Revisi UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tengah berlangsung. Bergulir wacana penyederhanaan partai-partai politik. Sehingga ke depan, jumlah parpol akan makin ciut. Tidak seperti sekarang. Namun upaya itu, tidak sepenuhnya direspons positif.
Berbagai reaksi muncul. Ada yang menilai penyederhanaan itu hanya akan menguntungkan partai-partai besar. Mengebiri hak-hak warganegara untuk berkumpul dan berserikat sebagaimana telah diatur pada Pasal 28 UUD 1945 dan sebagainya.
Bagaimana sebetulnya, kerangka berpikir para pihak yang terlibat dalam revisi UU tersebut? Benarkah penyederhanaan itu semata-mata untuk mengumpulkan kembali suara-suara partai besar yang hilang pada pemilu sebelumnya? Atau, ada maksud-maksud lain yang tersembunyi? Mengklarifikasi itu, Sapto Adiwiloso dari politikindonesia.com menemui Eddy Mihati, anggota Komisi II DPR yang membidangi sektor pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur Negara dan agraria.
Politisi perempuan lulusan S-2 Sosiologi UGM (1994) ini, juga duduk sebagai anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR yang memang bertugas untuk melegislasi RUU yang masuk dalam Prolegnas serta melakukan revisi beberapa UU yang ada.
Berikut petikan wawancara dengan anggota Fraksi PDIP tersebut di Ruang Baleg, Gedung Parlemen, Kamis (03/06).
Ada niat untuk menyederhanakan partai politik. Namun di sisi lain konstitusi menjamin adanya kebebasan berserikat. Komentar anda?
Memang konstitusi menjamin kebebasan setiap warganegara untuk berserikat tetapi kan semua harus ada aturan mainnya. Kebebasan, tidak telanjang begitu saja. Saya lebih setuju demokrasi kita itu demokrasi terpimpin.
Memang secara demokratis semua warganegara mempunyai hak asasi untuk berserikat, berkumpul sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 45. Tapi harus diingat, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus ada aturan. Aturan main harus tetap ditegakkan untuk menciptakan tertib kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu yang harus kita dorong agar setiap partisipasi yang dilakukan anak bangsa ini ada aturan main yang jelas.
Ada pemikiran bahwa parpol kecil yang tidak memenuhi ambang batas parlemen tidak boleh diikutkan pada Pemilu berikutnya. Komentar anda?
Kekuatan-kekuatan yang ada tetap harus diakomodir. Saya tidak menafikan kekuatan kelompok kecil. Tetapi dengan aturan itu sebenarnya memberi kesempatan kepada partai-partai kecil untuk bergabung. Dengan demikian, dapat menjadi kekuatan besar guna mengimbangi kekuatan partai lain yang notabene juga sudah besar. Jadi tidak ada niatan kami menafikan partai-partai kecil.Penggabungan partai kan dulu pernah ada. Kemudian dihilangkan.
Sekarang, kok mau dimunculkan kembali?
Justru itu. Sekarang bagaimana kita mendorong upaya penyederhanaan partai tersebut agar aspirasi mereka, meski tidak sepenuhnya utuh, tetap dapat diakomodir. Dengan demikian maka keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita pelihara.
Dengan penyerdahanaan parpol itu diharapkan dapat meminimalisir kekacauan-kekacauan politik dan bahkan sosial. Karenanya dengan penyederhanaan itu, kita tidak menjadi bangsa yang tercabik-cabik. Itu yang menjadi frame kami dalam merevisi UU No.22 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Tapi, bukankah penyederhanaan partai itu akan menguntungkan partai-partai besar?
Kerangka besarnya tidak seperti itu. Saya kira masyarakat juga sudah bosan melihat, mendengar adanya konflik-konflik antarpartai. Kita semua menginginkan kehidupan berbangsa, bernegara di masa mendatang semakin tertib, tertata dan benar-benar mementingkan kepentingan rakyat. Bukan dihadapkan pada konflik, pergulatan politik yang terus menerus. Meskipun itu tidak bisa dielakkan. Tetapi setidaknya jika gejala itu muncul bisa cepat diredam dan diminimalisir.
Menurut anda berapa idealnya partai politik di Indonesia itu?
Ukuran idealnya akan selalu berbeda satu dengan lainnya. Menurut saya kondisi 9 parpol yang ada di parlemen itu sudah ideal, bagus dan memadai. Karena dengan demikian fraksi-fraksi yang ada di DPR pun tidak terlalu banyak. Ada memang yang menghendaki kurang dari itu. Upaya ini dimaksudkan untuk memperkecil tingkat konflik. Saya yakin kita semua sudah capek jika harus dihadapkan pada konflik terus menerus.
Parpol memiliki peran penting dalam rekruitmen jabatan publik. Bagaimana mekanismenya ke depan agar tetap dapat menjamin kualitas out put-nya?
Aturannya harus dipertegas. Jangan biarkan para kapitalis ikut bermain di situ. Sebab akibatnya akan menguasai politik kita. Kalau Negara ini sudah berada di bawah kekuasaan para kapitalis, maka demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah, akan tercabik-cabik pula.
Idealnya aturan itu seperti apa?
Kalau menurut saya, ya apa yang dibutuhkan dalam jabatan publik itulah yang diutamakan. Kemudian sedapat mungkin partai-partai politik mengutamakan kader-kader yang selama ini loyal. Utamakan pula kader-kader yang sudah terdidik di partai itu. Jadi dia memahami betul ideologi, idealisme yang sudah tertuang di dalam AD/ART partai.
Tapi kan standarisasi itu berbeda-beda antara satu partai dengan partai lainnya?
Persoalannya bukan pada perbedaan itu. Standarisasi yang ada itu belum diterapkan secara optimal. Dari data-data empirik saja kita dapat melihat belum adanya aturan main yang benar-benar terperinci secara jelas. Saya optimis jika aturan main itu diterapkan secara optimal, maka akan menemukan titik pandang yang sama dalam memikirkan kehidupan berbangsa dan bernegara.Karena pada hakikatnya pejabat publik yang direkrut itu memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya mementingkan kepentingan partainya. Di sinilah pentingnya pendidikan politik itu diberikan melalui masing-masing partai.
Bukankah mendidik kader-kader berkualitas, juga butuh dana besar?
Pendidikan politik itu sudah dianggarkan di Kesbangpol Kemendagri. Dari Kesbangpol kemudian disalurkan kepada organisasi-organisasi sosial untuk mendidik kader-kader politik yang mumpuni. Dan itu sudah dilakukan selama ini. Saya tahu persis hal itu. Karena saya di Komisi II kan bermitra dengan Kementerian Dalam Negeri. Bahwa masih ada kekurangan, itu tak dapat dipungkiri. Ini tantangan juga bagi partai-partai politik dalam rekruitmen kader serta meningkatkan kualitas pendidikan politik secara internal.
Biodata:
Nama : Dra.Eddy Mihati, M.Si
Tempat/Tgl Lahir: Klaten, 07-Maret-1951
Fraksi: PDIP
Dapil: DI Yogyakarta
Keanggotaan: Komisi II dan Baleg DPR
Nama Suami:Drs. Djoko Suseno, SU.
Jumlah Anak:5 ( lima ) Orang
Pendidikan:S1 Sosiatri Fisipol UGM 1978
S2 Sosiologi UGM 1994
© Copyright 2024, All Rights Reserved