SOAL takdir, ada yang penulis catat dalam sanubari, saat mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, sebagai peserta Konvensi Partai Demokrat pada 15 April 2014 mengatakan, “Saya menunggu takdir, bukan merebut takdir” (baca: https://m.jpnn.com/news/dahlan-iskan-saya-mau-menunggu-takdir-bukan-merebut-takdir).
Beliau menegaskan, dirinya tidak akan menghalalkan segala cara, tidak ngoyo, dan tidak menguber-uber jabatan. Dengan kata lain, sebagai orang beriman, dengan menunggu takdir, beliau akan berpasrah diri sepenuhnya kepada sang Illahi.
Dalam konteks kekinian Indonesia yang sedang menanti kepastian hasil Pemilu 2024, menunggu takdir bisa dilakukan dengan menanti pengumuman resmi dari KPU. Kata “kita” di sini harus dimaknai sebagai semua pihak, termasuk presiden. Dengan kata lain, tidak boleh ada seorang pun yang berupaya merebut takdir.
Presiden sebagai kepala negara seyogianya mengajak semua orang, termasuk dirinya sebagai pribadi, tidak berupaya merebut takdir bagi bawahan dan anaknya dengan “melawan” Tuhan, seperti pernah dilakukan Firaun.
Sejumlah pihak selama ini sudah mengingatkan kita semua agar mengikuti proses Pemilu yang jujur dan adil. Mereka telah menggaungkan suara kenabian melalui sejumlah guru besar UGM, disusul akademisi dari berbagai perguruan tinggi plus sejumlah rektor yang menolak berbohong.
Para ulama, termasuk Kardinal Mgr Ignatius Suharyo, telah mendesak penguasa, tidak terkecuali presiden, untuk memperhatikan suara-suara dari kampus. Substansi suara kenabian itu sejatinya menghendaki agar tidak ada satu pun dari kita yang berupaya merebut takdir.
Bagi umat beriman, merebut takdir itu sama dengan upaya melawan Tuhan.
Hanya orang-orang atheis, komunis, dan antek-antek asing, yang mungkin berani melakukannya dengan cara membodohi rakyat, menyuap mereka dengan memakai uang rakyat, mengintimidasi, sampai kepada cara yang vulgar, mengerahkan oknum aparat yang seharusnya bertindak netral.
Pesan Tuhan melalui Malaikat dan Tanda-tanda Zaman
Menurut kepercayaan agama Samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi), selain melalui nabi/rasul, Tuhan juga menyampaikan pesan melalui malaikat-malaikatNya. Bila Islam mengenal 10 malaikat, Katolik akrab dengan tiga malaikat, yakni Gabriel, Mikael, dan Rafael. Dalam Islam, nama Gabriel dan Mikael identik dengan Jibril dan Mikail. Mungkin Rafael identik dengan nama malaikat Israfil.
Di antara tiga nama malaikat di atas, tentu yang paling mudah diingat umat Katolik dan Kristen lainnya adalah Gabriel. Umat Katolik kerap menyebutnya Santo Gabriel. Sekadar informasi, di Gereja Katolik Santo (Santa bagi perempuan) dilekatkan pada nama para malaikat dan orang kudus.
Santo Gabriel (Jibril) adalah malaikat yang menyampaikan pesan Tuhan kepada Maria (Siti Maryam) tentang kedatangan Yesus (Nabi Isa). Dalam Islam, Jibril dijuluki dengan “Ruhul Qudus” (Ruh Suci) dan “Ruhul Amin”.
Umat beragama, termasuk Islam dan Kristen, karena tidak lagi mendapat pesan langsung Tuhan dari nabi dan malaikat, kecuali melalui mimpi, kerap berupaya menangkap pesan Tuhan itu dengan “membaca” tanda-tanda yang diberikan Semesta” atau dengan “membaca tanda-tanda zaman”.
Kini, di zaman modern, kita lazim mendengar orang berkata, “Saat Semesta Bicara” (ini menjadi judul sebuah buku) atau “Semesta senantiasa berpesan melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.”
Kata “Semesta” sebenarnya bisa bermakna “Tuhan”. Sepertinya “keengganan” memakai kata “Tuhan” membuat manusia menggantinya dengan kata “Semesta”. Itu mungkin hampir sama dengan keengganan orang Katolik di Indonesia memakai nama Yesus, sedangkan di Amerika Latin nama Yesus kerap dipakai tanpa sungkan. Lihatlah pesepakbola Brasil yang memiliki nama gabungan dari nama malaikat dan nama Yesus (Gabriel Jesus).
Kata-kata “menunggu takdir” di atas sesungguhnya dengan lengkap berbunyi, “menunggu takdir menjadi presiden”. Dahlan Iskan (DI) mengeluarkan kata-kata itu pasca kemenangannya dalam konvensi Partai Demokrat (PD).
Mengingat hasil Pemilu legislatif PD jauh dari 20% dan tidak ada upaya keras dari partai ini untuk menjalin koalisi, sejumlah orang kemudian mendorong DI “mencari” partai lain untuk mengusungnya. Lantaran tidak ambisius, DI hanya “menunggu takdir”. Sayangnya, “Semesta” tidak berpihak padanya.
Perlahan tapi pasti, nama DI meredup. Berbeda halnya dengan peringkat ke-5 konvensi, Anies Baswedan (AB). Tanda-tanda Semesta berpihak padanya mulai tampak saat di menit-menit terakhir, atas dorongan Jusuf Kalla, Partai Nasdem, PKB, dan PKS mengusungnya jadi calon Gubernur DKI.
Jabatan Gubernur DKI membuat AB tanpa kasak-kusuk bukan hanya membuatnya “menunggu takdir menjadi presiden”, tapi “takdir menjadi presiden tinggal menunggu waktu Semesta merestuinya.” Mengapa?
Pertama, Semesta mulai mengeluarkan “pesannya” di acara “Mata Najwa: Guyub Akhir Tahun” pada 29 Desember 2021. Selain AB, di acara yang dipandu Najwa Shihab itu ada Muhaimin Iskandar yang kemudian menjadi calon wakil presidennya, Erick Thohir, dan Ridwan Kamil.
Saat itu Semesta mengeluarkan kata-kata bermakna yang meluncur begitu saja dari mulut mereka, seperti “bareng-bareng ke stadion (baca: Jakarta International Stadium (JIS))”, “PKB terbuka”, "Partai NasDem”, dan “Surya Paloh”.
Kedua, Semesta tidak setengah-setengah berpihak pada AB. Berbagai pihak yang kontra pada pencapresannya mengeluarkan segala jurus, tapi tidak mempan, termasuk membegal PD, yang kemudian secara aneh (mungkin demi keberlangsungan masa depan PD dan ketua umumnya) tidak lagi ikut mengusungnya.
Ketiga, tanpa perlu menyebutkan, ada banyak jurus lain yang telah dikeluarkan. Semesta lagi-lagi menunjukkan kedigdayaannya dengan menegarkan hati Surya Paloh.
Keempat, pencawapresan Muhaimin melahirkan Paslon “Amin” yang merupakan akronim dari nama keduanya. Kelahiran Paslon yang tak terduga sama sekali itu terjadi gara-gara bisikan (baca: pesan) Semesta kepada Surya Paloh dan Muhaimin. Dengan kata lain, “keberadaan” Paslon ke-1 ini luput dari mata penguasa, dan tidak bisa dicegah lagi.
Kelima, hebatnya lagi, Paslon “Amin” ini kemudian menjadi pendaftar ke-1 dan di kemudian hari mendapat nomor urut 1. Sebagai informasi, huruf Alif yang melambangkan fonem /a:/ berkerabat dengan huruf Aleph (Ibrani), ? (alpha) (Yunani), dan A (Latin) dan semuanya sama-sama huruf ke-1.
Keenam, yang paling menarik, dalam Bahasa Arab "Amin" juga berarti "orang yang amanah atau terpercaya", sehingga tidak heran Nabi Muhammad diberi gelar "Al-Amin".
Ketujuh, ada “wahyu” Semesta berupa kata-kata “bareng-bareng ke stadion” yang diucapkan Muhaiman Iskandar di acara “Mata Najwa” pada 29 Desember 2021.
Aneh bin ajaib, bareng-bareng ke stadion benar-benar terjadi, dan keduanya bergandengan tangan pula naik ke podium pada 10 Februari 2024, di acara kampanye pamungkas. Kedelapan, bukan itu saja, paduan suara “Santo Gabriel” menjadi pemandu lagu kebangsaan “Indonesia Raya” di acara itu.
Kesembilan, kehadiran paduan suara “Santo Gabriel” lagi-lagi membawa pesan Semesta. Paduan suara Katolik itu menyimbolkan dukungan umat non muslim (Katolik).
Keberadaan mereka di JIS melunturkan politik identitas yang selama ini disematkan kepada AB, sekaligus melambangkan keberagaman pemilih “Amin”. Perlu digarisbawahi, seperti yang telah dikatakan, malaikat Gabriel (umat Katolik menyebutnya malaikat agung dan di umat Islam penghulu malaikat) adalah pembawa pesan Tuhan tentang kedatangan Yesus.
Sebagai penutup tulisan ini, Penulis ingin mengajak kita semua agar bersama-sama “menunggu takdir, bukan merebut takdir”. Bila masih berupaya merebut takdir, kita sebenarnya sedang menunggu azab dari Tuhan.
Semua pihak yang selama ini melakukan kecurangan, bertobatlah sebelum terlambat, dan murka Tuhan datang dengan lebih dulu menelanjangi aib Anda melalui utusanNya yang bernama pakar hukum, pakar IT, dan lain-lain.
*Pendukung berat Joko Widodo pada Pilpres 2014 dan 2019 yang siuman sejak 2021
© Copyright 2024, All Rights Reserved