Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kalimantan Timur ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penahanan dilakukan setelah Suwarna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka selama 14 jam sejak pukul 09.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Senin. Ia langsung dibawa ke rumah tahanan Mabes Polri usai menjalani pemeriksaan.
Gubernur Kaltim itu menjadi tersangka, dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan ijin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit satu juta hektar. Proyek pembukaan lahan sejuta hektare diprogramkan oleh Gubernur Suwarna pada 1998 – taklama setelah ia menjadi gubernur – di wilayah Penajam Utara, Berau, Kalimantan Timur.
KPK memperkirakan kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus penyalahgunaan izin pengolahan hutan dan izin pemanfaatan kayu (IPK) itu mencapai Rp440 miliar.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Tumpak Hatorangan Panggabean, mengatakan kerugian itu dihitung berdasarkan hasil tegakan kayu yang ditebang oleh 11 perusahaan yang diberi izin. ”Pelepasan kawasan hutan dan izin pemanfaatan kayu alasannya untuk membangun kebun, tetapi hanya alasan saja. Sebenarnya, maksudnya adalah memanfaatkan kayu di lahan seluas 147.000 hektar,” kata Tumpak.
Izin pengelolaan hutan dan IPK yang dikeluarkan oleh Suwarna diberikan kepada 11 perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Grup, yang dimiliki oleh Martias. IPK yang dikeluarkan itu, menurut Tumpak, sudah melampaui dan menyalahi kewenangan Suwarna sebagai Gubernur.
Lebih jauh Tumpak mengatakan, Suwarna telah melanggar Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 538 Tahun 1999 tentang IPK dan PP No 6 Tahun 1999 tentang pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Suwarna dijerat pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus tersebut, KPK telah memeriksa mantan Menteri Kehutanan dan Perkebunan di era Presiden BJ Habibie, Muslimin Nasution, dan Menteri Kehutanan di era Presiden Abdurrahman Wahid, Nurmahmudi Ismail.
Penyidikan kasus ini sebenarnya sudah dilaporkan oleh Aliansi Penyelamat Kaltim (APK) ke KPK pada 13 Desember 2004. Menurut mereka, hutan di Kaltim menjadi rusak karena ada beberapa penyimpangan dalam perubahan fungsi hutan produksi menjadi kawasan budidaya non-hutan.
Menurut APK, pada 1998, tak lama setelah dilantik, Suwarna mencanangkan program satu juta hektar lahan sawit tanpa ada landasan hukum yang sah. Pada 1999, Nurmahmudi mengeluarkan SK No 30/KPTS-II/1999 yang memberi kewenangan pada gubernur untuk memberi hak pengelolaan hutan di bawah 10 ribu hektar.
Selanjutnya, Suwarna memberi rekomendasi pembangunan perkebunan kelapa sawit pada Surya Dumai. Surya Dumai Group yang membawahi beberapa puluh perusahaan diberi izin untuk mengelola kawasan tersebut menjadi kebun kelapa sawit. Atas dasar itu, puluhan perusahaan di bawah Surya Dumai membuka hutan dengan melakukan penebangan kayu.
Suwarna tidak hanya mengeluarkan rekomendasi, tetapi juga mengeluarkan IPK kepada Surya Dumai sehingga akhirnya perusahaan juga menjual kayu dari hutan tersebut. Namun pada akhirnya, dari satu juta hektare, hanya 2.000 hektare yang ditanami oleh perusahaan itu sedangkan sisanya hanya diambil kayunya saja.
Kuasa hukum Suwarna, Sugeng Teguh Santoso, mempertanyakan kenapa kliennya yang dijadikan fokus pemeriksaan pertama oleh KPK. Padahal, menurut Sugeng, produk IPK bukan melalui kewenangan kliennya, melainkan dari Departemen Kehutanan melalui Dirjen HPH dan instansi di wilayahnya.
Ia juga mengatakan kliennya hanya menjalankan kebijakan politis yang tidak bisa dipidanakan. Menurut Sugeng, Suwarna memang merekomendasikan beberapa perusahaan untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan, di antaranya Sebuku, Simanggaris dan Borneo.
Namun, Sugeng mengatakan Suwarna tidak tahu bahwa perusahaan tersebut dimiliki oleh pemilik yang sama. ”Perusahaan itu tidak disebut sebagai `holding` Surya Dumai Grup. Jika pemiliknya sama pun, maka itu tidak otomatis Surya Dumai Grup,” ujarnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved