Merespon uji publik yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk masukan dan catatan bagi 10 stasiun TV swasta yang akan habis masa izin siarnya pada tahun 2016 ini, maka kami, koalisi dari berbagai lembaga, tergabung dalam SIKA (Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil) memberikan beberapa hal untuk pertimbangan.
Catatan dan masukan kami adalah secara khusus untuk 10 stasiun TV yang akan habis izin penyelenggaran siarannya pada tahun ini, tetapi secara umum berlaku juga untuk stasiun-stasiun TV lainnya. Ke 10 stasiun TV yang akan habis izin penyelenggaraan siarannya adalah :
PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) ; PT Surya Citra Televisi (SCTV) ; PT Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) ; PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) ; PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (MNCTV) ; PT Transformasi Televisi Indonesia (TransTV) ; PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh (TV7) ; PT Lativi Media Karya (TVOne); PT Global Informasi Bermutu (Global TV) ; PT Media Televisi Indonesia (MetroTV). Beberapa dari stasiun TV di atas, sudah berganti pemilik dan nama dagang, meskipun nama perusahaannya dipertahankan.
SIKA memberikan catatan-catatan sebagai berikut:
1. Frekuensi publik masih disalahgunakan untuk kepentingan partai politik, kelompok maupun pribadi tertentu. Contoh saat Pemilu 2014, bagaimana TVOne, MetroTV, RCTI dan juga beberapa stasiun TV lain, digunakan sebagai media kampanye atau mendukung salah satu kandidat presiden. Kepentingan pribadi, contohnya bagaimana RCTI dan TransTV menggunakan frekuensi publik untuk menayangkan berjam-jam peristiwa kehidupan selebritis (Raffi Ahmad dan Anang H). Di sini publik tidak menerima informasi yang benar dan penting, dan "terpaksa" menyaksikan kampanye kandidat pemilu dan kegiatan pribadi selebritis.
2. Isi siaran yang masih menayangkan kekerasan, tidak sensitif gender maupun tidak ramah anak. Panduan P3SPS seringkali dilanggar. Dalam liputan, stasiun TV justru menampilkan tayangan tanpa sensor tindakan-tindakan kekerasan saat terjadi demonstrasi, kerusuhan, penangkapan pelaku kriminal, dll. Penayangan sinetron atau reallity show yang tidak sensitif gender dan anak, misal anak-anak yang mudah memaki/mengejek orang tua, stigma negatif pada kelompok tertentu, merendahkan perempuan dll.
3. Isi siaran TV yang tidak beragam, sangat Jakartasentris. Penelitian CIPG (2013), konten pada 10 stasiun TV tersebut sangat didominasi informasi dari Jawa, khususnya Jakarta. Informasi terkait Jawa mencapai 69,9% dan dari angka ini, 49% nya adalah konten yang terkonsentrasi di Jakarta. Hal ini menunjukkan ketidakadilan bagi daerah-daerah lain, yang semestinya terlayani secara berimbang. Anak-anak di Ternate, Nias, Rote lebih tahu peristiwa di Jakarta, daripada mungkin peristiwa di kabupaten sebelah.
4. Sistem siaran jaringan (SSJ) tidak dilaksanakan dengan benar. Dalam UU Penyiaran no 32/2002 pasal 31 ayat 1: Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal.
Jelas di sini bahwa setiap stasiun TV yang bukan stasiun penyiaran lokal, wajib melakukan siaran berjaringan atau dikenal Sistem Siaran Jaringan (SSJ). Ke-10 stasiun TV yang akan habis masa izin siarnya tahun 2016 ini adalah stasiun penyiaran jaringan, yang wajib menayangkan konten/isi siaran lokal, minimal 10% , di masing-masing wilayah siaran. Pada umumnya, ketentuan ini dilanggar, konten penyiaran 100% dari Jakarta, studio di berbagai wilayah siar (daerah) tidak ada, yang ada hanya pemancar relai.
5. Kepemilikan stasiun TV yang mengindikasikan pelanggaran UU Penyiaran no 32/2002. Dalam UU Penyiaran, pasal 18 ayat 1 : Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Dan pada PP no 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, dengan detil sudah diatur bagaimana satu orang pemilik atau perusahaan hanya boleh memiliki dua lembaga penyiaran di dua wilayah siar/propinsi yang berbeda.
Namun pada prakteknya kita menyaksikan bagaimana satu orang pemilik dapat memiliki dua-empat stasiun TV dalam satu wilayah siaran/propinsi. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip keberagaman kepemilikan yang termaktub pada UU Penyiaran pasal 5 ayat (g): mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran.
Terkonsentrasinya kepemilikan beberapa stasiun TV, karena terjadi permindahan tangan izin siaran, yang sebenarnya dilarang oleh UU Penyiaran no 32/2002 pasal 34 ayat (4) : Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. Meskipun dengan modus nama perusahaan tetap dipertahankan, tetapi pemilik perusahaan berganti.
Berdasarkan catatan-catatan di atas, maka kami, SIKA, memberikan masukan dan dukungan pada KPI untuk:
1. KPI bersama dengan Kementerian Kominfo melakukan audit menyeluruh pada 10 stasiun TV yang akan habis izin penyelenggaran siaran tahun 2016 ini. Audit tersebut dengan memperhatikan masukan-masukan masyarakat dan penegakkan hukum (UU, Peraturan Pemerintah, dll), mulai dari isi siaran, infrastruktur sampai kelembagaan. Dan hasil audit ini diumumkan ke publik.
2. Selama masa audit itu, ke-10 stasiun tersebut diberi kesempatan masa uji coba siaran selama satu (1) tahun untuk memperbaiki isi siaran, membenahi infrastruktur maupun perombakan kelembagaan agar sesuai dengan amanat UU Penyiaran no 32/2002.
3. Bila dalam satu tahun, sebuah stasiun TV tidak mampu memenuhi ketentuan-ketentuan sesuai UU, maka KPI dan Kementerian Kominfo dengan tegas tidak memberi izin perpanjangan penyelenggaraan siaran.
SIKA adalah koalisi 17 lembaga yang peduli pada regulasi dan penerapan informasi dan komunikasi publik yang adil dan demokratis.
© Copyright 2024, All Rights Reserved