Mahkamah Agung (MA) menghukum 4 operator seluler yakni PT Excelkomindo Pratama, Tbk), PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk, PT Bakrie Telecom, dan PT Mobile-8 Telecom Tbk bersalah melakukan praktek kartel tarif pulsa pesan singkat (SMS). Keempat operator tersebut dihukum denda puluhan miliaran rupiah.
Putusan ini sekaligus mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). “Mengabulkan permohonan kasasi KPPU," demikian lansir MA dalam websitenya, Selasa (01/03).
Perkara ini diadili oleh hakim agung Syamsul Maarif SH LLM PhD sebagai ketua majelis, dan hakim agung Dr Abdurrahman dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha selaku hakim anggota. Putusan bernomor 9 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 itu, diketok pada 29 Februari 2016 kemarin.
Sekedar informasi, kasus kartel sms ini bermula saat KPPU menerima adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan sejumlah provider seluler di Indonesia.
Pasal 5 UU antimonopoli itu berbunyi: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
KPPU kemudian bergerak untuk menelisik jejak kartel tarif SMS tersebut.
SMS merupakan jasa nilai tambah dari layanan telekomunikasi seluler maupun FWA yang tidak bisa lagi dipisahkan dari layanan suara/voice. Untuk jasa ini, operator menerapkan tarif yang yang melakukan pengiriman SMS atau biasa dikenal dengan istilah Sender Keeps All (SKA).
Tarif SMS pada periode 1994-2004 adalah sama untuk semua operator off-net (lintas operator) maupun on-net (antar operator), yaitu sebesar Rp350 untuk prabayar. Memasuki 2005, persaingan mulai muncul dengan membedakan tarif off-net (lintas operator) maupun on-net (antar operator).
Biaya SMS ini diatur dalam UU Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, Keputusan Menteri Nomor 21/2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, Peraturan menteri Nomor 8/2006 tentang Tarif Interkoneksi dan Peraturan Menteri Nomor 12/2006 tentang Tarif Stasiun Telepon Seluler.
Semua regulasi tersebut, mengatur besaran tarif telekomunikasi diserahkan sepenuhnya kepada operator dengan mengacu pada formula dan susunan tarif yang ditetapkan pemerintah.
Untuk menjamin keterlangsungan interkoneksi antar operator, mereka melakukan perjanjian kerjasama interkoneksi dengan operator lainnya.
Belakangan, terjadi kesepakatan yang tidak dibenarkan dalam menentukan tarif ini. Operator baru akan membuat harga SMS lebih murah dari harga tarif SMS yang dikelola operator yang sudah ada. Perbedaan harga ini sangat sensitif sehingga dapat menimbulkan spamming.
Akibat permainan kartel ini, konsumen dirugikan karena konsumen seharusnya dapat menikmati tarif SMS yang lebih murah sehingga dapat mengirim SMS yang lebih banyak dan akan lebih banyak segmen masyarakat yang dapat menggunakan layanan SMS.
"Tim pemeriksa menilai pada periode 2004-2007 telah terjadi kartel tarif SMS off-nett," ujar KPPU dalam keputusan nomor Nomor 26/KPPU-L/2007.
Atas temuan ini, KPPU memanggil para pihak yang diduga melakukan kartel tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan secara mendetail, pada 17 Juni 2008 KPPU memutuskan 4 operator seluler bersalah karena melakukan kartel harga.
Masing-masing, yakni Terlapor I (PT Excelkomindo Pratama, Tbk) sebesar Rp25 miliar, Terlapor IV (PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk) sebesar Rp18 miliar, Terlapor VI (PT Bakrie Telecom) sebesar Rp4 miliar dan Terlapor VII (PT Mobile-8 Telecom, Tbk) sebesar Rp5 miliar.
Namun, para operator tersebut keberatan dengan keputusan KPPU dan menyatakan banding ke Pengadian Negeri Jakarta Pusat. Dalam putusan nomor perkara 03/KPPU/2008/PN.JKT.PST, PN Jakarta Pusat mengabulkan upaya banding tersebut.
Tapi KPPU tidak tinggal diam. Kali ini, KPPU yang mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Dan Kasasi tersebut dikabulkan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved