Jika melihat hasil paripurna DPRD Garut terhadap kasus pernikahan Aceng Fikri yang kemudian dikirimkan ke mahkamah Agung RI, dengan surat pengantar tertanggal 26 Desember 2012 perihal Penyampaian Keputusan Paripurna DPRD Kabupaten Garut nomor 30/2012 yakni tentang Pendapat Paripurna DPRD Kabupaten Garut, ternyata tidak memutuskan pemberhentian Aceng Fikri sebagai Bupati Garut, melainkan hanya penyampaian pendapat DPRD Kabupaten Garut yang selengkapnya sebagai berikut:
Kesatu:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut berpendapat H. Aceng H. M. Fikri, S. Ag. diduga melakukan pelanggaran terhadap etika dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 (jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 41 huruf b), Pasal 39 ayat (1) serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 27 ayat (1) huruf e, Pasal 27 ayat (1) huruf f, dan Pasal 110 ayat (2);
Kedua:
Atas dugaan pelanggaran yang dilakukan sebagaimana disebutkan dalam diktum pertama , Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut mengusulkan H. Aceng H. M. Fikri, S. Ag. Sebagai Bupati Garut diberikan sanksi sesuai yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah;
Ketiga:
Menyampaikan pendapat dan usulan sebagaimana tercantum dalam diktum pertama dan kedua Kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memiliki kewajiban memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRD tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku;
Keempat:
Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Dimulai sejak dilayangkannya surat permintaan pendapat DPRD Kabupaten Garut kepada MA itulah, ternyata membuat polemik baik pro maupun yang kontra tentang pelanggaran apa yang terjadi bagi Aceng Fikri sebagai Bupati Garut.
Aceng Fikri mengaku masih bingung dengan kesalahan yang dibuatnya, sehingga MA menyetujui pemberhentian alias pemakzulan dirinya selaku Bupati Garut. Bagi Aceng, pernikahan dirinya dengan Fany Oktora, 18, dilakukan atas nama pribadi, dan terpisah dari jabatannya sebagai bupati. “Tentu saja terkait jabatan saya tidak bisa nikah, tapi yang nikah itu Aceng Fikri," kata Aceng dalam wawancara di stasiun televisi, Sabtu (26/01).
Menurutnya, apa yang ia lakukan adalah dalam konteks dirinya selaku warga negara biasa, sebagaimana hak pribadi warga negara lainnya. Namun, yang ada selama ini, pernikahan dirinya dikaitkan dengan jabatannya sebagai bupati.
Banyak media mengkritisi pernikahan Aceng ini, termasuk berbagai komentar dan opini dari berbagai kalangan, baik politisi lokal, ketua DPR, Mendagri, mantan Ketua MPR, gubernur Jawa Barat, dan masyarakat umum menyampaikan tanggapan miring terhadap pernikahan singkat Aceng Fikri ini. Walaupun berbagai pendapat yang disampaikan itu terasa hanya sebuah ungkapan emosional tanpa melihat secara jernih akar persoalan yang sebenarnya yang menerpa Aceng Fikri.
Ketika berbicara seorang Aceng Fikri yang menikahi Fanni Oktora, memang seyogyanya perlu dilihat sebagai pribadi yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan seorang warga negara Indonesia lainnya dalam menikahi seorang perempuan manapun sesuai hukum agama yang diyakininya, yang tentu dalam hal ini diakomodir dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dan yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat perkawinan yang sah secara undang-undang yang berlaku, yakni berdasarkan agama Islam. Antara lain mencatatkan pernikahannya pada lembaga resmi keagamaan, adanya dua orang saksi, adanya persetujuan orang-tua mempelai perempuan, dan melaksanakan rukun pernikahan lainnya yang diatur oleh agama yang diyakininya.
Sementara itu, ketika kita berbicara tentang Aceng Fikri sebagai Bupati Garut, maka konstitusi yang menjadi rujukan yakni undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang mengatur segala sesuatu tentang tata pemerintahan daerah, termasuk di dalamnya tatacara, penyebab, dan keharusan diberhentikannya seorang bupati.
Menariknya kasus Bupati Garut ini bisa dieksplorasi berdasarkan undang-undang dalam perspektif yang berbeda. Berikut sebagaimana disampaikan Sekjen DPD, Dr Ir Siti Nurbaya Bakar, M.Sc yang juga pernah menduduki Sekjen Depdagri, memberikan pendapat agak berbeda dengan para politisi dan tokoh masyarakat lainnya. Pendapat yang ditulisnya pada salah satu media nasional yang dimuat 7 Desember lalu, sebagaimana dikemukakan di bawah ini.
“Dalam Pasal 28 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah dilarang untuk mengambil keputusan yang bisa meresahkan masyarakat. Dalam Pasal 58 pada undang-undang yang sama juga disebutkan, kepala daerah tidak boleh melakukan perbuatan tercela”, paparnya dalam tulisan tersebut.
Selanjutnya Siti Nurbaya menjelaskan dengan konsisten bahwa pada pasal 110 yang mengatur tentang sumpah dan janji jabatan kepala daerah tidak menyebutkan kesalahan seorang bupati karena disebabkan kesalahan secara etika.
“Kemudian pada pasal 110 yang mengatur tentang sumpah dan janji jabatan kepala daerah, antara lain, mengingatkan kepala daerah untuk melaksanakan undang-undang dengan selurus-lurusnya dan wajib mengabdi kepada masyarakat. Tak ada dalam undang-undang itu yang menyebut kata etika. Tetapi, bisa kita lihat semuanya sebenarnya bermuatan etika”, lanjut Siti Nurbaya.
Dalam uraiannya, iapun menegaskan bahwa tentang Pasal 29 dalam UU No 32 Tahun 2004, yang mengatur proses pemberhentian kepala daerah, harus memiliki alasan pelanggaran pidana. Karena terjadinya pelanggaran pidana inilah kemudian DPRD mengusulkan pemberhentian kepala daerah setempat.
“Tentang Pasal 29 dalam UU No 32 Tahun 2004, yang mengatur proses pemberhentian kepala daerah, seperti terhadap Bupati Garut. Secara ringkas, isinya menyebutkan DPRD (dalam hal ini DPRD Kabupaten Garut) harus mengusulkan pemberhentian kepala daerah (Bupati Garut) ke Mahkamah Agung dengan alasan ada pelanggaran pidana”, tulis Siti Nurbaya.
Berdasarkan usulan DPRD itulah, baru kemudian MA akan menjawab paling lambat 30 hari ke DPRD dan DPRD mengirimkan usul pemberhentian berdasarkan putusan MA kepada presiden dan presiden harus memutuskan paling lambat 30 hari untuk memberhentikannya.
Dijelaskannya bahwa paralel dengan itu pula, diatur juga dalam Pasal 32 bahwa dalam kondisi krisis kepercayaan yang meluas, DPRD bisa mengusulkan agar kepala daerah dinonaktifkan, dengan menyatakan bahwa ada pelanggaran pidana dan diusulkan untuk pemberhentian sementara yang disampaikan kepada presiden. Presiden kemudian bisa menonaktifkan kepala daerah atau memberhentikan sementara sambil menunggu hasil kerja dari MA.
Dalam kasus pernikahan Aceng Fikri, apabila kita pelajari kembali pendapat yang diputuskan dalam paripurna DPRD Kabupaten Garut, sangat jelas bahwa substansi hasil paripurna DPRD Kabupaten Garut itu tidak secara tegas menyatakan adanya tindakan Aceng Fikri sebagai Bupati Garut melanggar hukum pidana.
Sebetulnya sejak pembentukan Pansus DPRD yang secara paralel baik substansi maupun mekanisme yang ditempuh itu harus mengacu Pasal 29 dan Pasal 32 UU Pemda. Apalagi berbagai elemen masyarakat seperti juga pernyataan DPRD, bahwa proses itu atas pertimbangan negara kita sebagai negara hukum dan sekaligus menjunjung tinggi HAM. Dengan demikian, masyarakat Indonesia dan dunia bisa memahami substansi daripada persoalan sesungguhnya. Dan menempatkannya dalam konstitusi sebagaimana kita junjung tinggi. Agar kemudian dasar dan pijakan hukum serta mekanisme kerja yang sistematis tersebut mampu menjawab akar persoalan secara adil dan bertanggungjawab.
Disamping apa yang dijelaskan Siti Nurbaya di atas, perlu juga diketahui apakah prosedur dan administrasi ketatanegaraan telah ditempuh oleh DPRD Kabupaten Garut sesuai dengan undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 394 tentang hak DPRD Kota/Kabupaten yang menetapkan sebagai berikut:
- ayat (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat;
- ayat (2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
- ayat (3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- ayat (4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Berdasarkan hak DPRD Kabupaten Garut itu, jelas hanya berhak untuk melakukan
a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat apabila ditemukan suatu kebijakan seorang Bupati atas pelanggaran pidana sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah.
Sementara itu Aceng Fikri yang menikahi seorang perempuan, bertindak dan berkapasitas sebagai seorang pribadi warga negara dan seorang pemeluk agama Islam. Artinya yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat pernikahan yang berlaku dalam hukum Islam, bukan hukum positif. Karena hukum positif belum mampu menjangkau hukum Islam yang diyakininya. Aceng Fikri telah melakukan kewajiban seorang pribadi warganegara Indonesia lainnya, menikah dan menceraikan istrinya sesuai dengan aturan dan syarat-syarat agama yang diyakininya itu. Sekalipun dilakukannya dalam kurun kurang satu bulan.
Prahara muncul kemudian, ketika pernikahannya itu ditangkap dan digulirkan sebagai isu politik menjelang pilkada Garut yang akan dimulai pada April 2013. Maka keputusan dan hak pribadi seorang Aceng Fikri bisa jadi menarik sebagai isu untuk dipolitisasi menjadi isu politik lokal dan bahkan menjadi isu politik nasional. Pernikahannya, menjadikan DPRD Kabupaten Garut menginisiasi Pansus Nikah Siri (apakah nikah siri sudah masuk perundang-undangan kita?), lalu dimusyawarahkan secara paripurna oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Garut, disusul dengan diajukan hasilnya ke Mahkamah Agung. Dengan demikian muncul pertanyaan, adakah pelanggaran pidana yang dilakukan Aceng Fikri yang mendasari MA melakukan pemeriksaan, persidangan, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRD Kabupaten Garut dalam kasus ini?
Apakah prahara pribadi Aceng Fikri, telah memenuhi syarat substansi dan mekanisme pengambilan keputusan yang dilakukan DPRD Kabupaten Garut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran dalam konstitusi sistem politik, hak asasi manusia, dan ketatanegaraan kita secara utuh? Lalu apakah kekeliruan beretika dapat dihukum dengan sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan sistem politik kita? Siapakah yang berhak menghukum apabila terjadinya kesalahan dalam hal beretika?
© Copyright 2024, All Rights Reserved