Penyebaran berita bohong (hoax) yang kerap terjadi melalui media sosial, ditengarai sebagai salah satu alat dalam perang cyber yang mengancam ketahanan nasional. Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak sadar dan malah turut menyebarkan berita hoax tersebut.
“Saat ini perang yang terjadi bukan hanya angkat sejata. Penyebaran hoax sudah menjadi salah satu strategi perang di dunia cyber. Namun, sebagian besar masyarakat masih tidak menyadari dan malah ikut menyebarkan hoax tersebut dengan perangkat teknologi yang ada,” kata Yono Reksoprodjo, Deputy Head of Permanent Committe Europan Sectin Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) kepada politikindonesia.com.
Menurutnya, berbeda dengan perang konvensional, perang cyber bisa melibatkan siapapun dan senjata apapun. Efeknya pun sangat dasyat, tanpa perlu membunuh dengan senjata secara fisik untuk mematikan lawan.
“Kerentanan perang cyber terjadi pada masing-masing individu. Efek yang ditimbulkan seperti bola salju yang bergulir dan terus membesar dan pada akhirnya bisa membunuh lawannya. Dimana, perang tersebut dimungkinkan berjalan singkat, terselubung dan menyebabkan kelumpuhan yang mematikan,” ungkapnya.
Yono mengatakan, dalam strategi hoax, ada dua hal yang menjadi sasaran. Pertama untuk tujuan pengalihan isu. Saat masyarakat dihadapkan oleh masalah penting dan menyita perhatian, tiba-tiba muncul hoax yang bisa mengalihkan perhatian masyarakat tersebut dari isu yang penting dan krusial.
“Kedua, hoax juga bisa digunakan untuk memecah-belah lawan. Dengan berita palsu, si penyebar acapkali tidak perlu turun sendiri untuk membunuh lawannya. Cukup menyebarkan hoax, kemudian masyarakat akan merespon bahkan menjadi bagian dari penyebar hoax itu sendiri,” imbuhnya.
Ditambahkannya, pemerintah cukup aware dengan bahaya perang cyber ini. Melalui Badan Sandi dan Siber Negara, berbagai langkah antisipasi dan pencegahan sudah dilakukan. Hanya saja, kerja lembaga tersebut masih maksimal dan kurang terkoordinasi.
“Sekalipun Indonesia telah memiliki proteksi guna menghadapi perang cyber, seperti UU ITE 2008 dan Perpres 53/2017, tapi masing-masing masih bergerak sendiri-sendiri. Padahal perang cyber harus dilakukan secara bersinergi. Karena itu Indonesia perlu melakukan kerjasama guna menghadapi hal tersebut. Selain itu juga perlu adanya upaya untuk membangun Manajemen Persepsi guna meminimalisir hal tersebut," kata Yono.
Pada kesempatan yang sama, Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) Pontjo Sutowo, mengakui, Indonesia menjadi negara yang sangat rentan terhadap serangan cyber. Salah satu faktornya adalah rendahnya penguasaan teknologi.
Kondisi ini dipicu oleh lemahnya sinergi kebijakan Iptek, masih terbatasnya sumber daya Iptek, terutama anggaran penelitian dan pengembangan, belum optimalnya mekanisme intermediasi Iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia Iptek dengan kebutuhan pengguna.
“Kasus serangan “Ransomware WannaCry” tahun 2017, misalnya, sangat dimungkinkan akan terjadi lagi dengan dampak yang lebih sistemik. Untuk itu Indonesia perlu segera membangun kemandirian teknologi cyber,” ucapnya.
Pontjo memaparkan, kemandirian ini dapat terbentuk, jika Indonesia mampu melakukan perbaikan doktrin keamanan nasionalnya dan menata kelembagaan dengan kerangka regulasi yang jelas sehingga dapat bekerja optimal.
Sementara itu, Guru Besar ITB, Suhono Harso Supangkat menegaskan, revolusi industri yang terjadi saat ini sudah menghasilkan perubahan di dalam masyarakat. Bahkan, perubahan itu telah mencapai pada titik Society 5.0. Kondisi tersebut tentu menghasilkan tantangan yang lebih berat bagi ketahanan nasional. Hal ini karena banyak profesi yang hilang.
“Karena itu kini diperlukan talent guna menjadi katalis dalam proses yang menciptakan bisnis baru dan pekerjaan baru. Salah satunya melalui kreasi konektivitas. Dimana, semua generasi bersama-sama untuk mengatasi hal tersebut. Kreasi konektifitas ini intinya merupakan bentuk nyata gotong royong di era teknologi informasi,” ujarnya.
Diuraikan, Society 5.0 pada dasarnya adalah kebersamaan. Untuk itu tidak perlu lagi ada pembagian istilah generasi Y, generasi X dan sebagainya, yang membuat anak bangsa ini terkotak-kotak.
“Kini, sebaiknya menggunakan istilah C-Generasi atau Connectivity Generation. Sebah, sepanjang konektivitas ada, mereka dapat bersinergi membangun ketahanan nasional,” pungkas Suhono.
© Copyright 2024, All Rights Reserved