Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, film Dirty Vote berbasis riset. Semuanya hasil riset tapi terpilih untuk ditampilkan dalam film. Hanya yang potensial tidak bisa diganggu gugat saja yang diinput dalam film.
"Siapa yang menuduh fitnah? Fitnahnya di bagian mana? Film itu tidak diperuntukkan untuk untuk mendegradasi suara elektabilitas calon presiden," kata Feri Amsari saat diwawancarai Aiman Witjaksono dikutip dari kanal Youtube, Rabu (6/3/2024) .
Menurut Feri, Film Dirty Vote ini mau mendidik politik kepemiluan untuk bicara dua hal. Satu bahwa telah terjadi kecurangan pemilu dan terjadi dalam satu putaran 50% lebih, terbukti data di film itu.
Hal kedua adalah siapa pelaku kecurangannya dan langsung tunjuk hidung, aktor terbesar dalam kecurangan pemilu adalah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi).
"Saya mau mengungkapkan dua teori yang janggal terjadi dalam pemilu 2024 dan nanti bicara data-data dan silakan kategorikan ini sebagai kecurangan atau tidak," kata Feri.
Kejanggalan pertama bahwa tidak lumrah dalam sistem presidensial ada seorang presiden yang memiliki partai tapi mendukung calon presiden yang bukan berasal dari partainya. Itu tidak lumrah.
Kejanggalan kedua adalah luluh lantaknya teori coctail effect atau efek ekor jas yang tidak pernah terlanggar selama ini.
"Bahwa teori koktail efek itu atau efek ekor jas, jas yang dimaksud tuh Tuksedo ekornya dua," kata Feri.
Jadi maksudnya adalah kalau ada partai yang menyokong seorang presiden maka suara yang dikumpulkannya itu rata-rata sama.
Namun dalam pemilu kali ini ada kejanggalan. Ada partai yang menang pemilihan legislatif (pileg) tetapi calonnya kalah, lebih dari suara yang diperolehnya, yakni 2% lebih.
Kemudian ada calon presiden yang menang tapi partainya kalah. Bahkan tidak memperoleh setengahnya dari angka yang dia peroleh 58%.
Partainya presiden yang menang itu suaranya tidak sampai meraih 25%. Ini janggal sekali tapi terjadi.
Kejanggalan ini terjadi karena ada masalah serius. Mari dilihat satu-satu dan data ini sudah pernah diTampilkan di Komisi 2 DPR,
"Boleh dilihat di Komisi 2 DRPR. Hal ini bisa untuk menjelaskan telah terjadi kecurangan yang disebut sebagai terstruktur sistematis dan masif," kata Feri.
Dimulai dari terstruktur maksudnya kecurangan itu melibatkan penyelenggara negara atau penyelenggara Pemilu. Contoh misalnya dalam sebuah sidang di Komisi 2 DPR, masyarakat sipil hadir membawa alat bukti yang jumlahnya ada 38 alat bukti. Yang dibicarakan soal kecurangan penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, wasitnya bermasalah.
"Apa datanya? Kami membawa screenshot dan juga rekaman serta video perintah KPU kepada seluruh KPU di daerah untuk melakukan kecurangan Pemilu ditampilkan di Komisi 2 secara terbuka. Lalu begitu tampil pembicaraan soal perintah melakukan kecurangan itu, Komisi 2 selalu begitu ya dan langsung menutup sidang dan menyatakan sidang tertutup lalu mengusir wartawan. Sampai hari ini Videonya masih ada di YouTube," urai Feri.
Feri menyebut itulah kecurangan dari aspek penyelenggara pemilu. Ada 38 bukti video rekaman dan tangkapan layar.
Kecurangan pengaturan skor dalam sepak bola di Italia tidak perlu membuktikan apakah skor itu murni kehebatan pemain atau tidak. Itu tidak perlu.
Ada pun yang dibuktikan adalah apakah wasit terlibat, klub terlibat, pemain terlibat dan lain-lainnya terlibat, sebelum pertandingan.
"Karena pengaturan skor di sana, sama juga dalam kecurangan Pemilu saat ini. Sebagaimana penelitian kami dan kami jelaskan di film bahwa tidak perlu lagi bicara hasil dan lain-lain. Karena skenario Presiden Jokowi memastikan satu putaran dengan di atas 50% lebih kemenangan," kata Feri.
Menurut Feri, kebijakan itu sudah dijelaskan dalam film Dirty Vote. Menarik, bahkan tidak dibantah sampai sekarang. Ada alat buktinya yang bicara soal bagaimana peran pejabat Gubernur memastikan dukungan itu.
Kalau kecurangan sudah dilangsungkan, bahkan dengan menggunakan relasi kekuasaan nepotisme di pengadilan untuk kemudian proses kecurangan ini bisa dilangsungkan maka ini sudah sistemik.
"Apakah ini berdampak luas strategis dan penting? Iyalah, ini Pemilu, tempat kekuasaan dinobatkan. Kalau syarat ini sudah terpenuhi maka terpenuhi syarat hak angket, tinggal soal keberanian saja," kata Feri.
Mampukah penjelasan Prof Effendi Gazali menimbulkan keberanian kepada partai politik? bergantung sekali kepada partai politiknya dan bukan kepada kebenaran yang disampaikan Prof Effendi Gazali.
"Karena partai juga tahu itu, apalagi syaratnya mudah sekali. Syaratnya cuman minimal dua fraksi diatur undang-undangnya. Itu sudah disampaikan lebih dari 1 fraksi ya dengan 25 tanda tangan," kata Feri.
Feri mengatakan, kalau usul hak angket saja tidak berani, bagaimana kemudian pansel hak angket bisa muncul.
"Bagi saya Kalau ini jalan, saya yakin Prof Effendi Gazali dan teman-teman pemantau Pemilu, termasuk lembaga saya, kami akan beri kesaksian kepada publik via hak angket. Apa saja yang sedang terjadi selama penyelenggaraan pemilu 2024," kata Feri.
Karena berdasarkan pasal 20A Undang-undang Dasar Pasal 79, 199 dari undang-undang MD3 ini tidak soal KPU. Ini soal keterlibatan sekali lagi presiden. Kalau kemudian terkuak kecurangan dalam forum penting bernama Hak angket itu yang bukan tidak mungkin bisa mengetahui kenapa Pemilu 2024 dilangsungkan sangat buruk.
"Ya soal hasil bisa menyertai bukti-bukti ini di Mahkamah Konstitusi (MK). Saya mau mengatakan, soal Sirekap yang menggemaskan lagi Gemoy itu, misalnya Kenapa buat sistem seperti itu dan orang masih pertahankan bahwa KPU Sebagai penyelenggara benar," kata Feri.
Menurut Feri, secara administrasi itu aneh betul. Sebab kenapa? Satu TPS itu maksimum surat suara 300 suara, cadangan 6 suara. Lalu ada sistem yang mestinya kalau ada angka 600-700 suara masuk maka seharusnya menolak otomatis itu.
"Iya langsung ditolak sistem yang sederhana saja. ini saya mau ceritakan sistem yang dibuat Bang Hadar Nafis Gumay dalam Jaga suara 2024.
Apabila ada yang melapor ternyata salah mengirimkan data laporan maka otomatis tertolak," kata Feri.
Betul penghitungan manual berjenjang adalah data inti tapi Sirekap adalah pengawal inti. Kalau Sirekap tidak benar maka bisa enggak menngawal yang inti ini?
"Saya mau kasih tahu, selain azas Pemilu, KPU juga harus paham ada prinsip penyelenggaraan pemilu. Yakni di pasal 3 Undang-undang Pemilu Undang-undang Nomor 7 2017. Salah satu prinsipnya soal profesionalitas. Saya tanya, Sirekap ini profesional enggak? Melanggar prinsip enggak?" kata Feri.
Feri heran, kenapa Sirekap langsung diterapkan sekarang dan tidak diuji coba sebelumnya secara terbuka.
"Saya mau katakan apa alasan KPU menunda penghitungan manual berjenjang di daerah. Bukankah prinsip penyelenggaraan Pemilu harus terbuka. Kalau prinsip dan azas dilanggar, apa namanya Pemilu kita ini? Saya bilang C hasil tidak penting lagi kalau prosesnya bermasalah," kata Feri.
Contohnya begini, kata Feri, Babe Haikal dalam hal bacaan salatnya luar biasa, panjang-panjang tapi kalau tidak wudu maka salatnya tidak dinilai. Yang dinilai itu bukan kualitas bacaannya. Wudunya saja sudah salah, buat apa ngaku-ngaku salat.
Dalam hukum administrasi negara hasil memang penting tapi proses juga penting. Jadi aneh kalau orang mengatakan proses itu harus diabaikan.
"Jadi ada yang bilang sudahlah ngaku kalah saja wir. Bukan itu Soalnya. Sebab persoalan besarnya banyak suara orang tidak pasti. Padahal prinsipnya ini bicara berkepastian hukum. Jadi bagi saya data Kami akan menjelaskan tiap tahapan peran presiden berjenjang itu. Apa struktur berjenjangnya presiden dalam kecurangan," kata Feri.
Presiden sudah menyatakan cawe-cawe dan bahkan menggunakan data intelijen ya. Pelaku sudah mengaku.
Lalu diikuti pembantunya berbasis pasal 17 dan Undang-undang Pasal 17 Undang-undang Kementerian.
Siapa itu para pembantunya? Menteri d"an wakil menteri. Dalam film Dirty Vote kami ungkapkan video keterlibatan mereka, pejabat Gubernur juga terlibat. Bahkan presiden melanggar ketentuan soal evaluasi penjabat Gubernur per 6 bulan." kata Feri.
Presiden yang mengatakan saya yang akan evaluasi tiap hari. Ada data pejabat-pejabat ini menyampaikan kebanyak pihak bahwa Anda harus pilih 02. Pelakunya bukan Pak Prabowo tapi Pak Jokowi Karena dia yang punya kekuasaan.
Lalu satuan pemerintah terendah kepala desa, datanya 81 juta suara DPT yang mereka kuasai mengaku mendukung karena terancam oleh berbagai aparat. Ada datanya juga di film Dirty Vote. Disampaikan kepala desa mengeluarkan suara betapa Mereka diteror.
Jadi data struktural itu jelas terbuka bisa dilihat. Bahkan Presiden Jokowi tidak malu-malu lagi menunjukkan keterlibatan Saya tidak menyalahkan Prabowo yang berkampanye karena haknya berkampanye. Tapi presiden menipu publik seluruhnya dengan mengatakan dia tidak berkampanye.
Padahal dia sudah makan bersama calon presiden, mendukung secara terbuka. Sebab ketentuan pasal 1 angka 35.
Pasal 1 angka 35 bilang kampanye itu tidak soal membicarakan visi misi program tetapi juga citra diri. Nah itu Jokowi membangun citra bersama Prabowo sambil makan bakso.
Belum lagi soal kebijakan-kebijakan berkaitan anggaran untuk gentong babi itu anggaran Rp440 triliun per 2023 dinaikkan sedikit per 2024 dan difokuskan diguyur Bansos sebelum Februari.
"Dalam penelitian bahwa politik gentong babi itu efektif merusak stabilitas publik dalam menentukan pilihan. Ini tidak fair," pungkas Feri Amsari. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved