Memilih menjadi pegiat gerakan sosial adalah jalan pedang yang dipilih dengan sadar oleh Heni Sri Sundani. Kemiskinan yang mendera sejak kecil membuat Heni tahu, bagaimana rasanya tak punya.
Heni berjuang mengatasi cibiran warga kampung dengan tetap bersekolah hingga SMA, padahal rumahnya sudah mau roboh dan dia adalah anak korban perceraian. Kelar SMA Heni memutuskan menjadi TKI ke Hongkong.
Namun di Hongkong, dia melanjutkan pendidikan hingga menjadi sarjana dengan predikat cum laude. Juga menjadi penulis yang produktif hingga menghasilkan beberapa buku. Salah satu bukunya, Surat Berdarah Untuk Presiden membuat Heni diundang ke Ubud Writers and Readers Festival di tahun 2011.
Setelah pulang ke Ciamis, lalu menikah dan tinggal di Bogor, semangat sosial Heni tak padam. Dia membangun perpustakaan dan mengajar anak-anak di kampung-kampung. Sejak mengajar berbekal Rp100.000 pada Tahun 2012, gerakan yang Anak Petani Cerdas yang digagas Heni dan suaminya makin tak terbendung.
Kini, gerakan tersebut bertransformasi menjadi EmpoweringID Foundation, sebuah yayasan yang concern pada pemberdayaan, bukan sekadar memberikan bantuan. Murid didiknya yang mendapat beasiswa semakin membesar, dari awal 15 orang, kini sudah mencapai 18.000 orang di seluruh Indonesia.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Heni Sri Sundani langsung di Cimande, Sukabumi, sebuah wilayah yang dia pilih untuk terus mengembangkan gerakannya. Berikut petikan lengkap wawancaranya:
Bagaimana awal mula gerakan ini bergulir?
Akhir tahun 2011 saya baru balik dari Hongkong. Tapi saya tak langsung ke kampung halaman, saya ke Bali karena menghadiri undangan dari Ubud Writers and Readers Festival sebagai Duta Sastra Buruh Migran. Ada buku saya yang berjudul “Surat Berdarah untuk Presiden,” dan buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Setelah dari Bali saya baru pulang ke rumah ibu di Ciamis. Dulu rumah saya di Ciamis reyot, sudah mau roboh.
Alhamdulillah selama di Hongkong saya bisa memperbaiki rumah secara bertahap. Dan ada satu kamar yang dijadikan perpustakaan untuk anak-anak di kampung. Waktu itu ada sekitar 3000 buku yang saya bawa dari Hongkong. Waktu itu di Hongkong saya juga bikin perpustakaan untuk para TKI. Saya juga bawa empat atau lima laptop karena sering juara lomba menulis dan hadiahnya laptop. Saya juga mulai sering diundang tv, radio atau lembaga lain.
Tahun 2011 saya pulang ke Indonesia, tahun 2012 saya menikah. Kebetulan suami juga kerja di NGO pendidikan. 2012 itu saya juga pindah ke Bogor. Alhamdulillah saya mendapat partner yang tepat. Ketika mimpi bersama bisa kita wujudkan. Karena banyak perempuan yang produktif, punya mimpi yang besar akhirnya mimpinya berhenti karena mereka menikah dan punya anak. Kami tak ingin mengikuti siklus itu. Kami ingin pernikahan ini justru membuat kita bertumbuh dengan passionnya. Dulu suami saya baru lulus S1 dan kerja di NGO, setelah itu dia jadi dosen, sudah S2 dan sekarang S3 di Universitas Indonesia.
Dulu saya juga pernah mengajar di sebuah sekolah, selama setahun. Dari situ saya jadi banyak belajar bagaimana mengelola sekolah. Waktu itu saya mengajar SMP-SMA. Nah karena gerakan Anak Petani Cerdas sudah semakin membesar, harus ada yang concern untuk menjaganya. Akhirnya karena suami waktu itu sudah mulai kuliah, akhirnya saya resign dan memutuskan untuk fokus di gerakan Anak Petani Cerdas itu.
Apa mimpi awalnya Gerakan Anak Petani Cerdas ini?
Awalnya gerakan Anak Petani Cerdas ini mimpinya sederhana saja, untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan. Karena saya sudah membuktikan itu. Hidup saya tidak ideal. Saya berasal dari keluarga petani yang sangat miskin, ibu dan bapak bercerai. Banyak anak broken home yang merasa hidupnya enggak berguna, enggak tahu mau ngapain, tapi Alhamdulillah saya bertemu jalan ini. Mungkin orang lain menjadi relawan untuk mengisi waktu luang. Mungkin sesekali atau nanti setelah pensiun. Tapi saya menjadi relawan karena ini adalah jalan hidup saya yang ingin saya penuhi, meskipun dulu orang-orang mencibir karena rumah saya sudah reyot, mau roboh, tapi saya malah memilih tetap sekolah. Karena zaman dulu kan enggak ada sekolah gratis. Kayak menambah kesusahan hidup. Lalu setelah jadi sarjana dari Hongkong malah mengajar gratis.
Lulus SMK langsung jadi TKI ke Hongkong. Di Hongkong saya sekalian kuliah S1. Saya memang bertekad, berangkat jadi TKI pulang jadi sarjana. Dan cita-cita saya sejak kecil memang menjadi guru. Di Ciamis tetap ada perpustakaan. Setelah menikah saya tinggal di Bogor, kita mengajar di rumah kontrakan kita dulu. Waktu itu kami tak punya uang, hanya punya 100.000. Enggak terbeli papan tulis. Akhirnya kami pakai kardus bekas buat mengajar. Uangnya kami belikan buku, pensil, spidol dan keperluan belajar lainnya. Sisanya kami belikan biskuit dan susu untuk dibagikan ke 15 anak yang menjadi murid kami. Dari 15 anak, pekan berikut bertambah jadi 50, setiap pekan bertambah, karena anak-anak ini mengajak teman-temannya.
Akhirnya rumah kami enggak muat. Akhirnya kami mendatangi rumah bibi yang bantu di rumah. Kami kaget melihat kondisi di kampung bibi. Banyak anak putus sekolah, rumah reyot dan dihuni banyak orang, sedih lihatnya. Akhirnya kami datangi musala dan sowan ke ustad untuk memberikan les gratis, alhamdulillah diizinkan. Murid kami sampai 120 saat itu.
Lalu apa yang kami lakukan terus berkembang dan menjadi perhatian. Karena saya suka menulis, maka saya menulis tentang kegiatan kami ini di beberapa media. Salah satunya Kompasiana. Dan itu menarik perhatian banyak orang sehingga banyak yang mau membantu. Mereka tanya, mbak ini nama gerakannya apa? Karena memang tidak punya nama dan yang kami bantu kebanyakan anak petani, akhirnya kami sebut gerakan ini Anak Petani Cerdas. Lalu dari awalnya hanya satu kampung, berkembang jadi dua kampung, dan seterusnya. Dan yang awalnya hanya 15 anak, sekarang sudah 18.000 anak yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Jadi penerima manfaat kami tersebar di Pulau Jawa, Lombok, Sumbawa dan wilayah lain.
Jadi di berbagai wilayah itu ada relawan?
Iya. Ada relawan. Jadi program kami itu bukan sekadar memberi sekolah gratis. Tapi ada juga beasiswa pendidikan, beasiswa Anak Petani Cerdas, beasiswa untuk anak petani sampai mereka jadi sarjana. Jadi ada beasiswa dari level SD, SMP, SMA, sampai universitas. Nah anak-anak penerima beasiswa di level universitas ini, mereka jadi relawan lokal yang mengajar di wilayah tersebut. Mereka juga jadi relawan kita yang bantu distribusikan program-program sosial kita.
Kami juga bantu misalnya ada wilayah yang ada relawan kita melaporkan mereka kesulitan air bersih. Biasanya kita minta mereka melakukan asesmen dulu, budgetnya berapa, dan apa yang akan mereka lakukan. Kalau sudah fix, mereka ajukan ke kita, lalu kita carikan donatur, setelah dapat donatur langsung kita salurkan. Kita juga punya program WASH, Water and Sanitation Hygene. Itu fokus kita di sekolah, pesantren, public area. Sampai sekarang kita sudah membangun di 230 titik.
Bagaimana awal jejaringnya meluas?
Awalnya dari penerima beasiswa ini. Mereka berasal dari beragam wilayah. Ada yang asal Jambi, Lahat, Sumbawa, Lombok, dan beragam wilayah.
Jadi penerima beasiswa ini tidak pergi dari wilayahnya?
Iya. Tapi ada pilihan. Misalnya mereka asal Lombok, tapi ingin kuliah di Bogor. Itu boleh, tapi setelah lulus, mereka pulang ke kampung. Gerakan ini punya tagar sendiri, yaitu #Sarjanapulangkampung dan #BangunIndonesiadarikampung. Jadi mereka selama kuliah sudah diasah kemampuannya untuk mendesain program seperti apa, melakukan asesmen seperti apa, lalu dokumentasi yang kita butuhkan seperti apa untuk donatur, alur pengajuan bagaimana, dan ketika mereka bikin program, mereka juga belajar melakukan pendataan jika ingin mengajukan dana. Misalnya, di kampung banyak orang sakit dan mereka mau bikin pengobatan gratis, mereka harus bisa menghitung berapa budget yang dibutuhkan per kepala, juga melakukan kerja sama dengan dokter dan Puskesmas di wilayah mereka. Yang kita berikan adalah dana yang dibutuhkan untuk pengobatan, di luar itu mereka belajar mencari dana sendiri, termasuk mengajak warga untuk bekerja sama.
Begitu juga dengan pengajuan untuk membuat toilet umum. Kita hanya memberi dana untuk pembelian material saja. Misalnya seharga 15 juta. Itu saja yang kita kasih. Sisanya untuk membayar tukang, makan, minum selama mereka gotong royong, itu mereka harus usahakan mencari sendiri. Ini kami lakukan supaya kita tidak mencabut kemampuan mereka untuk berdaya. Karena kita belajar dari lembaga-lembaga lain. Kami pernah berkunjung ke sebuah wilayah di Bogor. Di sana ada MCK umum yang bagus. Tapi itu rusak dan oleh warga dibiarkan terbengkalai. Karena sejak awal warga tidak diajak terlibat sehingga mereka tidak merasa memiliki.
Pola kami tidak seperti itu. Karena di kami, kalau kita dapat donatur 15 juta, maka jumlah itu langsung disalurkan tanpa potongan, meski Yayasan kita dikelola secara sukarela. Ke warga kami juga sampaikan hal tersebut, bahwa ini harus dikerjakan secara gotong royong. Jadi mereka saling memberi makanan dan minuman. Sehingga semua orang merasa memiliki. Bahkan sebelum disetujui, kami biasanya juga menanyakan, siapa nanti yang akan bertanggungjawab dan mengelolanya. Bahkan kami menanyakan detil, seperti listriknya dari mana, nanti kalau ada keran yang bocor siapa yang akan mengganti, dan seterusnya. Akhirnya warga bikin kesepakatan.
Pemberdayaan ini menjadi fokus gerakan ini?
Iya. Jadi Yayasan kami itu namanya EmpowerID, tagar yang kami buat adalah #Empowering Community, Ending Poverty. Empowering Community ini kan menumbuhkan pemberdayaan di masyarakat. Kalau saya baca buku dan literatur, Indonesia merdeka karena pahlawan lokal juga muncul. Enggak ada ceritanya dari pusat mengirimkan bantuan, enggak ada cerita itu. Tapi semakin ke sini, warga semakin terbiasa menerima gratis. BLT gratis, apa-apa gratis. Jadi daya juang mereka malah semakin melemah. Jadi kami miris dengan kondisi warga yang secara sistematis dibikin seperti itu. Bahkan anak-anak sudah sekolah gratis masih ada permintaan ini itu. Jadi sekolah di kami juga tidak benar-benar gratis, misalnya mereka setiap hari membayar Rp2.000 tapi mereka akan dapat makan siang. Nah makan siang ini kita tidak punya juru masak, jadi orang tua akan bergantian piket untuk masak. Tujuannya, selain orang tua terlibat langsung dalam pendidikan anak, mereka juga kita ajarkan masak makanan sehat.
Bagaimana proses awalnya sampai akhirnya bisa mendatangkan donatur?
Prosesnya juga sangat bertahap. Mungkin orang sekarang melihatnya serba mudah, padahal kami sudah melalui proses yang sulit dan panjang. Saya upload kegiatan sosial di Facebook, dan saya cerita belum punya papan tulis sehingga pakai kardus bekas. Lalu ada yang respon, mau kirim papan tulis, mau donasi, dan seterusnya.
Proses awalnya seperti itu. Jadi kita konsisten untuk menceritakan yang kita lakukan melalui media sosial. Kami menghindari meminta donasi terus karena nanti orang akan bosan. Jadi kami pilih bercerita melalui media sosial. Dan alhamdulillah, sampai sekarang kami selalu punya donatur dan semakin bertambah. Apalagi yang kami kerjakan juga tidak monoton dan tersebar di berbagai wilayah.
500 relawan lokal yang tersebar di berbagai daerah, rata-rata mereka adalah anak-anak penerima beasiswa kami. Tapi ada juga yang bukan, dan murni relawan. Relawan ini terbentuk dari interaksi. Misalnya yang di Jawa Tengah, itu rata-rata adalah teman saya sewaktu jadi TKI di Hongkong. Sama seperti saya, mereka menjadikan rumahnya sebagai base camp dan mengajar anak-anak di sekitar rumahnya.
Jadi tugas terberat saya sebagai orang yang memimpin gerakan sosial adalah memastikan bahwa apa yang saya mulai ada yang melanjutkan. Kalau saya sendirian mungkin hanya bisa membantu maksimal 100 orang. Tapi kalau ada 100 orang di daerah yang mengambil posisi saya dan kita tumbuhkan misi dan semangatnya, juga visinya, maka mereka juga ikut bertumbuh. Mereka juga tak harus mengikuti nama Anak Petani Cerdas, mereka boleh memberi nama sendiri untuk gerakannya. Yang penting saling terhubung dan saling support. Membuat gerakan sosial itu memang enggak bisa sendirian.
Jadi relawan-relawan di daerah ini mendapatkan pendampingan dan edukasi juga?
Iya. Kebanyakan di daerah gerakan sosial tak bisa berkembang karena tak punya uang. Nah kita bantu mereka untuk fund raisingnya. Kita juga bantu mereka supaya bisa terus tumbuh dan bisa menjangkau lebih banyak penerima manfaat. Kita dampingi dan kita latih supaya komunitas mereka terus bertumbuh. Komunitas yang awalnya kecil, kita ajak supaya bisa tumbuh dan membesar.
Kita berikan mereka pelatihan digital fund raising. Bagaimana memanfaatkan platform digital crowd funding, misalnya memanfaatkan kitabisa.com dan lain sebagainya. Kita ajarkan bagaimana mereka menjaga donatur. Prinsip kami, donatur itu bukan sekadar raising fund. Tapi kami juga terapkan raising friend. Jadi bagaimana supaya donatur ini loyal. Karena jika mereka hanya memberi sekali, kita akan capek.
Karena setiap ada kegiatan kita akan mencari donatur baru dan seterusnya. Tapi kalau kita ajak mereka untuk menjadi teman, kita bangun ekosistemnya, maka donatur yang sudah ada sejak awal masih akan setia berdonasi ke kita. Jadi kita jaga dan pelihara hubungan dengan donatur.
Ini juga alasan kami tidak menjual nama yayasan, kita pakai namanya EmpowerId Foundation. Karena kalau pakai yayasan kesannya hanya mencari uang. Jadi branding kami bukan yayasan, tapi gerakan sosialnya. Karena brandingnya adalah gerakan sosial, jadi donatur terbentuk dengan sendirinya. Saya juga sering diundang mengisi seminar ke koorporat, BUMN, dari situ juga donatur terbentuk. Banyak perusahaan yang ikut menyumbangkan CSR-nya, bahkan banyak juga yang perorangan.
Alhamdulillah sejak 2011 sampai sekarang, saya sudah mengisi 500 seminar, workshop, dan lain lain. Jadi donatur kami itu 95% adalah perorangan, sisanya adalah koorporate.
Termasuk donatur yang dari luar negeri?
Iya. Semuanya adalah perorangan. Kita enggak mengarah ke lembaga karena enggak ada yang mengurus CSR-nya. Jadi kami tidak pernah bikin proposal. Kalaupun ada CSR perusahaan, itu karena mereka yang menawarkan. Jadi bukan kami yang mengajukan. Termasuk yang dari Cargil. Itu adalah program kendang komunal. Kita bantu membesarkan kambing, domba. Dari lima ekor, kita pernah jual sampai 1000 ekor. Itu sebelum covid. Jadi kami punya titik titik yang menjadi kendang komunal kami dan itu tersebar di berbagai wilayah.
Apa saja sekarang programnya?
Kami punya dua program utama dan program pendukung. Program utama adalah pendidikan dan pemberdayaan. Sesuai dengan misi kami, empowering community. Ending povertinya lewat pendidikan.
Sejauh ini apa yang membuat mampu Anda bertahan?
Sebenarnya berat sih. Kalau melihat orang lain punya karier dan penghasilan cukup. Tapi yang membuat saya bertahan justru adalah anak-anak itu. Waktu kami mengajar di dua kampung, kami melakukan dari pagi. Pagi di kampung pertama, siang pulang istirahat. Habis zuhur mengajar lagi di kampung kedua. Bogor sering hujan, kami naik motor ke kampung udah menghabiskan energi. Pengennya sampai rumah bisa istirahat, tidur, berasa capek. Tapi akhirnya kami tetap ganti baju, lalu berangkat lagi, dan ketika kita datang mereka masih jauh sudah menyambut dan berteriak-teriak. Itu jadi energi baru buat kami.
Jadi saya menyadari, ketika saya capek dan enggak bisa mendapatkan energi dari dalam diri saya, tapi saya bisa mendapatkan energi dari mereka. Dari anak-anak dan orang-orang yang kita bantu. Ada perasaan bahwa, oh ternyata saya berguna. Perasaan berguna dan dibutuhkan itu membuat kita jadi sadar bahwa kebutuhan sebagai manusia itu bukan hanya butuh makan dan minum, tapi kita juga butuh perasaan bahwa kita ditunggu dan bermanfaat buat orang lain.
Support dari para donatur ini juga yang membuat kami bertahan. Mungkin awalnya kami mampu membantu 10 atau 20 anak, tapi ketika semakin membesar, kami tak bisa lagi mensupport penuh. Lalu ada donatur-donatur yang menitipkan rezekinya ke kami, yang awalnya tidak kami kenal, tapi akhirnya menjadi donatur kami.
Bahkan ketika saya beberapa kali ke luar negeri, mereka menemui kami dan ternyata mereka punya jabatan tinggi. Hal-hal seperti itu yang bikin saya bertahan dan tumbuh. Jadi yang awalnya mereka adalah donatur, tapi akhirnya menjadi teman, meski secara status sosial mungkin level kami jauh. Jadi sekarang ini donatur kami sudah tersebar di lima benua.
Semua orang Indonesia atau bagaimana?
Sekitar 80% adalah orang Indonesia. Diaspora di luar negeri. Kalau yang di Timur Tengah kebanyakan mereka yang kerja di diplomat atau di oil. Kalau di Jepang, Hongkong, Singapura, Malaysia, itu rata-rata pekerja migran di berbagai sektor, atau yang sedang kuliah di luar negeri. Kalau di Amerika dan Swedia itu beda lagi. Jadi tipikal donatur kami di tiap negara itu memang berbeda-beda.
Mimpi Anda ke depan?
Saya ingin membantu lebih banyak lagi. Karena kalau kita lihat riset dan data, masih banyak jutaan anak Indonesia yang putus sekolah. Dari SD ke SMP, dari SMP ke SMA, dan dari SMA ke perguruan tinggi. Masih jutaan anak yang putus pendidikan.
Sekarang banyak pendidikan gratis. Tapi jumlah yang putus sekolah masih tinggi. Menurut Anda ini memang problem mereka tak punya biaya, atau memang mereka sudah tak ingin sekolah?
Ada dua-duanya. Saya bertemu dengan dua kelompok ini. Makanya kami hanya membantu anak yang mau membantu dirinya sendiri. Jadi beasiswa Anak Petani Cerdas ini kami lakukan seleksi. Seleksinya itu bukan hanya nilai, benar seleksi nilai itu penting, terutama di perguruan tinggi, kami seleksai IPK juga. Tapi bukan hanya itu. Kami juga melakukan seleksi untuk melihat ketangguhannya. Biasanya kami juga hanya bantu UKT saja, supaya mereka tetap berjuang untuk bisa membiayai sisanya. Mereka harus mencari sisanya untuk bisa kuliah, untuk ongkos perjalanan mereka, dan seterusnya. Jadi mereka melakukan apa saja untuk tetap bisa kuliah. Ada yang jualan gorengan, jual pulsa, ngasih les, mengajar silat, juga mengajar di pesantren dan seterusnya.
Jadi memang concernnya adalah bagaimana mereka tetap berdaya ya?
Betul. Kita tidak boleh mengambil semua kesulitan hidup mereka. Karena secara real life, enggak ada orang yang akan bantu kita dan mengambil kesulitan hidup kita secara 100%. Enggak bisa kamu terjerat utang 100 juta, ada orang pinjami kamu Rp100 juta dan kamu enggak tahu bagaimana cara mengembalikannya. Banyak masyarakat yang sekarang tipikalnya seperti itu. Apa-apa gratis, dikasih. Daya juangnya jadi tidak ada.
Jadi yang kami asah di Anak Petani Cerdas ini adalah daya juang mereka. Saya selalu cerita ke anak-anak relawan ini, dulu saya biayai sendiri UKT saya. Enggak ada yang bayarin. Saya kasih tahu mereka, sekarang kalian punya mentor, ada yang bantu, kalian punya ‘ibu.’ Dan dulu saya tidak punya itu semua. Saya berjuang sendirian.
Kami juga membangun ekosistem dengan tidak memaksakan anak melakukan hal yang tidak mereka suka. Misalnya mereka anak petani, tapi ingin jadi guru, ya kami support untuk jadi guru. Karena untuk memajukan satu desa di kampung, kita tidak hanya butuh petani. Kita butuh orang yang jago e-commerce, kita butuh orang yang jago digital marketing, kita butuh orang punya kemampuan komunikasi yang baik, pembuat keuangan yang baik dan seterusnya. Jadi kami enggak memaksakan mereka harus jadi petani.
Kami tekankan pada mereka, jadikan cita-citamu sebagai jalan bagi orang lain untuk meraih cita-citanya. Jadi apapun profesi kamu, tetaplah berkontribusi. Misalnya untuk yang jadi bidan, mereka bisa membantu orang melahirkan, bisa mengedukasi soal kesehatan, soal usia nikah, dan seterusnya.
Sebab jadi orang baik saja tidak cukup. Kita harus jadi orang baik, yang berbuat baik, dan mengajak pada kebaikan. Maka fokus kami adalah mengedukasi donatur untuk mengajak pada kebaikan, karena pada dasarnya mereka adalah orang-orang baik yang sudah berbuat baik. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved