Memasuki tahun politik dan menjelang Pemilu 2019, fenomena “loncat pagar” sudah biasa terjadi pada dunia politik di Indonesia. Beberapa politisi yang sudah wara-wiri puluhan tahun dan dibesarkan oleh partainya, kemudian hijrah ke partai lain untuk mendapat yang diinginkan.
“Politisi tersebut selalu mencari alasan pembenaran atas manuver yang dilakukan. Tinggal masyarakat yang menilai, apakah alasan itu tulus, atau hanya untuk menjadi objek pemberitaan,” kata Wakil Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Jus Usman Sumanegara kepada politikindonesia.com pada diskusi bertema, “Partai Politik, Ideologi, Konstitusi dan Kepemimpinan, di Jakarta, Selasa (16/10).
Dia mengungkapkan, biasanya para politisi “loncat pagar”, ketika partai yang mengusungnya tidak memberikan nomor yang layak, bagus dan menguntungkan. Akhirnya, politisi tersebut tak segan untuk berpindah ke partai yang memberikan harapan lebih baik.
“Namun, kami tidak pernah ambil pusing dengan politisi yang pindah partai seperti itu. Yang penting tujuan mereka baik dan untuk negara. Soal mereka punya tujuan lain, itu urusan mereka dan parpol barunya yang menjadi kendaraab untuk memenuhi harapannya,” tegas Jus.
Menurutnya, fenomena politisi “loncat pagat”, disebabkan sikap parpol yang tidak tegas atau terlalu melebarkan pintu masuk bagi pendatang tanpa melihat potensi kader partai yang sudah berkarir sejak lama.
“Maka wajar, praktik perpindahan kader dari satu parpol ke lainnya memunculkan pertanyaan mengenai loyalitas dan ideologi politik yang dianut. Karena belum tentu parpol baru yang dimasuki memiliki
kesamaan ideologi,” ujarnya.
Oleh sebab itu, kata dia, agar kader parpol tidak “loncat pagar” diperlukan penguatan terhadap kelembagaan partai, terutama terhadap aspek ideologi. Sehingga bisa mengurangi sikap pragmatis dari para kader serta untuk lebih memahami tentang idealisme dan visi-misi partai.
“Secara sederhana, politikus “loncat pagat” ini tak peduli, apakah dia mendapat restu atau tidak dari partainya. Tapi dia akan terus bermanuver mencari celah dari partai lain yang bisa disusupi untuk menjadi kendaraan politiknya agar dapat melenggang menuju singgasana,” terang Jus.
Dia memaparkan, dengan praktik demokrasi yang semakin membaik di Indonesia, seharusnya kasus politisi “loncat pagar” menurun. Tapi fakta di lapangan malah terjadi sebaliknya. Fenomena iru malah makin meningkat dan ramai dijumpai di semua parpol.
“Sehingga fenomena tersebut menjadi salah satu indikator bahwa konsistensi idealisme parpol belum membumi. Jadi tak heran kalau para politisinya lebih menganut pragmatisme pribadi,” katanya.
Padahal sebenarnya, kasus politisi “loncat pagar” ini menjadi kabar buruk bagi rekrutmen elit parpol. Sehingga menimbulkan argumentasi yang beragam di masyarakat. Karena kecenderungan terbesar orientasi dan motivasi politisi pindah parpol adalah kekuasaan.
“Sehingga sebagian besar mengarah pada sikap pragmatisme dan oportunisme. Dengan kata lain, parpol dijadikan kendaraan menuju kekuasaan dan keuntungan semata,” ungkapnya.
Jus mengatakan, seharusnya dalam berdemokrasi, keberhasilan itu ditentukan oleh beberapa hal. Diantarajya, pelaksanaan demokrasi yang langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER), penyelenggara pemilu yang netral. Selain itu, profesional dan taat azas, TNI dan Polri yang netral, adanya partisipasi pemilih yang tinggi, serta adanya pengakuan terhadap kandidat partai dari publik.
“Karena itu, parpol harus bisa memilih kandidat terbaiknya. Selain itu, mampu menjaga idealisme parpol, kandidat yang baik juga bisa mendongkrak partisipasi pemilih tanpa politik uang. Apalagi, saat ini pertisipasi pemilih dalam pemilu di Indonesia masih sekitar 70 persen,” urainya.
Sementara itu, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo menambahkan, parpol seharusnya tidak hanya mengenalkan tokoh atau kandidatnya, tetapi juga ideologi dan program kerja yang dipikirkan. Karena peran parpol adalah sebagai aktor pembuat kebijakan publik.
“Maka sangat penting mengenalkan ke publik terkait kebijakan dan program kerja parpol. Karena kebijakan yang diambil parpol sangat penting dan strategis dalam mewarnai jalannya pemerintahan. Publik pun harus pandai dalam memilih parpol yang akan menyuarakan kepentingannya,” harap Pontjo.
Menurutnya, tak jarang yang menjadi “loncat pagar” merupakan kader unggulan partai yang tentunya akan sangat merugikan parpol yang ditinggalkan. Hilangnya kader menjanjikan, tentu memutuskan rangkaian proses kaderisasi yang sudah dilakukan dalam kurun waktu lama.
“Jaringan yang sudah dibangun pun akan ikut hancur. Alhasil, politisi yang berpindah partai tetap lestari dan berkembangbiak pada setiap pertarungan di perhelatan Pemilu. Apalagi bila politisi itu ternyata berhasil menang, bisa jadi akan ditiru oleh kader lainnya,” tegasnya.
Sebenarnya, jelas Pontjo, muara dari fenomena itu terletak pada aturan partai yang masih terasa longgar, terutama tidak adanya sanksi yang mampu membuat kader menjadi jera dan menghentikan praktik pragmatisme politik.
“Dari sudut pandang parpol sebaiknya ada konsekuensi logis terhadap fenomena ini. Karena sikap-sikap pragmatisme yang mereka ambil, tentu akan terjadi reduksi pemaknaan parpol menjadi kendaraan politik semata. Selain itu, tujuan partai pun bergeser dari menjaring kader berkualitas menjadi mencari popularitas,” tutup Pontjo.
© Copyright 2024, All Rights Reserved