat Indonesia, begitu dalilnya.
Kelima, Ulil menyorot adanya “kesombongan tersembunyi” intelektual kelas menengah yang selalu bilang demokrasi indonesia mengalami kemunduran.
Saran Ulil, kembali ke poin di atas, coba melihat Indonesia di luar disiplin ilmu politik yang menurut Ulil, dalam pemahaman saya Ulil merasa “demokrasi” terlalu berbau elitis orang sekolahan. Biarkan rakyat memahami dengan cara “orang Indonesia”.
Intelektual Publik yang Nyaman
Banyak hal, dalam diskursus politik Indonesia, yang semestinya terdengar kencang dari bilik-bilik lembaga perwakilan rakyat, nyaris tidak terdengar ke khalayak ramai. Intelektual publik sudah lama paham akan hal itu tetapi sedikit sekali yang konsisten berteriak-teriak tentang hal itu.
Hanya ada satu, dua bahkan mungkin kurang dari lima, intelektual senior di Indonesia yang matang dalam kancah “kelompok studi 80-an” berteriak hari demi hari tentang kanker yang dialami demokrasi di Indonesia selama lebih dari 20 tahun reformasi.
Intelektual publik yang nyaman, kalau tidak mau dibilang dungu, tidak sudi untuk memberikan pendidikan politik dengan turun ke kantong-kantong pembelajaran publik atau masyarakat sipil yang memang memerlukan “pemutakhiran” tentang pemahaman demokrasi dengan segala kelemahannya.
Seperti halnya jejaring komputer sistem dunia saat ini yang telah menjadi sistem kompleks terintegrasi sekaligus terdesentralisasi, pemutakhiran sistem adalah sebuah keharusan jika ingin bertahan dari serbuan peretas, backdoor, bug, flaw, loophole, hingga kernel yang afkir.
Demikian halnya dengan sistem demokrasi. Jika memahami demokrasi sebagai sebuah sistem kompleks, berbagai hal yang mutakhir harus selalu dibagikan dan diajarkan kepada masyarakat yang gandrung demokrasi agar siap dengan lawan abadinya, yakni kekuasaan yang despot dan manipulatif yang selalu siap dengan berbagai malware yang sepertinya jinak tapi mematikan.
Tugas Intelektual Publik Memutakhirkan Demokrasi
Kawan saya, Rocky Gerung, dalam berbagai pesan pribadi, selalu menyarankan saya agar tidak meminggirkan koleksi buku-buku politik klasik yang sejak saya lepas dari bangku kuliah jarang lagi saya baca.
Karena bagi Rocky, yang secara konsisten menjadi pengajar nilai-nilai demokrasi ke berbagai kelompok masyarakat sipil apa pun warna benderanya, demokrasi adalah suatu budaya berpikir dan bersikap yang selalu bersandar pada nalar kritis dan keberpihakan terhadap kelompok dalam masyarakat yang dilemahkan.
Fallibilisme, adalah satu nilai yang inheren dalam demokrasi, suatu paham bahwa suatu pengetahuan atau sistem itu selalu dimungkinkan untuk salah.
Demikian pula dengan paham demokrasi yang diamini oleh pada umumnya intelektual publik yang merasa sudah khatam dengan demokrasi dengan diskursus analitis politis khas masyarakat terpelajar dan menengah alias borjuasi.
Padahal, kalau dipahami bahwa diskursus yang umum diterima memiliki banyak kelemahan karena berbagai skandal yang sejak semula sudah menginjeksi virus dan kuman dalam kehidupan demokrasi yang memang tak kasat mata alias abstrak.
Karenanya, penerimaan Ulil yang terburu-buru terhadap “kemenangan Prabowo” dengan berdasar pada hitung cepat, sebuah metode yang sudah lama dikritik karena menjadikan politik tak lebih dari bursa saham dan komoditas, hanya berkontribusi mendemoralisasi semangat kritis dan perjuangan demokrasi jutaan relawan yang ingin melawan kekuasaan yang sudah sangat pongah “mencabuli’ kehidupan demokrasi dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan berdalih pada proses elektoral yang “demokratis” Uli menjadi pembenar paling awal dari pelaku pelecehan demokrasi yang diorkestrasi penguasa di Istana Negara.
Apa yang terjadi dalam proses kontestasi Pemilu 2024 yang baru beberapa hari berjalan adalah kecanggihan salah satu kontestan dengan power paling besar dan hasrat yang tidak ditutup-tutupi untuk mengakali “lugunya” nalar publik yang memang harus selalu dimutakhirkan bila hal itu berkaitan dengan kehidupan berdemokrasi yang harus selalu diperbaharui rambu-rambunya.
Kesadaran bahwa “perkawinan” Jokowi dengan Jenderal Prabowo, sebagai sebuah peristiwa politis yang sangat berbahaya, sepertinya memang datang terlambat.
Peristiwa itu bukanlah sebuah koalisi biasa. Bertemunya mantan komandan pasukan khusus, yang lolos dari tuntutan hukum dan dibiarkan selamat menikmati “kedamaian” hidup demokratis yang begitu indah pasca reformasi, dengan seorang politisi yang nyaris belum pernah kalah dalam dua puluh tahun terakhir di Indonesia dan sedang memegang kendali sistem negara dan intelijen tertinggi di negeri ini sesungguhnya adalah takdir buruk bagi Indonesia yang masih mengeja demokrasi.
Dalam “perkawinan” yang tidak suci itu terjadi persetubuhan antara kontrol berbagai resources mulai dari modal, sistem intelijen, lembaga-lembaga koersif negara, sampai dengan organisasi kino dan patron klien yang siap memenangkan berbagai kontestasi demokrasi sekalipun pemilihan berbagai pengambil keputusannya sama sekali mengangkangi prinsip-prinsip demokrasi.
Sesungguhnya sikap bung Ulil yang telah mengibarkan bendera putih dari pihak yang biasanya memiliki nalar kritis terhadap satu episode dalam proses elektoral yang belum berakhir sesungguhnya sangat khas intelektual dari kelas menengah terpelajar yang terasing dari dinamika berpolitik akar rumput.
Yul Amrozi
Penulis adalah Peneliti Sosial, Mantan Pegiat Mahasiswa 90-an yang pernah diculik Tahun 1996
© Copyright 2024, All Rights Reserved