Banyak pihak yang merasa ekonomi Indonesia sudah setara dengan banyak negara kawasan seperti Tiongkok, India, Rusia, Brasil, Turki, dan Afrika Selatan, yang masuk kategori liga primer. Padahal bila dikaji lebih dalam, stamina Indonesia tak cukup kuat untuk bermain di level tersebut. Indonesia baru cocok bermain di liga keluarahan.
Pendapat itu disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam dialog dengan kalangan perbankan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (08/11) malam.
"Kalau anda pasti merasa kita masuk dalam liga primer kan? Tapi ternyata dari staminanya kita sebetulnya liga kelurahan. Nggak cocok. Jadi larinya baru seperempat jam sudah ngos-ngosan dan nggak bisa mengejar bola," ujar mantan Direktur Bank Dunia itu.
Saat ini, Indonesia berada di posisi 16 dalam jajaran 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Besar kemungkinkan Indonesia masuk ke dalam 10 besar untuk 10 tahun yang akan datang, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi stabil di di atas level 5 persen. "Saya hampir yakin, karena negara ini dari segi populasi besar dan tumbuh sehat," terang Sri.
Hanya saja, besarnya ekonomi Indonesia, tidak diimbangi dengan kemampuan untuk memungut pajak. Sehingga Indonesia yang seharusnya dianggap bisa bertarung di liga primer, justru hanya mampu berada di liga paling bawah.
Dari kemampuan memungut pajak, level Indonesia baru setara dengan negara-negara kecil.
"Tingkat negara yang punya tax ratio 11-12 persen itu pendapatan per kapitanya US$1.000-1.200, yaitu negara-negara di Afrika banyak atau Myanmar atau Laos. Tapi sebenarnya bukan emerging country yang kita sering merasa liganya ada di sana," ungkapnya.
Maka dari itu diperlukan upaya menggenjot penerimaan pajak. Langkahnya sudah dimulai dengan pengampunan pajak atau tax amnesty. Di mana wajib pajak baru muncul sebagai landasan untuk pemungutan pajak ke depannya.
"Nah ini yang menggambarkan sesuatu adanya miss match. Kita ingin melakukan perluasan tax base karena potensi penerimaan ada di situ," tegas Sri.
Sri menyebut, banyak negara dalam kondisi sekarang berupaya memungut pajak yang lebih besar. Bahkan, Menteri Keuangan di dunia harus beradu nyali menarik pajak perusahaan-perusahaan besar.
Dikatakan Menkeu, selepas krisis pasar keuangan yang terjadi pada 2008, banyak negara maju mencari cara kembali menggenjot perekonomian. Berbagai stimulus diluncurkan, baik dari sisi fiskal maupun moneter. Langkah tersebut terutama dilakukan negara yang memiliki rasio utang sangat tinggi.
Salah satu cara yang ditempuh adalah mengurangi defisit anggaran dengan menggenjot penerimaan pajak yang lebih besar.
"APBN mereka semua berdarah-darah. Dan mereka tahu bahwa nggak mungkin dengan situasi fiscal deficit (anggaran defisit) dengan debt to GDP ratio (rasio utang terhadap PDB) yang begitu besar terus menerus. Makanya semua berlomba-lomba cari pajak," ujar Sri.
Ia kemudian mencontohkan kasus yang terjadi di Uni Eropa, yang tengah mereformasi pajak penghasilan, khususnya untuk pajak badan atau perusahaan. Uni Eropa harus berhadapan dengan Amerika Serikat (AS), untuk memperebutkan pajak Apple. Pasalnya, Apple yang merupakan perusahaan asal AS, memiliki kantor cabang di Irlandia.
"Mereka tidak ingin seperti Apple company yang seolah meregistrasikan headquarter-nya di Irlandia hanya untuk menghindari pajak. Dia hampir nggak bayar pajak sama sekali."
Kemudian muncul pernyataan dari Komisi Uni Eropa bahwa Apple telah menghindari pajak dan kemudian mengatakan mereka terutang pajak US$18 miliar. "Menkeu AS marah. (Mengatakan ke Uni Eropa) Siapa anda kok mau mengambil pajak Apple yang berasal dari AS. Jadi mereka berantem," terang Sri Mulyani.
Hal lainnya yang terjadi saat ini adalah perang tarif pajak rendah. Masing-masing negara menurunkan tarif agar banyak perusahaan yang mau beralih ke negaranya. Persoalan kemudian juga akhirnya tidak terselesaikan.
"Akhirnya Menkeu di seluruh dunia sekarang sedang merasa bahwa kalau kita saling berantem, untuk rebutan pajak. Kalau berantem untuk menurunkan tax rate, maka nggak ada yang menang," ujar Sri.
Persoalan ini dibawa ke forum Internasional G20. Diskusi panas berlangsung sampai berakhir pada keputusan untuk saling bekerjasama hingga muncul Automatic Exchange of Information (AEoI). Sekarang masing-masing negara siap untuk mengimplementasikan di 2018.
"Seluruh negara sedang melakukan persiapan apa yang dibutuhkan agara AEoI bisa berjalan," ujar dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved