2004 tinggal sudah menggantikan posisi 2003. Banyak sudah sejarah; birokrasi, militer, politisi, pengusaha, professional, penjahat, aktifis, agamawan, seniman, dan masyarakat luas, yang tergores disana. Ada yang menyenangkan, ada yang mengharubirukan, dan ada pula yang mencengankan. Semua terbingkai dalam potret perjalanan sebuah sejarah pemerintahan. Dan itu masa lalu.
Diantara beragam goresan tadi, ada goresan yang selalu kembali terulang dari tahun ke tahun. Goresan ini menjadi “tinta emas” dalam sejarah perjalanan sebuah negeri yang bernama Indonesia. Goresan ini tak pernah mampu dihilangkan atau digantikan oleh goresan lain. Goresan Hutang dan Korupsi.
Hutang dan korupsi seakan sudah menjadi mindset baku dalam sejarah pemerintahan Indonesia, utamanya sejak Orde Baru memimpin pemerintahan. Memperoleh utang dari Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia, CGI dijadikan parameter bahwa pemerintah Indonesia memperoleh kepercayaan dari dunia internasional. Argumentasinya sangat sempit: dapat utang, dapat kepercayaan. Terkadang anak kecil yang baru pandai menghitungpun mencibir argumentasi ini.
Bukankah dengan berhutang, sama saja menjadi kuli kontrak dari si pemberi hutang. Artinya, tidak pernah akan memperoleh sebuah kemandirian. Bila tak mampu membayar hutang, asset yang ada dilelang. Untuk porsi hutang yang diperoleh negara, eksekusinya tentu memakai cara dan kiat tidak seperti rakyat berhutang pada bank. Yang jelas, begitu banyak asset-asset bangsa ini yang memiliki nilai strategis (ekonomis dan non ekonomis) yang beralih tangan kepada negeri pemberi utang? Ironis memang. Meminjam bahasa Kwik Kian Gie, bukankah para pemberi hutang itu rentenir yang oleh kita diagungkan sebagai donor? Tak percaya? Simak saja pernyataan ketika Indonesia, baru-baru ini, memperoleh persetujuan utang dari CGI sebesar 3,4 miliar dolar AS.
Diantara goresan mengisi hari-hari mencari hutang, goresan “tinta emas” korupsi pun terus berjalan. Hutang dan korupsi seakan berada dalam sebuah arena pacu. Satu sama lainnya tak ingin tertinggal. Hutang bertambah banyak, korupsi pun sami- mawon. Keduanya saling berlomba guna meraih posisi terdepan.
Seperti keadaan cuaca saja--cerah dan tidak berawan, begitulah kehidupan korupsi, berjalan dengan normalnya. Pemerintah memang mengendalikan beragam akses peluang ekonomi, disamping memiliki sumber daya yang besar yang bisa dieksploitasi. Wajar-wajar saja bila ada satu pihak yang berusaha mencari peluang untuk mendapatkan keuntungan dari potensi yang ada tadi. Selama ongkos (suap) yang dikeluarkan, masih menyisakan keuntungan untuk dirinya pribadi, so what? Diterobos saja. Tokh, bila tidak dia yang melakukan, orang lain akan melakukannya. Seperti kata Bertolt Brecht : erst kommt das essen, denn die morale (makan dulu, soal moral belakangan).
Begitu sulitkah untuk memberantas korupsi? Sulit. Apalagi kalau korupsi sudah terstruktur. Seperti, lagi-lagi meminjam data yang diungkapkan Kwik Kian Gie, secara kasar dalam APBN 2003 setidaknya ada Rp215 triliun yang terkorup. Ini belum termasuk sektor ikan,pasir, dan kayu sebesar Rp76,5 triliun dan dari subsidi bank rekap sebesar Rp 14 triliun. Belum lagi, bila ditelisik hasil temuan BPK, BPKP atau lembaga sejenis. Mengerikan.
Memang banyak kasus ada korupsi yang dibongkar, hanya saja koruptor yang terjerat jumlahnya sangat sedikit, bila disbanding dengan kasus yang ada. Lebih ironisnya, koruptor yang masuk penjara (terkena hukuman) jumlahnya lebih sedikit lagi disbanding jumlah kasus yang terungkap. Boro-boro, mau dihukum mati.
Sudahlah. Tak perlu berteriak-teriak untuk membasmi korupsi dan berhenti mengutang. Rakyat tidak butuh teriakan, tapi perlu fakta konkrit. Apalagi, soal hutang dan korupsi di negeri ini, hampir menjadi sebuah kebudayaan yang sudah mengakar. Sehingga sulit untuk mencabut akarnya, agar pohon rindang hutang dan korupsi bisa tumbang.
Manakala negeri ini sedikit makmur, dua penyakit kronis ini turut muncul. Bisakah korupsi dan hutang diberantas dengan gerakan moral? Tentu tidak. Korupsi dan hutang harus diberantas oleh sebuah sistem yang komprehensif dan konsisten dan dilakukan oleh seluruh sendi negara yang satu visi dalam menegakkan hukum. Bila tidak, pemberantasannya hanya sebatas gincu di bibir saja, yang akan sirna hanya karena sentuhan manis bibir sang kekasih. Ibarat pernyataan yang mengatas namakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu yang lalu, : bunga bank haram, yang kemudian lantas diralat lagi. Ada apa?
© Copyright 2024, All Rights Reserved