Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kian besar mengalokasikan anggaran bantuan sosial (bansos), namun tidak sebanding dengan penurunan angka kemiskinan yang terjadi. Jokowi telah menggelontorkan bansos sebesar Rp4.156,8 triliun sejak Tahun 2014.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengungkapkan, secara total, Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah mengucurkan anggaran untuk bansos sebesar Rp4.156,8 triliun sejak 2014 silam.
"Angka kemiskinan hanya turun sekitar 2%. Jadi mau digelontor bansos atau tidak, tetap saja tidak ada penurunan signifikan atas angka kemiskinan," kata Esther Sri Astuti dalam diskusi publik Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bertema "Tanggapan atas Debat Kelima Pilpres" di Hotel Manhattan, Jakarta, Senin (5/2/2024).
Berdasarkan laporan, pemerintahan Jokowi pada 2014 menggelontorkan dana bansos sebesar Rp484,1 triliun. Lalu di 2015 menjadi sebesar Rp276,2 triliun, 2016 sebesar Rp215 triliun, 2017 sebesar Rp216,6 triliun, 2018 sebesar Rp293,8 triliun.
Kemudian di 2019 menjadi sebesar Rp308,4 triliun, 2020 sebesar Rp498 triliun, 2021 sebesar Rp468,2 triliun, 2022 sebesar Rp460,6 triliun, 2023 sebesar Rp439,1 triliun, serta di 2024 sebesar Rp496,8 triliun.
Kemudian, kata Esther, anggaran untuk perlindungan sosial (perlinsos) di 2024 mencapai Rp496,8 triliun. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan periode pandemi Covid-19 2021 sebesar Rp468,2 triliun dan 2022 sebesar Rp460,6 triliun.
Esther menjelaskan, nilai dana bansos pada 2024 itu hampir sama dengan yang dikucurkan saat pandemi 2020 sebesar Rp498 triliun. Indef menilai tidak ada urgensi untuk menggelontorkan bansos sebesar itu pada 2024.
"Saya berkesimpulan bahwa bansos ini bukan solusi untuk jangka panjang, tetapi ini hanya kebijakan populis yang hanya ingin mendapatkan voter (suara pemilih) yang lebih banyak," kata Esther.
Menurut Esther, besarnya bansos tidak sejalan dengan penurunan angka kemiskinan. Sebab, kata dia, selama sekitar satu dekade terakhir atau periode 2012-2023, tingkat kemiskinan di Indonesia hanya turun 2,3%.
"Semakin tahun orang yang menerima bansos semakin banyak. Tapi angka kemiskinan selama 12 tahun hanya turun 2%. Nah ini patut dipertanyakan," kata Esther.
Esther mengatakan, bansos pada dasarnya merupakan jaring pengaman sosial (social safety net), bukan solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan.
Esther menyarankan, pemberian bansos harusnya berbentuk tunai yang diberikan langsung ke penerima tanpa perantara. Skema ini dinilai lebih efektif untuk mendorong daya beli masyarakat ketimbang memberikan dalam bentuk sembako.
Apalagi, kata dia, jika teknis pembagian bansos berupa sembako tersebut menimbulkan kerumunan masyarakat yang justru menjadi tidak efektif.
Kalau di negara-negara lain, orang dapat bansos seperti social safety net itu lewat transfer tiap bulannya diambil lewat bank.
"Mereka mau belanja beras atau apa, terserah kan duitnya sudah ditransfer ke mereka. Tidak harus dalam 10 kilogram beras dibagikan tapi besarnya sesuai living cost di wilayah itu," kata Esther.[]
© Copyright 2024, All Rights Reserved