SALAH satu kewenangan MK yang diberikan oleh UUD 1945 adalah memutus perselisihan tentang hasil pemungutan suara dalam Pemilu (Pasal 24C).
Kini ratusan juta orang harap-harap cemas menanti putusan MK terkait Putusan KPU No. 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan pada Rabu, 20 Maret 2024 pukul 22.19 WIB yang lalu.
Seperti diketahui, ada 2 Paslon pemohon dalam perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, yakni Pemohon 1 (Anies Rasyid Baswedan dan A. Muhaimin Iskandar) dan Pemohon 2 (Ganjar Pranowo dan Moh. Mahfud MD). Kedua pemohon sama-sama memohon agar MK mendiskualifikasi Pasangan Calon Presiden dan Wapres Nomor Urut 2 (Paslon 2) atas nama Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Gibran) sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wapres Tahun 2024 (Pilpres 2024). Menariknya, Pemohon 2 mengajukan alternatif permohonan, yakni agar MK mendiskualifikasi Cawapres Nomor Urut 2 atas nama Gibran.
Pertanyaan besarnya, bila MK mengabulkan permohonan, permohonan mana yang memberi keadilan, kemanfaatan, dan kepastian yang paling besar? Jawabannya: memenuhi permohonan alternatif Pemohon 1, yakni mendiskualifikasi Gibran sebagai peserta Pilpres 2024.
Alasan mendiskualifikasi Gibran cukup merujuk pada pendapat pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra yang menilai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung satu cacat hukum yang serius, bahkan mengandung satu penyelundupan hukum (baca: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231017153243-12-1012355/yusril-anggap-putusan-mk-cacat-mengandung-penyelundupan-hukum). Pendapat tersebut dikemukakan oleh Yusril yang kini menjadi salah satu kuasa hukum pihak terkait (Paslon 2) dalam “Diskusi Menakar Pilpres Pasca Putusan MK” di Jakarta, Selasa, 17 Oktober 2023. Faktanya, pada 7 November 2023 Majelis Kehormatan MK (MKMK) mengonfirmasi pendapat Yusril melalui putusan yang menyatakan bahwa Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sehingga dijatuhi sanksi pemberhentian dari Ketua MK.
Dari sisi keadilan, pengabulan MK terhadap permohonan alternatif Pemohon 1 relatif tidak terlalu merugikan Prabowo, partai koalisi, dan para pemilih Prabowo. Pengabulan MK atas permohonan alternatif Pemohon 1 tentu membawa konsekuensi dilakukannya pemungutan suara ulang dalam Pilpres 2024 yang akan diikuti oleh Prabowo dan cawapres baru pengganti Gibran. Dengan demikian, ini menjadi ajang pembuktian bagi Prabowo untuk meraih kemenangan meski tidak berpasangan dengan Gibran. Bila kemenangan ini terjadi, sejatinya ini bisa menggembirakan Gibran, keluarga, dan pendukungnya jika mereka selama ini mendukung Prabowo dengan tulus dan sukarela. Jika hasilnya kelak tidak berbeda jauh dengan perolehan suara yang sekarang, Prabowo dan para pendukungnya (termasuk keluarga Jokowi dan simpatisannya) tentu tetap ikut berbahagia karena memiliki legitimasi yang kuat.
Dari sisi Paslon 1, kebahagiaan mereka dan para pendukungnya akan lengkap bila MK memenuhi 8 petitum yang lain. Bisa dikatakan, meski Paslon 3 memiliki 5 petitum, pada dasarnya mereka, para pendukungnya, dan semua pihak yang menghendaki Pemilu yang jujur dan adil memiliki kebahagiaan yang sama dengan Paslon 1 dan para pendukungnya
Bila ditilik lebih dalam, Paslon 3 seyogianya tidak perlu kecewa lantaran bukan Paslon 2 yang didiskualifikasi. Toh, karena putusan MK yang demikian tetap membuat mereka memiliki harapan baru untuk meraih kemenangan. Minimal dengan strategi yang lebih baik dan kerja keras bisa maju ke putaran berikutnya.
Hampir bisa dipastikan, pendiskualifikasian Gibran tidak akan menimbulkan gangguan keamanan dan gejolak yang berarti. Sebaliknya hiruk pikuk akibat perbedaan tafsir voice dan noice dari suara akademisi, ulama, dan tokoh masyarakat bisa berhenti. Pasar pun akan legowo. Bukan tidak mungkin rupiah pun bisa menguat dan harga bahan-bahan pokok stabil kembali.
Sejarah mencatat, bangsa ini sudah mulai mengalami hiruk pikuk dan terbelah dua sejak Megawati memberi mandat kepada Jokowi menjadi Capres pada 14 Maret 2014 di kala beliau masih menjabat Gubernur DKI 1,5 tahun. Hiruk pikuk ini makin berkembang saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berkontestasi dengan Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam Pilgub DKI 2017.
Salah ucap Ahok di Kepulauan Seribu ibarat handsball dalam permainan sepak bola. Kesalahan ini benar-benar dimanfaatkan tim Anies dan tim AHY dan berujung pada kekalahan Ahok. Sebaliknya, kemenangan Anies juga sedikit banyak telah membuatnya mengalami kehilangan suara dukungan dari kaum nasionalis dan nonmuslim yang militan dalam perhelatan Pilpres 2024. (Kaum nasionalis dan nonmuslim ini tidak menyadari bahwa sekalipun dalam dunia olahraga (sport) yang melahirkan kata “sportivitas”, semisal sepakbola, catur, dan bridge, kesalahan yang tidak disengaja dan perangkap itu lazim dimanfaatkan untuk memenangkan kontestasi.)
Buruknya, hiruk pikuk lantaran Pilgub 2017 ini semakin menjadi-jadi pada perhelatan Pilpres 2019 lantaran kemunculan 2 Capres yang sama dengan Pilpres 2014. Bergabungnya Prabowo rupanya hanya jeda sementara dari hiruk pikuk ini. Pandemi Covid-19 pun menjadi berkat tersembunyi (blessing in disguise) dalam meredam hiruk pikuk di masyarakat yang sudah sempat terbelah.
Parahnya, keterbelahan ini justru hanya terjadi di akar rumput dan sebagian darinya telah memecah belah keluarga. Pembangunan infrastruktur yang banyak dinikmati kalangan menengah ke atas, meskipun banyak merugikan kalangan menengah ke bawah seperti yang dialami pedagang kuliner (warung makan dan oleh-oleh) yang telah lama berdiri di jalan nontol, benar-benar memberi keuntungan yang luar biasa pada Jokowi dan pengusaha swasta yang mengelola jalan tol yang lalu leluasa menetapkan tarif mahal yang mencekik leher. Dengan bantuan promosi buzzeRp, influenceRp, dan surveyoRp, pembangunan infrastruktur dan pencitraan Jokowi, meskipun belum meninggal, telah mengubah Jokowi menjadi orang kudus plus seolah-olah dewa penyelamat Indonesia dari tekanan asing (baca: Amerika Serikat dan Uni Eropah) di tengah dugaan dirinya sebagai perpanjangan tangan aseng yang berideologi komunis.
Gibran dan Bobby pun akhirnya mengambil manfaat dari pengudusan dan pengkultusan itu. Posisi Jokowi sebagai Presiden yang bisa menyandera petinggi partai telah memuluskan langkah Gibran menjadi Walikota Solo lantaran berhadapan dengan lawan yang lemah. Ditengarai bukan hanya buzzeRp, influenceRp, dan surveyoRp, investorRp (oligarki) ikut memainkan andil dalam memenangkan Gibran dan Bobby.
Tidak puas sampai di situ, buzzeRp, influenceRp, surveyoRp, dan investorRp dikerahkan untuk pencawapresan Gibran. Keberhasilan Jokowi menjadikan Gibran cawapres mendorong Jokowi untuk mengatur langkah-langkah bidaknya untuk membuat Kaesang yang semula digadang-gadang menjadi calon Walikota Depok, lalu selepas sukses menjadi Ketua Umum PSI, mulai diarahkan menjadi Gubernur DKI dan menantunya menjadi Gubernur Sumatera Utara.
Dengan kata lain, sejak 2012 bangsa ini telah menghabiskan energi yang luar biasa untuk “memuluskan” versus “menghentikan” ambisi sebuah keluarga yang diawali oleh kepala keluarga sebagai penikmat terbesar reformasi. Untunglah, pascaputusan MKMK yang monumental itu, MK di bawah kepemimpinan Suhartoyo mulai membuat putusan yang terukur dengan menolak pemajuan jadwal pemilukada serentak dan mengakomodasi permohonan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang belakangan divonis bebas dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan.
Bisa diduga, dengan memajukan jadwal pilkada 2024, Jokowi ingin mengulang kembali keberhasilan Gibran yang menang kontestasi di tengah pandemi Covid-19 yang masih marak dengan memaksa jadwal pilkada pada 2022. Di masa pandemi Covid-19, kemenangan itu telah diawali oleh sang adik ipar di Medan yang mulai digadang-gadang menjadi walikota pada akhir Desember 2020.
Momentum Hakim MK Mencatatkan Namanya dengan Tinta Emas
Di tengah karut-marut sistem peradilan di negeri kita, seraya memulihkan marwah MK akibat badai yang ditimbulkan oleh kasus korupsi oleh mantan Ketua MK Akil Mochtar dan pelanggaran etika berat oleh mantan Ketua MK Anwar Usman, inilah momentum bagi 8 delapan hakim MK mencatatkan namanya dengan tinta emas dengan menggarisbawahi 2 kalimat Lord Acton dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada 5 April 1887. Dua kalimat tersebut, yakni ”Tanggung jawab historis [yakni, penilaian para sejarawan di kemudian hari] harus menutupi kekurangan tanggung jawab hukum (yakni konsekuensi hukum selama masa hidup penguasa)” dan “Tidak ada bid'ah yang lebih buruk daripada jabatan yang menguduskan pemegangnya.”
Demi kemanfaatan yang lebih berarti, hakim MK perlu memaknai kalimat pertama Lord Acton di atas dengan kalimat yang baru, yakni ”Tanggung jawab historis hakim MK harus menutupi kekurangan tanggung jawab hukum hakim MK yang membuat putusan yang salah. Kemanfaatan bisa menjadi jauh lebih berarti bila pada suatu masa yang mungkin tidak lama lagi kaum pemuja penguasa bisa memahami dengan benar kalimat kedua Lord Acton di atas.
Lebih dari sekadar kepastian hukum, putusan MK yang arif juga akan bisa lebih memastikan Indonesia emas akan terjadi pada 2045, bukan Indonesia cemas. Bila hakim MK lebih memilih emas bagi diri sendiri dan keluarga besarnya, bukan hanya Indonesia cemas, tetapi nama Indonesia tinggal bekas seperti Soviet dan Yugoslavia.
Secara historis, 8 hakim MK pasti ingat apa yang menyebabkan 4 nyawa mahasiswa meninggal, sejumlah mahasiswa dan aktivis lenyap tanpa bekas, dan ribuan orang tewas mengenaskan pada 1998. Namun kematian pahlawan tanpa tanda jasa itu tidak sia-sia.
Bila mantan kanselir Jerman Angela Merkel digambarkan setara 6 juta laki-laki, menurut Penulis 8 hakim MK setara dengan puluhan juta orang di negeri Wakanda. Mengapa? Di negeri Wakanda puluhan juta orang itu merupakan gabungan dari buzzeRp, influenceRp, surveyoRp, dan masih banyak yang lain, termasuk politikus, aparatur sipil dan militer, jongos, dan orang-orang bayaran yang siap piting-pitingan dengan rakyatnya yang memberi mereka upah/gaji. Mereka semua telah takluk di bawah perintah lurahnya karena intimidasi, iming-iming, dan penyanderaan kasus hukum. Seperti dikatakan, di antara mereka itu adalah politikus. Alih-alih menjadi oposisi, mereka justru mencari posisi empuk.
Bila Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 32 tahun gagal meneror aktivis yang kini menyebar di kubu Paslon 1, Paslon 2, dan Paslon 3 meski telah melenyapkan 4 mahasiswa pahlawan reformasi dan ribuan orang yang lain, tidak masuk akal bila 8 hakim MK takluk di bawah ketiak seseorang yang ambisius membangun dinasti. Karena alasan logis itulah Penulis membuat tulisan ini dan tulisan sebelum ini yang dimuat di RMOL.ID pada 8 April 2024 di bawah judul, “Warisan Hakim MK sebagai Kado Idulfitri” (lihat https://rmol.id/publika/read/2024/04/08/616162/warisan-hakim-mk-sebagai-kado-idulfitri). Semoga hakim MK berkenan memosisikan Penulis sebagai salah satu Amicus Curiae dari sekian banyak mereka yang sudah mendahului Penulis menjadi Amicus Curiae, termasuk 303 orang akademisi maupun masyarakat sipil yang menjadi Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk majelis hakim MK yang memeriksa perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024.
Penulis juga melampirkan sebuah tulisan tentang logika, etika, dan estetika yang dimuat RMOL.ID lebih dari 2 tahun yang lalu (20 Januari 2022). Meski hanya satu kali menyebut “hakim konstitusi” dalam tulisan ini (lihat https://rmol.id/publika/read/2022/01/20/520139/logika-etika-dan-estetika), Penulis hanya berharap tulisan ini dibaca di waktu senggang para hakim MK yang mulia.
Semoga hakim MK mau mencatatkan namanya dengan tinta emas yang sudah dimulai oleh Jimly Asshiddiqie dan Bintan Saragih. Bukankah itu lebih baik dari meraih emas yang tidak bisa dibawa menghadap Tuhan dan yang hanya mungkin meninggalkan keabadian kecemasan bagi jutaan warga Indonesia? Saatnya hakim konstitusi yang negarawan mengakhiri hiruk pikuk bangsa ini dari sekadar mengurusi sebuah keluarga yang ingin membangun dinastinya dengan merusak demokrasi.
*Penulis adalah Amicus Curiae dalam perkara PHPU Pilpres 2024
© Copyright 2024, All Rights Reserved