Kinerja ekonomi Indonesia terus mendapat apresiasi. Indonesia dinilai mampu melakukan perbaikan fundamental ekonomi secara signifikan dalam 1 tahun terakhir. Situasi saat ini membuat Indonesia disebut sudah layak keluar dari kelompok Fragile Five atau 5 negara dengan ekonomi rentan guncangan.
Kepada pers, Managing Director dan Kepala Ekonom Citigroup Global Markets Asia Johanna Chua mengatakan, dari 5 negara yang masuk kelompok Fragile Five, Indonesia menunjukkan perkembangan paling signifikan dalam mengatasi defisit neraca berjalan (current account deficit).
Defisit neraca berjalan adalah akar permasalahan ekonomi negara berkembang. “Tahun ini Indonesia kami proyeksi keluar dari basket (kelompok) Fragile Five," ujarnya pada “Seminar Citi Indonesia Economic & Political Outlook 2014” di Jakarta, Rabu (16/04).
Fragile Five adalah istilah yang dicetuskan raksasa perusahaan investasi Morgan Stanley pada 2013 lalu untuk Indonesia, India, Brasil, Turki, dan Afrika Selatan. Kelima negara ini masuk kelompok emerging markets yang selama ini mendapat guyuran dana segar investor sebagai imbas stimulus di Amerika Serikat (AS).
Begitu AS berencana mengurangi program stimulus (tapering off), dana-dana asing kabur dari 5 negara tersebut. Akibatnya, selain defisit neraca berjalan, nilai tukar mata uang di kelima negara tersebut juga anjlok.
Johanna menyebut, tahun lalu Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami dampak terburuk dari guncangan pasar finansial global setelah The Fed mengumumkan rencana tapering off. Itu terlihat dari nilai tukar rupiah yang anjlok dari level Rp9.500 per dolar ke Rp12.300 per dolar.
Demikian pula indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) yang anjlok dari level 5.000-an ke 4.100an. "Itu seperti serangan jantung bagi industri finansial di Indonesia," ujar dia.
Namun, ujar Johanna -ekonom yang berkali-kali dinobatkan media internasional sebagai analis keuangan terbaik di Asia Pasifik, Indonesia ternyata mampu membalikkan kondisi yang terpuruk. Itu terlihat dari perbaikan signifikan current account deficit dari 4,4 persen Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II 2013 menjadi 1,98 persen pada triwulan IV 2013.
Rupiah dan IHSG juga menunjukkan perbaikan signifikan sepanjang 2014. “Ini karena Indonesia merespons gejolak dengan cepat dan tepat. Sedangkan negara-negara lain telat merespons,” ucapnya.
Johanna memuji langkah sigap Bank Indonesia (BI) yang sejak pertengahan 2013 secara bertahap menaikkan suku bunga acuan BI rate dari 5,75 persen menjadi 7,50 persen untuk mengerem laju ekonomi. Demikian pula langkah pemerintah yang langsung mengeluarkan paket stimulus kebijakan ekonomi untuk mengurangi ketergantungan impor.
Negara-negara Fragile Five lain baru bereaksi pada awal 2014 ketika fundamental ekonomi mereka makin buruk. Karena terlambat, responsnya pun menjadi berlebihan atau over-reaktif. “Misalnya Turki yang Januari lalu langsung menaikkan suku bunga dari 7,75 persen menjadi 12 persen, sehingga pasar terkejut," ujarnya.
Menurut Johanna, Indonesia memang masih akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sebagai konsekuensi strategi menekan defisit neraca berjalan. Namun, dengan pertumbuhan di kisaran 5 persen ekonomi Indonesia masih sangat prospektif.
“Jadi, the worst is over (yang terburuk sudah berlalu). Sekarang Indonesia masuk tahap stabilisasi untuk tumbuh cepat lagi di masa mendatang," ujar dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved