Di tahun Kuda ini tampaknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menuai banyak masukan dan keluhan. Mulai dari usul perpanjangan PKPS hingga keluhan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti tentang kekalahan BPPN di pengadilan.
Sebenarnya, bila ingin menengok dan mempelajari lebih dalam soal kekalahan BPPN melawan para debitor, Dorodjatun tak perlu mengeluhkan kekalahan yang ada. Begitu juga tentang tertundanya beberapa kasus di pengadilan.
Pertama-tama yang perlu dilakukan Djatun, begitu panggilan akrab mantan Duber RI di Amerika Serikat ini ( jika boleh mengusulkan ), debitor mana saja yang digugat BPPN. Lantas, lihat siapa pengacara yang digunakan BPPN. Dan yang lebih penting lagi, siapa orang BPPN yang menjadi komisaris, direksi perusahaan para debitor tersebut.
Bila ini semua dilihat secara rinci, akan jelas sekali kongkalikong yang terjadi disini. Kenapa bisa terlihat jelas? Ya itu tadi, penyakit conflict of interest kan begitu subur di BPPN. Tentu bisa kita bayangkan, bila terjadi penundaan perkara saja, berapa besar dana yang bisa diserap oleh pengacara BPPN? Lantas, berapa besar gaji yang diterima para komisaris, direksi yang ditugaskan BPPN disana? Hitung saja.
Itu baru dari sisi cost perusahaan debitor yang disedot secara langsung. Disisi lain, bagaimana mungkin BPPN akan menggugat debitor dengan benar dan baik, bila ada oknum BPPN yang memang menjadi komisari, direksi di perusahaan tersebut. Jelas sekali bahwa strategi pengacara BPPN untuk menjerat para debitor akan mendapat perlawanan yang jitu dari para pengacara debitor.
Oleh karena itu, yang lebih penting bagi Menko Perekonomian adalah membenahi orang-orang yang ada di BPPN. Tutup lobang KKN. Tutup calo-calo di BPPN. Dan tegakkan hukum serta aturan yang ada dengan benar. Sebab, tak mungkin BPPN bisa kalah karena para debitor itu jelas-jelas salah, baik secara hukum ataupun secara ekonomi. Jika mereka (debitor) itu tidak salah, tentu mereka tidak dimasukkan di BPPN. Bagaimana Pak Djatun?
© Copyright 2024, All Rights Reserved