Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan yang diajukan terdakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Hakim memerintahkan jaksa untuk melanjutkan pemeriksaan pokok perkara.
“Mengadili, menyatakan eksepsi terdakwa dan penasihat hukum terdakwa tidak dapat dipenuhi, menyatakan surat dakwaan penuntut umum tanggal 2 Mei 2018 telah memenuhi syarat formil dan materiil sesuai pasal 143 KUHAP dan sah menurut hukum, menyatakan pengadilan Tipikor sah melakukan pemeriksaan, memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan," ujar ketua majelis hakim Yanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (31/05).
Majelis hakim yang diketuai Yanto dengan anggota Diah Siti Basariah, Sunarso, Anwar dan Sukartono menolak semua keberatan yang diajukan pihak terdakwa.
"Majelis hakim tidak sependapat karena secara jelas disebutkan pasal 2 Perma 2014 bahwa pengadilan TUN berwenang mengadili sengketa TUN sebelum ada proses pidana dan harus ada proses penilaian sementara pemeriksaan pidana tidak perlu menunggu selesainya perkara perdata dan juga sebaliknya. Penyidikan, penuntutan terhadap perkara tipikor harus didahulukan dari perkara lainnya guna penyelesaian secepatnya sehingga keberatan tim penasihat hukum terdakwa tidak punya alasan hukum dan dinyatakan tidak dapat diterima," sebut pertimbangan hakim.
Alasan penasihat hukum yang menyebut perkara itu sudah kedaluwarsa karena BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA) yang telah dinyatakan "final closing" pada 25 Mei 1999 sehingga tindak pidana seharusnya dihitung daluasa sejak "final closing" MSAA dan artinya perkara hapus alias daluarsa pada 25 Mei 2017.
Menurut hakim, jaksa penuntut umum KPK menguraikan peristiwa hukum BLBI oleh BDNI terjadi sejak Desember 1997 sampai Juni 98 dan ada kesepakatan penyelesaian utang perdata melalui MSAA melalui mekanisme "release and discharge" sehingga "final closing" terjadi pada 25 Mei 1999 setelah keluar surat "release and discharge".
Sementera perkara tipikor ke Syafruddin adalah terkait keluarnya SKL pada 2004 yang merupakan lanjutan dari evaluasi kepatuhan MSAA.
"Menimbang terhadap keberatan tersebut majelis hakim tidak sependapat karena penasihat hukum juga menyebut objek perkara a quo dikeluarkannya SKL saat terdakwa menjabat ketua BPPN tahun 2004 sehingga tidak lewat waktu daluarsa seperti pasal 78 KUHAP sehingga keberatan penasihat hukum tidak beralasan hukum dan tidak dapat diterima," sebut hakim.
Usai pembacaan putusan sela tersebut, hakim menunda sidang untuk pemeriksaan pokok perkara. Sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi pada Rabu (06/06) mendatang.
Sekedar informasi, dalam perkara ini, Syafruddin selaku Ketua BPPN periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.
© Copyright 2024, All Rights Reserved