Pelayanan kesehatan untuk penyakit dalam terutama di daerah pelosok Indonesia hingga saat ini masih mengalami masalah. Kendala utama, bukan soal ketiadaan dokter penyakit dalam. Tapi, masalah ketersediaan obat-abatan dan fasilitas kesehatan.
Saat ini, setidaknya ada 3.600 dokter spesialis penyakit dalam (internis) di seluruh Indonesia. Bahkan, 3.486 dokter diantaranya sudah menjadi anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) yang memiliki 36 cabang di seluruh Indonesia.
Para dokter tersebut juga sudah dibekali kompetensi dan pengetahuan terkini melalui Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN), seperti yang diselenggarakan pada Jumat (28/10) hingga Minggu (30/10) di Jakarta.
Ketua PAPDI Jakarta Raya, Ari Fahrial Syam mengatakan kendala yang sering dihadapi para dokter spesialis penyakit dalam di daerah pelosok Indonesia adalah terkait dengan obat-obatan dan fasilitas kesehatan. Selain itu, peralatan guna mendukung pengobatan juga sering kali tak tersedia di lapangan. Hal ini tentunya menghambat kerja para dokter spesialis penyakit dalam saat mengobati pasiennya.
"Karena secara teori penyakit suatu penyakit tertentu bisa diatasi, tapi obat-obatan yang mendukung itu tidak tersedia di lapangan," katanya kepada politikindonesia.com.
Menurutnya, sebagai dokter penyakit dalam dengan melakukan anannesia dan diagnosis awal, mungkin sudah dapat mengetahui penyakit yang diderita. Namun, pada kenyataannya dokter spesialis penyakit dalam juga membutuhkan alat yang mendukung, seperti tersedianya USG yang bisa digunakan untuk abdomen, liver, ginjal dan pemeriksaan otot.
"Oleh sebab itu, kami di PAPDl selalu berusaha memberikan kesempatan kepada para spesialis muda untuk mengetahui dan mempelajari perkembangan terkini tentang suatu penyakit dalam. Walaupun selalu ada kendala di lapangan, tapi ilmu harus tetap diberikan kepada para dokter," ujarnya.
Diakui, walaupun jumlah dokter spesialis penyakit dalam di Indonesia sudah banyak, namun tetap saja untuk wilayah pelosok masih kurang. Ada pun kendala yang membuat para dokter internis enggan berdinas atau praktek di pelosok. Bukan karena tingkat kesejahteraan dokter di pelosok yang sangat minim. Tapi disebabkan karena ketidak mampuan pemerintah dalam distribusi tenaga dokter.
"Itulah kegagalan pemerintah dalam melakukan distribusi. Sudah jadi kewajiban pemerintah untuk tidak menganggap dokter internis sebagai tenaga murah. Karena resiko pekerjaan di daerah lebih berat dibanding di perkotaan. Mereka pun dianggap dari awal sudah siap tempur. Belum lagi mereka memikirkan nafkah untuk keluarga, sekolah anak, dan kebutuhan lainnya," paparnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved