Kebijakan hilirisasi mineral dinilai akan mendorong tumbuhnya investasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Dengan kebijakan tersebut setidaknya ada sekitar 185 proposal dengan nilai mencapai US$25,5 miliar atau sekitar Rp300 triliun.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara kepada pers, di Jakarta, Senin (07/04). "Dengan hadirnya pabrik pengolahan dan pemurnian tersebut, kebijakan hilirisasi memicu banyak keuntungan seperti meningkatnya nilai tambah produk mineral secara finansial dan ekonomi," ujar dia.
Dengan berjalannya proyek strategis itu di dalam negeri, maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara dan masyarakat baik melalui pajak, PDRB, dan pendapatan per kapita.
“Ekspor bahan mentah mineral yang selama ini dilakukan membuat struktur industri nasional menjadi keropos, membuat Indonesia kehilangan nilai tambah yang besar dan menjadi bangsa yang tergantung pada bangsa lain," terang dia.
Dengan banyaknya manfaat positif, Marwan berharap agar pemerintah, DPR dan masyarakat konsisten mendukung kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor mineral mentah itu.
Ia mengatakan, larangan ekspor mineral mentah bertujuan mencegah terjadi ekspor besar-besaran komoditas mineral. Menurut catatan IRESS, sepanjang periode 2008-2011, ekspor mineral mentah yang kerap diekspor antara lain, bijih bauksit mencapai 40 juta ton, bijih besi 13 juta ton, bijih nikel 33 juta ton, dan tembaga 14 juta ton.
“Sementara itu hampir 80 persen industri besi dan baja Indonesia masih mengandalkan scrap impor. Bahkan mengimpor 500 ribu ton per tahun bahan baku alumina, dan impor produk tembaga US$1,28 miliar pada periode yang sama," ujar dia.
Dengan problematika itu, ia menganggap Indonesia telah tertinggal jauh dengan negara-negara berkembang lainnya. Namun demikian dengan implementasi kebijakan hilirisasi mineral, industri tambang dalam negeri mendapat kesempatan untuk mengejar ketertinggalan.
“Pasalnya, kebijakan hilirisasi akan melengkapi penguasaan rantai pasok industri nasional sehingga negara memiliki struktur industri logam yang kuat. Kelengkapan rantai pasokan tersebut mempercepat proses industrialisasi," ucap Marwan.
Marwan menilai, meski kegiatan hilirisasi telah menurunkan penerimaan pajak dan royalti mencapai Rp60-100 triliun dalam jangka waktu 3 tahun melalui larangan ekspor, namun efek kebijakan itu akan berimplikasi jauh lebih besar dan menguntungkan bagi kelangsungan masa industri tambang Indonesia.
“Kekurangan penerimaan tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan masa depan industri tambang, dan ribuan triliun rupiah manfaat langsung dan tidak langsung yang akan diterima sejak 2017," tandas dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved