PROVINSI Kepodang, Jawa Tengah dalam hitungan bulan akan berganti takhta. Siapa yang beroleh wahyu menjadi raja di pusering Tanah Jawi ini masing-masing tengah berjibaku dengan beragam ikhtiar.
Simak di berbagai sudut, tempat tempat strategis kita seperti disapa wajah wajah semringah menabur pesona. Tak hanya itu pertemuan demi pertemuan, juga silaturahmi dihelat menjadi ajang sambung rasa sejumlah calon (gubernur) dengan masyarakat.
Buah dari tebar pesona, silaturahmi dan membingkai panggung untuk saling berkomunikasi, kini beredar sejumlah nama. Irjen Pol Achmad Lutfi, SH, SIK, MH Kapolda Jateng menjadi salah satu tokoh yang makin mencorong.
Nama nama lain menyodok, mencari dan mencuri perhatian, sebut Sudaryono SE, MBA, Ketua Gerindra Jawa Tengah, atau DR Hendrar Prihadi yang lebih populer dipanggil Hendy, mantan Walikota Semarang dua periode, sekarang adalah Ketua LKPP RI.
Tiga tokoh di atas menjadi figur paling mewarnai Pilgub Jateng yang kini tahapannya sudah mendekati puncak kontestasi. Sesuai jadwal dari KPU Jawa Tengah, pesta demokrasi dalam rangka memilih lurahnya Bumi Kanthil ini akan dihelat November mendatang.
Tinggal hitungan jari kalau menghitung bulan, karena sekarang sudah bulan Juni. Untuk sebuah hajatan Pilgub waktu sudah begitu dekat. Atau dengan kata lain mencermati dinamika yang terjadi di lapangan, masing masing calon praktis harus melakukan kerja maraton memantapkan dukungan publik.
Pekerjaan yang tak ringan, karenanya tak banyak juga muncul kandidat-kandidat baru yang berani unjuk diri.
Selain tiga nama, Achmad Lutfi, Sudaryono dan Hendrar Prihadi sebelumnya telah beredar juga sejumlah tokoh, sebut KH Yusuf Chudlori, yang lazim dipanggil Gus Yusuf, Ketua DPW PKB Jawa Tengah dan Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo.
Ada juga nama Dico Ganinduto yang saat ini menjadi Bupati Kendal. Dico meski terbilang anak kemarin sore di jagat politik gigih juga mencari peruntungan untuk naik kelas.
Selain Gus Yusuf, dan Dico belakangan ada nama Joko Suranto. Joko Suranto disebut sebagai crazy rich dari Grobogan tiba tiba mencoba mencuri perhatian dengan memasang baliho baliho ukuran besar di sejumlah Lokasi.
Matematika Pilgub
Istilah matematika Pilgub menjadi kalkulasi menarik yang layak diperbincangkan di sini. Berbeda dengan kontestasi sebelum sebelumnya, dinamika suksesi lurahnya Jawa Tengah kali ini terbilang sepi.
PDIP sebagai partai pemenang Pemilu kali ini seperti kurang darah. Kegagalan Pilpres lalu yang remuk gara-gara mengusung Ganjar Pranowo masih menyisakan luka begitu dalam. Ya, luka itu begitu perih, apalagi Jawa Tengah adalah Kandang Banteng.
Pilpres lalu menjadi sebuah ironi, lantaran di Jawa Tengah banteng itu ‘mbedhal’ dari kandangnya.
Masih bagus meski merosot raihannya secara persentase PDIP masih menjadi jawara. Artinya kaum marhaen, sebutan untuk loyalis partai moncong putih bukan menjadi pihak yang layak dipersalahkan. Kekalahan itu boleh jadi karena PDIP memang salah mencalonkan Ganjar Pranowo.
Bisik-bisik di akar rumput, andai bukan Ganjar yang dimandati partai yang dinakhodai Megawati hasilnya akan lain. Tapi sudahlah nasi sudah menjadi bubur. Kini kawan kawan Marhen mesti kembali bangkit merajut asa agar pelita partainya tak terus meredup.
Fenomena yang terjadi di Jawa Tengah ‘kandangnya’ kader moncong putih adalah sinyal yang perlu dimaknai secara lebih utuh. Baru kali ini di kandangnya sendiri PDIP seperti tak percaya diri.
Sepanjang sejarah susah memenangi Pilgub jika tak direstui atau diusung PDIP. Simak ketika era Mardijo tokoh marhaen kawakan yang juga Ketua PDIP di sini (Jawa Tengah), dia nekat maju (gubernur) tokoh akhirnya kukut.
Megawati ketika itu lebih memilih Mardiyanto, mantan Pangdam IV Diponegoro yang diberi rekomendasi. Mardijo yang merasa telah berdarah-darah membesarkan partai nekat maju, notabene melawan Mega.
Kisah lain Rustriningsih, Srikandi moncong putih mengalami nasib sama.
Bupati Kebumen dua periode yang didaulat mendampingi Bibit Waluyo akhirnya redup juga. Rustri dianggap melenceng dari titah Ketum Megawati Soekarno Putri. Ketika itu titah Mega adalah sabdo pandhito ratu. Jangan harap bisa bertanding atau maju di palagan Pilkada tanpa rekomendasi sang Ketum.
Bibit Waluyo mengalami nasib serupa. Periode pertama mulus menjemput takhta sebagai lurahnya Wong Jawa Tengah. Namun periode kedua Bibit memilih langkah sendiri dengan berangkat lewat Partai Golkar berpasangan dengan Soedijono, Rektor Unnes.
Bibit optimis dapat mengamankan tahtanya karena elektabilitasnya yang begitu tinggi. Namun apa daya sebagai sang petahana, Bibit justru kalah oleh Ganjar Pranowo berpasangan dengan Heru Soedjatmoko.
Kisah-kisah di atas sebagai fakta empirik rupanya telah bergeser. Lagi-lagi Pilpres lalu menjadi afirmasi telak. Ganjar Pranowo bukan hanya kalah, namun tragis, habis!
Bayangkan disokong oleh partai pemenang Pemilu tapi harus kandas di posisi ketiga. Tak perlu banyak analisis lagi kekalahan Pilpres merekomendasikan dua hal. Pertama hegemoni Megawati, sebagai Ketum kini mulai surut.
Setiap masa ada pemimpinnya, setiap pemimpin ada masanya, barangkali menjadi analogi atas tesa tersebut. Kedua faktor Ganjar Pranowo sebagai kandidat. Dua periode menjadi gubernur Jawa Tengah kiprahnya tak terlalu istimewa.
Sejumlah kontroversi membayangi, termasuk hubungan dengan sang wakil, yakni Heru Soedjatmoko, juga Sekretaris Daerah kala itu, Sri Puryono.
Persoalan-persoalan di atas berentetan dan puncaknya adalah Pilpres yang lalu. Kalah bahkan dengan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar adalah pil yang terlalu pahit.
Narasi apapun menjadi tidak relevan untuk menjadi ‘excuse’ pada masyarakat. Kecuali angkanya terpaut tidak terlalu jauh. Fakta lain yang perlu didalami partai banteng mencereng adalah terkait dengan Jokowi.
PDIP adalah simbolisme dari partainya 'wong cilik'. Dan perlu dipahami representasi wong cilik dalam artian sosiologis adalah ada pada sosok Jokowi.
Karenanya ketika Jokowi tidak menjadi bagian dari tubuh PDIP secara harfiah, itu akan membawa konsekuensi larinya wong cilik yang terlanjur jatuh hati pada Joko Widodo.
Matematika di atas berlaku juga pada Pilgub Jateng kali ini. PDIP seperti kehilangan percaya diri untuk menyorongkan kader terbaiknya. Sang komandante, yakni Bambang ‘Pacul’ Wuryanto sendiri bahkan tampak gamang.
Komandan Korea, sebutan untuk kader militan partai moncong putih kali ini cenderung bersikap ‘wait and see’.
Semestinya pamor Hendy sebagai kader terbaik tak setengah setengah digembleng menghadapi Pilgub.
Sikap partai kepada mantan Wali Kota Semarang terkesan juga tidak bulat. Fenomena itu membuat Ketua DPC PDIP Kota Semarang juga tak mantap, untuk tidak mengatakan tidak percaya diri.
Kecenderungan sikap PDIP yang abu-abu dimanfaatkan betul oleh partai lain, atau kandidat lain yang mengoptimalkan momentum yang ada. Kapolda Jateng, Irjen Pol Achmad Lutfi, SH, SIK, MH seperti mendapat berkah tersendiri.
Sejumlah pengamat dapat membuat simpulan awal, jika Pilgub digelar hari ini, Achmad Lutfi yang akan menjadi pemenang. Bahwa Pilgub baru akan dilaksanakan November mendatang, keuntungan Lutfi adalah telah memiliki investasi bekal yang sangat signifikan.
Lalu bagaimana dengan kans Sudaryono, Ketua DPD Gerindra Jawa Tengah. Putra Grobogan yang kini beralih profesi menjadi politisi, dan memilih pensiun dini dari TNI adalah kuda hitam. Lahir dari rahim partai penguasa besutan Prabowo, membuat Sudaryono memiliki obligasi kuat untuk melakukan penetrasi di lapangan.
Meski merupakan debutan baru, reputasi Sudaryono kini sudah dapat disejajarkan dengan Hendy dan Lutfi. Capaian itu sungguh luar biasa, dan dapat menjadi portofolio khusus ketika turun di palagan Pilgub mendatang.
Hendrar Prihadi sendiri secara survei masih menjadi jawara. Namun survei tidak berbanding lurus dengan elektabilitas. Mendalami anatomi tersebut, akankah peluang Hendy masih terjaga?
Apa yang harus dilakukan PDIP agar tak kembali menelan pil pahit. Sekadar berandai-andai membuat simulasi koalisi dengan memijakkan pada tren yang berkembang di lapangan, saat ini Lutfi tetap di atas angin.
Andai koalisi Indonesia maju pada Pilpres lalu dapat endorsement di Jawa Tengah, dan Jokowi dapat duduk bersama dengan Prabowo, maka siapa yang akan keluar menjadi pemenang dapat diraba.
Saat ini baik Lutfi dan Daryono memang masih sama-sama bergerilya sekaligus tes ombak di lapangan. Namun menilik chemistry dan rekam jejak yang dapat diidentifikasi, koalisi pendukung Prabowo-Gibran cenderung bersatu.
Artinya kecil kemungkinan Lutfi dan Daryono akan dijadikan gladiator untuk bertarung di medan laga. Menurut hemat saya ‘exit skenario’ yang cantik akan ditempuh untuk mengamankan keduanya.
Jokowi dan Prabowo pasti akan melakukan komunikasi strategis untuk agenda ke depan yang lebih elok. Melihat pertemalian keduanya hal itu sangat mungkin terjadi. Sekarang bagaimana dengan penguasa kandang banteng?
Mencermati kontestasi sejak Pilpres dan sikap yang dirumuskan PDIP pada Rakernas lalu, Jawa Tengah tetap menjadi teritorial penting.
Dengan begitu, partai moncong putih tidak akan melepas begitu saja peluang Jawa Tengah. Kalkulasi saya kalau PDIP maju sendiri, berat untuk dapat memenangi pertarungan.
Pilihannya bagaimanapun harus berkoalisi dengan partai lain. Kalkulasi di sini Hendy dan Gus Yusuf ideal untuk dikawinkan agar mempunyai kekuatan prima.
Apakah itu dapat disimpulkan Pilgub Jateng mendatang akan mengerucut pada perkawinan Lutfi dan Daryono menghadapi Hendy dan Gus Yusuf? Pertanyaan itu masih menjadi tanda tanya dan perlu perenungan khusus.
Perlu diketahui di luar tokoh-tokoh sentral di atas, kita tidak dapat menafikkan seorang Taj Yassin. Mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah ini melenggang menjadi senator ke Senayan dengan raihan suara spektakuler, yakni di atas 4 juta.
Nah, dengan capaian seperti itu posisi Taj Yassin mempunyai daya tarik kinclong. Apalagi sebagai putra KH Maimun Zubair, dia me-legacy-kan dukungan umat Islam, utamanya kaum nahdliyin.
Menghadapi realitas yang begitu luas muaranya, Pilgub Jateng akan menjadi sebuah perhelatan demokrasi yang menarik.
*Wartawan Senior; Ketua Bidang Pendidikan dan Litbang Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI)
© Copyright 2024, All Rights Reserved