Naga-naganya putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan reklamasi pantai utara Jakarta ilegal, dan karenanya harus dihentikan, bakal jadi macan ompong belaka. Kemenangan Kementerian Lingkungan Hidup dalam kasus sengketa tata usaha negara itu, kelihatannya takkan diindahkan.
MA memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dalam perkara tata usaha negara mengenai Keputusan Menteri No 14/2003, dengan enam perusahaan itu. Kepmen itu mengatur ketidaklayakan rencana reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Dengan adanya keputusan itu, berarti segala aktifitas berkaitan dengan proyek itu dinyatakan tak berdasar, karena Amdalnya batal demi hukum.
Tetapi, belum lagi resmi mengajukan upaya hukum lanjutan berupa Peninjauan Kembali, Gubernur DKI Fauzi Bowo sudah menegaskan proyek penimbunan pantai itu, akan diteruskan. "Reklamasi di pantai utara Jakarta akan terus dilakukan. Izin yang berlaku tetap berjalan. Meski kami tetap menghormati putusan MA," kata Bang Foke kepada pers di Balaikota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (01/06).
Bang Foke juga mempertanyakan mengapa keputusan, baru dikeluarkan setelah beberapa tahun, setelah terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional, dan kabinet serta diterbitkannya beberapa peraturan baru. Seperti Keputusan Presiden (Keppres) No.54 tahun 2008 Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. "Yang harus dipertanyakan apakah keputusan yang dikeluarkan MA tersebut bijak?"
Yang juga agak mengherankan, meski menyambut gembira keputusan MA itu, Menteri Lingkungan Hidup I Gusti Muhammad Hatta justeru seperti kebingungan. Sudah membawa-bawa nama Tuhan, yang dianggap berpihak kepadanya, seraya bersyukur atas kemenangan lembaganya itu, tetapi Gusti belum bisa memastikan apakah pembangunan di kawasan itu akan dihentikan, atau tidak.
Padahal, di kawasan pantai yang telah diuruk itu sudah berdiri banyak bangunan permanen, lengkap dengan pusat bisnis, dan perbelanjaan, pabrik, ditambah kota mandiri segala. Nah, kalau pihak swasta bisa membangun setelah memenangkan tender terbuka oleh Pemprov DKI --meski persyaratan hukumnya masih dalam proses peradilan-- Menteri KLH kok bingung usai dinyatakan menang berperkara.
Menteri Gusti beralasan, masih harus mempelajari materi putusan MA, yang ditangani Majelis Hakim Imam Soebechi, Marina Sidabutar dan Paulus E Lotulung itu. Karena belum menerima salinan putusan itu, ia mengaku sejauh apa wewenangnya pun tak begitu jelas. "Kalau sudah ada suratnya nanti kita diskusi sama-sama di Kementerian Lingkungan Hidup," katanya kepada pers.
Begitu parahnyakah kepastian hukum di Republik ini?
Yang dibutuhkan sebenarnya konsistensi menjalankan, dan mematuhi hukum. Itulah yang sepertinya susah ditemui akhir-akhir ini. Apalagi, dalam konteks kasus reklamasi pantai utara Jakarta --proyek yang sangat kental kepentingan bisnisnya, jauh melampaui hajat hidup orang banyak. Nilai ekonomi yang dikapitalisasi para pengusaha dari situ, jauh mengalahkan kepentingan lingkungan hidup, yang menjadi hak asasi orang banyak.
Sudah bisa diprediksi, proyek yang dikembangkan enam pengusaha itu, bakal jalan terus, tanpa halangan berarti. Penegasan Gubernur Fauzi Bowo saat diminta menanggapi putusan MA itu, tidak sederhana. Ucapan orang nomor satu di Ibu Kota itu, jelas memperlihatkan arogansi pemilik kekuasaan, yang yakin dengan tindakan dan konsekuensi di belakangnya.
Proyek tersebut takkan bisa dihentikan, kendati misalnya, PK diajukan, dan kembali Kementerian LH menang. Apalagi kalau ternyata Pemprov DKI, dan konsorsium pengusaha yang berhasil memenangkan pertarungan di majelis hakim PK Mahkamah Agung, nanti. Dan itu yang sangat mungkin terjadi: kepentingan bisnis, yang diwakili Pemprov DKI, dan para pengusaha, akan mengalahkan Kementerian Lingkungan Hidup, yang berdiri di belakang masyarakat.
Jalan Terus
Indikasi arogansi itu sudah mengemuka sejak awal. Seperti kita tahu, gagasan reklamasi Teluk Jakarta itu muncul sejak rezim Orde Baru. Presiden Soeharto bahkan menjadikannya program Repelita VI, seperti tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 1994 tentang Pantura sebagai kawasan andalan. Keppres Nomor 52/ 1995 mempertegas, reklamasi akan dilaksanakan di Pantai Utara Jawa. Untuk mendukung Keputusan Presiden tersebut, lahirlah Peraturan Daerah DKI Nomor 8 tahun 1995.
Mantan Ketua Walhi Jakarta, Slamet Daroyni menyebutkan, dari segi ilmu perundang-undangan, materi muatan Keppres No 52/1995 memang sebuah Keppres, karena mengatur segi-segi teknis pelaksanaannya. Tetapi, terlebih dahulu harus ditetapkan melalui produk hukum yang melibatkan partisipasi masyarakat. Pasalnya, aktifis Institut Hijau itu mengatakan, secara substansial hal itu menyentuh kehidupan rakyat secara langsung.
Tetapi, yang terjadi selanjutnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menugaskan 6 perusahaan swasta melakukan reklamasi di Teluk Jakarta, melalui tender. Keenam perusahaan --PT BME, PT THI, PT MKY, PT PJA, PT JP dan PT Pel II-- inilah yang akhirnya membuat analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), sebagai prasyarat untuk merealisir proyek tersebut.
Di era Presiden Megawati Soekarnoputri pemerintah menentang reklamasi itu. Sikap ini tertuang pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 14 tahun 2003. Intinya, Amdal disempurnakan, Amdal belum dapat diterima dan reklamasi tidak dapat dilaksanakan sampai Amdal dinyatakan layak.
Karena itulah, keenam perusahan tersebut menggugat Kementerian Lingkungan Hidup di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tercatat dengan nomor perkara 75/G.TUN/2003/PTUN-JKT. Ini yang dianggap aneh oleh Slamet. Menurut dia, yang berhak menilai Amdal regional, jelas Amdal Pusat, atau Kementerian LH. Karena dalam ketentuan pasal 11 PP No 27/1997 tentang Amdal disebutkan, Komisi penilai pusat berwenang menilai Amdal yang memenuhi kriteria.
Tetapi, 6 perusahaan itu jalan terus, dengan membawa gugatannya ke PTUN. Tindakan ini mendapat perlawanan keras dari aktivis lingkungan, akademisi, dan para nelayan di pesisir Jakarta Utara. Semua itu tak berpengaruh. Lihat saja. Di PTUN tingkat pertama dan kedua, para pengusaha menang. Baru di tingkat kasasi MA, majelis hakim mengabulkan permohonan KLH, yang berarti reklamasi menyalahi Amdal.
Tak perlu heran, kalau kasus sengketa masih berlangsung, alias belum ada kekuatan hukum tetap, pengembang tetap membangun puluhan properti di atas lahan urukan laut. Saat ini, di sana sudah berdiri apartemen, kawasan wisata, kota mandiri hingga real estate papan atas. Itu belum termasuk, beberapa kawasan reklamasi yang sudah menjelma jadi pusat bisnis dan pabrik.
Inilah tantangan besar pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunjukkan, hukum adalah panglima, dan semua orang berkedudukan sama di depan hukum. Itu artinya, siapa pun dia, harus patuh terhadap hukum, agar ada tatanan kuat yang memagari kita semua, agar tak melenceng, dan tetap dalam koridor hukum.
© Copyright 2024, All Rights Reserved