SUNGGUH amat sangat tidak mudah untuk memprediksi tentang apa potensi putusan perselisihan hasil pilpres pada persidangan di Mahkamah Konstitusi kali ini. Keterbukaan yang lazim ditunjukkan oleh MK dengan cara boleh melakukan peliputan media massa selama persidangan oleh MK, ternyata tidak cukup mampu untuk dapat mencermati semua kegiatan persidangan secara lengkap.
Hal itu karena diperlukan waktu yang cukup untuk memahami tentang keterbukaan apa yang sedang didialektikakan. Dialog yang dilakukan untuk melakukan pendalaman dalam mencari kebenaran empiris melalui persidangan, yang mengkombinasikan pendekatan menggunakan metodologi penelitian kuantitatif, kualitatif, dan mixed method.
Sebenarnya persoalan PHPU semula amat sangat sederhana, yaitu jika menggunakan pendekatan metodologi penelitian secara kuantitatif, sehingga paslon Prabowo-Gibran menjadi pemenang pilpres satu putaran berdasarkan perolehan jumlah angka suara, yang berbeda secara amat sangat signifikan.
Akan tetapi putusan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut dan ketentuan pengambilan keputusan yang menganut UU Pemilu 7/2017 yang sudah amat sangat jelas, kemudian oleh MK dibuka kesempatan dialog pada tim kuasa hukum paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud untuk meragukan keputusan KPU dengan mengajukan metodologi kualitatif dan kadang kala mixed method.
Demokrasi dalam ranah hukum yang seperti ini, telah menimbulkan kecemasan yang luar biasa sangat besar. Sebab, penggunaan pendekatan yang berbeda, berisiko dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Bagaimana tidak, jika dalih kecurangan dapat dibenarkan menjadi terbukti dalam persidangan, maka klausul kecurangan menimbulkan angka 96 juta lebih perolehan suara akan dinilai sebagai nol. Benar-benar nol, jika menganut keyakinan bahwa MK dapat senantiasa membatalkan keputusan pemenang, yang telah ditetapkan oleh KPU.
Putusan yang berpotensi memenangkan pihak yang kalah, yaitu paslon Ganjar-Mahfud yang semula ranking ketiga menjadi jungkir balik sebagai pemenang pertama. Demikian pula keputusan MK, yang berpotensi menjungkirbalikan kemenangan satu putaran menjadi dua putaran, namun dengan mendiskualifikasikan paslon Prabowo-Gibran.
Dibukanya persidangan PHPU di MK telah membantah MK sebagai kependekan dari Mahkamah Kalkulator. Akan tetapi MK diharapkan bukanlah menjadi mahkamah, yang menjungkirbalikkan putusan KPU, sebagaimana paradigma jungkir balik di atas.
Jungkir balik yang membesarkan ketidakpastian. Ketidakpastian yang berpotensi menimbulkan perselisihan-perselisihan berikutnya, yang membuka keributan tanpa berkesudahan. Jungkir balik yang membubarkan harapan.
Jungkir balik yang menimbulkan risiko ketidakpastian yang tinggi di tengah keseruan tim buzzer, yang kesemuanya masing-masing menyatakan telah menang.
Sekalipun UU Pemilu 7/2017 sudah amat sangat jelas dan tegas, namun ternyata UU Pemilu masih menimbulkan perbedaan tafsir yang sangat mendasar, sebagaimana bunyi petitum dari kuasa hukum paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Putusan 90 MK ditafsirkan memudahkan Gibran mendaftar sebagai cawapres, padahal revisi umur yang semula dari minimal 35 tahun menjadi 40 tahun, kemudian direvisi kembali menjadi 35 tahun, namun dengan tambahan klausul pernah menjabat sebagai kepala daerah, itu sesungguhnya merupakan kriteria yang lebih sulit dibandingkan pembatasan umur saja.
Sekalipun itu adalah ranah keberatan untuk memajukan masalah di tingkat Bawaslu, namun komentar dari pendapat Yang Mulia seorang hakim MK yang menyatakan MK dapat merevisi putusan yang menjadi ranah Bawaslu, itu telah menimbulkan keseruan dalam persidangan MK. Ranah Bawaslu, yang seharusnya dapat berlanjut ke PTUN, bukan ke MK.
Oleh karena itu, sumber persoalan bukan hanya pada tafsir terhadap UU Pemilu 7/2017, klausul putusan MK bersifat tetap dan mengikat, namun juga oleh keberadaan dari demokrasi yang disampaikan oleh Yang Mulia hakim MK, dan mantan hakim MK.
Kebebasan dalam berpendapat pada satu sisi mampu menimbulkan harapan mencapai kebenaran, namun berisiko menimbulkan ketidakpastian. Ketidakpastian sampai tiba putusan MK. Namun sebuah putusan MK masih menimbulkan tafsir berbeda, misalnya terhadap putusan nomor 90 MK maupun MKMK.
Persoalan yang kedua, berupa klausul pembuktian kemenangan akibat dari bansos, ketidaknetralan, sirekap, dan isu penyalahgunaan kekuasaan sebagai bentuk katalisator kecurangan, sekalipun kesenjangan perbedaan perolehan angka suara Pilpres sangat berbeda nyata.
Jika dan hanya jika terdapat keluangan waktu yang tidak terbatas untuk mencermati 7 hari persidangan perkara PHPU MK di tengah ibadah di hari-hari Ramadan dan menyambut Idulfitri, mudik, dan arus balik, maka berbagai perjalanan persidangan MK dan siaran ulang media massa dapat berfungsi sebagai semacam kuliah universitas terbuka secara gratis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sungguh mulia.
Mulia terlebih jika izin untuk membaca risalah persidangan MK, juga dibebaskan dari informasi pembatasan izin yang bersifat tertutup. Izin yang tertutup untuk membaca ulang risalah persidangan, bukanlah kebiasaan dari MK. Ketertutupan yang mengundang risiko ketidakpastian tentang apa sebenarnya putusan dari PHPU MK nanti.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved