PELAKSANAAN Pilkada Serentak 2024 di Tanah Air ini akan dihelat pada 27 November 2024 mendatang. Setidaknya perebutan kekuasaan untuk menjadi raja raja kecil di daerah, akan diikuti kurang lebih 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Namun di antara masalah yang kerap muncul dalam menghadapi pesta demokraksi 5 tahun ini, adalah modal kampanye calon kepala daerah yang tak sedikit.
Masalah ini menjadi topik utama yang kerap menjadi kegelisahan para kandidat. Pengalaman pahit dari Pemilu 2024 yang lalu, di mana banyak calon legislatif yang gagal karena tak mampu menggelontorkan uang di masa tenang, menjadi pelajaran berharga.
Beragam program kerja dan proyek yang telah diberikan sejak awal oleh para caleg petahana kepada konstituen, luntur oleh "cinta satu malam". Siraman rupiah (sirup) di malam pencoblosan atau saat datang ke TPS, ternyata mampu mengoyahkan keimanan pemilih, untuk pindah ke lain hati.
Berkaca pada pengalaman pahit itu, banyak kandidat kini lebih memilih menahan diri dari menabur uang sejak dini. Mereka lebih memilih melakukannya saat "serangan fajar", yang dianggap lebih efektif dan efisien dalam mendulang suara.
Asumsi ini bisa benar, bisa juga salah. Namun, para politikus dari pusat hingga daerah mengamini betul kondisi tersebut. Pengalaman itu mereka peroleh dari pemilu-pemilu yang telah mereka lalui.
Apalagi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pernah berujar di sebuah media bahwa ongkos politik setiap calon kepala daerah harus mengantongi modal minimal Rp30 miliar. Pernyataan itu diungkapkan pada tahun 2019.
Saat ini sudah memasuki tahun 2024, tentunya angka itu bisa meroket lagi seiring dengan inflasi dan kenaikan harga yang terus melambung tinggi.
Besarnya biaya kampanye peruntukannya, beragam, baik untuk biaya saksi, logistik, operasional, konsumsi, biaya survei, iklan kampanye, uang kadeudeuh timses, dan lain-lain.
Jika masalah uang ini bisa diatasi, langkah-langkah selanjutnya akan mudah dibereskan. Baik itu dalam merumuskan strategi dan taktik kampanye, membentuk tim sukses yang solid, menyusun materi kampanye yang efektif, hingga bersinergi dengan penyelenggara pemilu.
Meski demikian, kualitas dan kuantitas calon pada pilkada kali ini sebenarnya cukup memadai. Banyak calon yang memiliki visi dan misi yang bagus serta rekam jejak yang baik. Namun, mereka sering kali terhambat oleh masalah finansial.
Di zaman sekarang ini, tidak ada makan siang gratis. Di perkotaan pun saat kita ingin buang air kecil pun ada tarifnya. Apalagi jika ingin menjadi "raja kecil" di daerah. Meskipun uang bukan segala-galanya, kenyataannya hanya 0,1 persen calon penguasa yang maju tanpa modal.
Hal ini menandakan bahwa meskipun niat dan kemampuan ada, tanpa dukungan finansial yang memadai, sulit bagi seorang calon untuk bersaing.
Oleh karena itu, mencari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah modal kampanye ini menjadi sangat krusial.
Hanya dengan begitu, para calon yang berkompeten dan berintegritas bisa memiliki peluang yang sama untuk terpilih dan memimpin daerahnya menuju kemajuan.
Berpikir 1.000 Kali
Tingginya biaya politik ini membuat semua calon berpikir 1.000 kali untuk maju di Pilkada. Bahkan, jika menang dalam pertarungan perebutan kekuasaan pun, modal itu tidak akan kembali meski diberikan waktu lima tahun.
Kalau hanya mengandalkan gaji dan tunjangan jabatan seorang kepala daerah. Modal besar kampanye itu hanya bisa kembali melalui jalan korupsi. Ini adalah fakta yang tak bisa dibantah.
Namun bagi calon yang syahwat politiknya sudah menggebu-gebu maka ia akan menghalalkan segala cara. Selain menggunakan modal sendiri, ia akan berkolaborasi dengan wakilnya yang memiliki modal tinggi. Mereka pun akan mencari bohir atau bandar yang memiliki modal besar. Kalau diberikan kucuran dana besar.
Calon kandidat akan memberikan kompensasi yang bernilai tinggi, minimal setara dengan modal yang diberikan. Jika itu dalam bentuk investasi, maka nilainya harus ratusan miliaran bahkan bisa tembus triliunan rupiah.
Tapi bohir pun sebagai pengusaha tidak mau rugi, ia akan memberikan dana kepada kandidat yang memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi.
Maka dari itu, khusus di Pilkada Majalengka, Jawa Barat, dan kemungkinan besar dialami oleh kandidat lainnya di Tanah Air, para calon kepala daerah dihadapkan pada dilema besar. Di satu sisi, mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk menggapai kemenangan.
Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan realitas politik uang yang tak terelakkan. Bagaimana mereka menyeimbangkan antara idealisme dan pragmatisme, antara aspirasi rakyat dan kepentingan pribadi. Ini akan menjadi penentu apakah mereka layak memimpin Majalengka ke depan.
Dilema ini tidak hanya menimpa para calon, tetapi juga masyarakat. Rakyat sering kali terjebak dalam siklus politik uang yang seolah menjadi budaya dalam setiap pemilihan.
Di satu sisi, mereka mengharapkan pemimpin yang bersih dan berintegritas. Namun godaan rupiah yang ditawarkan saat pemilihan begitu sulit untuk ditolak. Terutama bagi pemilih yang secara ekonomi berada dalam garis kemiskinan.
Namun, tidak semua harapan itu hilang. Ada beberapa kandidat yang masih memegang teguh prinsip integritas dan transparansi. Mereka berusaha kuat untuk memenangkan hati rakyat melalui program-program nyata, yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat.
Kandidat-kandidat ini akan berusaha membangun kepercayaan melalui pendekatan yang lebih personal dan berkesinambungan. Bukan hanya sekadar janji-janji manis yang akan dilupakan setelah Pilkada usai.
Pendidikan politik menjadi kunci untuk mengubah pola pikir masyarakat. Kesadaran akan pentingnya memilih pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat harus terus disuarakan oleh kita semua.
Kampanye anti-politik uang perlu digalakkan, baik melalui media massa, media sosial, maupun kegiatan-kegiatan sosialisasi di setiap aktivitas masyarakat.
Masyarakat harus diajak untuk lebih kritis dalam menilai setiap calon, melalui rekam jejak dan mempertimbangkan program-program yang ditawarkan dengan secara utuh.
Maka peran lembaga pengawas pemilu sangat penting. Mereka harus mampu menjalankan tugas dan kewajibanya dengan tegas dan tidak pandang bulu, apalagi berpihak.
Pelanggaran-pelanggaran terkait politik uang harus ditindak secara tegas sesuai dengan regulasi yang ada. Sanksi yang tegas dan transparan akan memberikan efek jera bagi para pelaku.
Selain itu pula, adanya pengawasan partisipatif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, jelas akan menciptakan iklim pemilu yang lebih jurdil, luber dan berintegritas.
Semua pihak dalam situasi ini, memiliki peran penting dalam mewujudkan pemilu yang bersih dan demokratis. Para calon pun harus berkomitmen untuk mengedepankan integritas dan transparansi dalam setiap langkah kampanye mereka.
Masyarakat harus lebih bijak dalam menggunakan hak pilih. Tidak terbuai oleh janji-janji semu dan godaan rupiah yang hanya nikmat sesaat.
Hanya dengan upaya bersama, Majalengka bisa memiliki pemimpin yang benar-benar berkomitmen memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Ingat, pilkada ini bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, tapi kesempatan bagi semua orang untuk memilih pemimpin yang akan membawa kemajuan dan manfaat bagi rakyatnya. Semoga Pilkada Majalengka 2024 ini, menjadi momentum untuk mewujudkan demokrasi yang lebih bersih, jujur, dan adil.
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Alumni Himpunan Mahasiwa Majalengka (Himmaka) Cirebon
© Copyright 2024, All Rights Reserved